x

Iklan

Irfansyah Masrin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 Januari 2020

Rabu, 16 Agustus 2023 09:07 WIB

Hakikat Kemerdekaan; Merdeka di Segala Aspek Kehidupan

Jika seseorang masih dikekang oleh pikirannya sendiri, menakuti sesuatu yang belum terjadi, mengkhawatirkan masa yang belum dilalui dan masih dihambat oleh perasaan-perasaan tentang masa lalu yang menghantui, bukankah itu termasuk belum merdeka?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Merdeka dalam bahasa Sanskerta yaitu maharddhika yang berarti kaya, sejahtera dan kuat atau bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu. (Wikipedia)

 

Jika merujuk pada pemaknaan etimologi tentang merdeka bahwa kemerdekaan dimaknai sebagai terbebasnya sesuatu dari belenggu sesuatu yang lain dan sesuatu itu menjadi lebih baik. Tentunya kemerdekaan yang dimaksud disematkan kepada makhluk bernama manusia. Karena ada upaya terbebas dari pengekangan dan penindasan menuju kehidupan yang lebih baik, lebih aman, lebih sejahtera dan lebih bahagia. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Jika seseorang masih dikekang oleh pikirannya sendiri, menakuti sesuatu yang belum terjadi, mengkhawatirkan masa yang belum dilalui dan masih dihambat oleh perasaan-perasaan tentang masa lalu yang menghantui, bukankah itu termasuk belum merdeka? Ataukah ada makna lain tentang kemerdekaan ini? Namun perlu kita telusuri lebih jauh lagi apa sebenarnya hakikat Kemerdekaan? Apakah cukup merdeka dimaknai bahwa seseorang tidak ditindas, tidak diintimidasi, tidak dikekang, dan diberi kebebasan seluas-luasnya terhadap pilihan hidupnya? Ataukah ada makna yang lebih mendalam dari itu? Mari coba kita kupas pada realitas kehidupan kita.

 

Penulis mencoba membahas tulisan ini ke dalam bentuk induktif, yakni menyelami poin-poin kecil dari sebuah problematika tentang hakikat Kemerdekaan dan akan dibawa pada persoalan yang besar dalam upaya memaknai hakikat Kemerdekaan itu sendiri.

 

Kita memandangi diri kita, merenungi hidup kita dan menganalisa sudah sejauh mana kontribusi kebaikan yang kita lakukan terhadap diri kita, keluarga kita dan orang banyak? Lalu apa yang menghambat sehingga kita dianggap belum mampu memberi kontribusi untuk diri pribadi dan orang lain secara baik? Tentu banyak faktor, bisa karena faktor fisik, faktor materi, budaya dan tradisi, faktor ekonomi, faktor sosial dan politik. Semua faktor-faktor itu akan berpengaruh pada cara kita memaknai hakikat Kemerdekaan itu seperti apa?

 

Indonesia katanya sudah merdeka. Kita tidak perlu memperjuangkan kemerdekaan seperti para pejuang dan pendahulu kita. Kita hanya perlu mempertahankan kemerdekaan dengan mengisi kemerdekaan itu melalui prestasi-prestasi yang ditorehkan anak bangsa dalam upaya memberi kontribusi kemerdekaan kepada bangsa ini. Baik prestasi akademik maupun prestasi di bidang-bidang lain sesuai dengan minat dan bakat anak bangsa.

 

Namun, apa betul kita sudah tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan seperti para pendahulu-pendahulu kita? Secara fisik kita memang sudah merdeka dari peperangan, adu senjata, adu nuklir dan tidak ada lagi upaya perlawanan yang berhubungan dengan peperangan langsung dengan senjata. 

 

Namun secara ekonomi kita belum merdeka. Kita masih memperjuangkan agar bangsa ini merdeka secara ekonominya. Ekonomi yang diemban oleh Indonesia adalah ekonomi kapitalis, ekonomi yang dikuasai oleh segelintir para oligarki. Jumlah mereka sedikit tapi menguasai sepertiga hasil alam dan hasil bumi Indonesia, mereka miliki semua itu secara pribadi, lantas mereka mengelolanya bersama asing dan aseng lalu diperjualbelikan lagi kepada masyarakat Indonesia dengan harga yang mahal. BBM naik, Listrik mahal, minyak goreng mahal, hingga banyak kebutuhan pokok justru di impor dari negara lain oleh pemangku kebijakan dan pengelolaannya diserahkan kepada swasta. Akhirnya kita temukan bangsa ini makin banyak yang miskin dan terpuruk. yang kaya makin kaya, yang miskin makin nyunsep.

 

Belum lagi semakin banyaknya pengangguran, lapangan kerja terbatas, ketika ada lapangan kerjapun harus batal karena banyaknya ekspetasi aturan yang dibuat oleh para koorporasi, sehingga hanya pengangguran yang kenal orang dalamlah yang mampu bekerja di perusahaan atau lembaga apapun itu. Ada yang ingin bangun usaha tertahan oleh seperangkat aturan yang menyulitkan, harus bayar dulu baru dapar ijin usaha, harus memenuhi syarat-syarat tertentu hingga ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pupus sudah impian untuk mensejahterakan hidup. Dan banyak lagi hiruk pikuk problem ekonomi bangsa ini. Lalu dengan kondisi demikian sudahkan Indonesia disebut merdeka?

 

Indonesia belum merdeka dari tradisi dan budayanya. Budaya Indonesia memegang teguh budaya ketimuran yang berlandaskan prinsip nilai-nilai dan norma. Baik norma agama, norma asusila, norma kesopanan dan sebagainya. Namun realitas kehidupan kita justru lebih banyak mengkonsumsi budaya barat yang tidak mengenal nilai-nilai dan norma kecuali nilai yang didasarkan pada materi dan kebebasan hak, bahkan mereka tidak beragama. 

 

Tapi mirisnya yang terjadi adalah banyak dari kita dan generasi kita yang menjadi individualistis, hanya peduli pada dirinya sendiri dan kurangnya empati terhadap kesulitan orang lain. Memiliki kebebasan mengekpresikan sesuatu secara vulgar, bebas pacaran, melakukan seks bebas, bebas mabuk mabukan, bebas narkoba, bebas menjadi LGBT, bebas berpakaian telanjang atas nama fishion, bebas melakukan hal-hal senonoh demi konten viral, bebas mengakses pornografi dan sebagainya. Tentu hal ini bersumber dari budaya barat yang sedikit demi sedikit menghancurkan generasi bangsa. Lantas sudahkan kita benar-benar merdeka?

 

Sudahkan Indonesia merdeka setelah pendidikannya diobok-obok oleh kepentingan? Kita menarik kembali sejarah kelam pada waktu Indonesia merdeka secara fisik dari penjajah. Pada saat yang bersamaan, di tahun yang sama Jepang hancur oleh bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki. Pada saat itu, di tengah krisis kehancuran tersebut sempat-sempatnya pemerintah jepang bertanya "Masih adakah guru yang tersisa?". Pertanyaan ini membuktikan bahwa sebuah negara akan maju jika orientasi pendidikannya maju, dan pendidikan akan maju jika pendidik atau guru-gurunya berkualitas dan mampu melahirkan anak didik yang berkualitas pula sebagai generasi penerus bangsa. Tidak salah pada tingkat pendidikan formal dan pendidikan karakter jepang pernah menjadi negara terbaik dalam dunia pendidikan, mungkin hingga kini.

 

Kondisi jepang yang maju di dunia pendidikan tentu disokong oleh pemerintah yang senantiasa menghargai jasa para pendidik dengan membuat sistem pendidikan yang mensejahterakan para guru. Di sana tidak ada guru yang miskin, semua terfasilitasi, baik di kota maupun di daerah terpencil. Bahkan di sebuah daerah di jepang pemerintah rela menunda penutupan jalur kereta ke daerah terpencil hanya karena masih ada satu orang siswa yang masih menggunakan kereta itu untuk pulang pergi dari desanya menuju sekolahnya yang ada di kota, sampai anak itu lulus sekolah. Begitulah perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan di jepang.

 

Merujuk pada kondisi tersebut, sudahkan Indonesia merdeka? Jika kita melihat fakta bahwa para guru-guru honor di daerah-daerah hanya digaji dari uang dana BOS yang diterima 50-100 ribu perbulan, di beberapa daerah lain hanya menerima 300 ribu per 6 bulan, bahkan banyak yang tidak digaji. Belum lagi syarat menjadi pegawai negeri bagi para guru terhenti karena regulasi yang sulit, syarat-syarat berat, usia yang makin tua dan juga bersaing dengan kuota yang terbatas. Sehingga membuat sebagian besar dari para guru ini berkecil hati dengan segala peluang-peluang kecil itu. Kondisi-kondisi ini membuat kita sadar bahwa sebenarnya kita belum Merdeka secara utuh.

 

Dalam tataran sosial politik Indonesia masih terlihat kesenjangan sosial yang begitu besar di kehidupan masyarakat, meningkatnya kejahatan sosial, setiap saat kita akan disugukan dengan berita-berita kriminalitas yang terus merajai informasi dan media. Begal di mana-mana, pembunuhan manusia semudah membunuh serangga, pemerkosaan dan pelecehan, narkoba yang terus merebak dan menyasar hingga para pejabat, sampai pada peperangan antar kelompok masyarakat dan sebagainya. Ini menjadi alasan kuat bahwa sebuah bangsa belum merdeka dalam tatanan sosialnya. 

 

Senada dengan hal tersebut, kita juga mengamati bahwa masih tumbuh suburnya kejahatan dan kriminalitas yang bahkan dipelihara oleh para elit untuk memuluskan kepentingannya. Seakan mereka memiliki racun sekaligus penawarnya. Mereka menciptakan konflik lalu hadir bak pahlawan yang menawarkan solusi tuntas dari segala problematika sosial yang terjadi, tentu solusi ini bersifat transaksional, tidak ada yang gratis. Inilah yang disebut dengan konspirasi. 

 

Mereka menjadikan politik sebagai kendaraan hukum yang melegalkan aturan sesuai pesanan orang-orang berduit (Korporat) bahkan para korporat ini sendiri yang ingin berkuasa, dengan kata lain pengusaha menjadi penguasa. Pada akhirnya yang menjadi pemangku kebijakan bukanlah mereka yang ahli dalam bidangnya, tapi mereka yang berduit, mereka melegalkan koorporasi yang mereka miliki, tak peduli seberapa besar kepentingan rakyat yang harusnya diutamakan malah dikorbankan. Mereka punya uang, mereka punya kuasa.

 

Sehingga pemaknaan Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, yang terkandung dalam amandemen UUD 1945 hanya menjadi formalitas tertulis semata, tapi realisasinya hanya untuk segelintir para pengusaha dan oknum penguasa. Inilah krisis politik kita yang menggunakan asas politik demokrasi liberal, bebas melegalkan aturan sesuai pesanan. Belum lagi jika membahas berapa banyak kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat dan pemangku kebijakan. Para wakil rakyat yang katanya mewakili rakyat, tapi justru menjadi wakil para bos-bos mafia. Mereka lebih baik dipenjara daripada harta disita KPK, hukum bisa dibeli, negara dikuasai oligarki, Oh ini sangat miris sekali. Hal ini membuktikan bahwa di tataran politik pun kita belum benar-benar merdeka. 

 

Kita belum merdeka secara keseluruhan, kita masih memperjuangkan kemerdekaan, masih berjuang mensejahterakan kehidupan, masih berjuang memperbaiki kesenjangan sosial, masih berjuang dalam upaya memanusiakan manusia di sistem pendidikan, masih berjuang menggapai keadilan di tataran hukum, masih berjuang mengharapkan bantuan dari para pemangku kebijakan yang katanya mewakili rakyat dan berjanji memenuhi hajat hidup rakyat. 

 

Lalu perayaan dan semarak lomba-lomba menjelang peringatan hari kemerdekaan bukankah itu bukti bahwa kita sudah merdeka? Sekali lagi kita memang sudah merdeka dari penjajahan fisik dengan senjata dan pertumpahan darah. Yang dirayakan dalam semarak menjelang 17 Agustus itu adalah perayaan dan peringatan akan perjuangan para pejuang kemerdekaan dulu, sebagai satu spirit dan alarm bagi generasi muda agar terus berjuang melanjutkan kemerdekaan dengan berjuang menggapai kemerdekaan yang utuh di segala aspek kehidupan, bukan hanya kemerdekaan secara fisik.  

 

Selain itu perayaan kemerdekaan hanya sebagai sebuah hiburan untuk menutupi bahwa kita sebenarnya belum benar-benar merdeka, karena banyak dari kita yang masih terpuruk oleh ketertindasan hidup di segala lini. Kita merayakan kemerdekaan dari penjajahan asing, namun kita kembali berjuang untuk memerdekakan diri kemiskinan, dari ketidakadilan dan ketertindasan dan berjuang untuk merdeka dari penjajahan para pejabat oligarki dan para tikus-tikus berdasi.

 

Lalu apa sebenarnya hakikat Kemerdekaan itu?

Pertama, hakikat Kemerdekaan dapat diraih jika kita telah merasakan kemerdekaan dari segala aspek kehidupan, tidak hanya kemerdekaan fisik, tapi juga merdeka sosial, merdeka budaya, merdeka pendidikan, merdeka ekonomi, merdeka kesehatan, merdeka tekhnologi, merdeka politik dan sebagainya.

 

Kedua, sebagai muslim penulis akan tetap menawarkan argumentasi dalam sudut pandang Islam di setiap tulisan. Dalam hal ini hakikat Kemerdekaan dapat diraih pada saat kita berhenti melakukan penghambaan kepada selain Allah menuju satu-satunya penghambaan hanya kepada Allah. Sederhananya adalah akidah Islam harus menancap kuat tidak hanya pada wilayah spiritual atau hanya dihadirkan pada ibadah ritual saja, tapi pemahaman akidah haruslah membumi di segala aspek kehidupan. 

 

Akidah ini menjadi qaidah fikriyah atau landasan berpikir bahwa kita menyadari hubungan kita sebagai manusia kepada sang Khaliq. Bahwa segala perbuatan kita harus menjadikan nilai taqwa kepada Allah sebagai tujuan, harus meyakini bahwa Allah melihat segala perbuatan manusia, bahwa Allah maha mengetahui segala hal yang diperbuat manusia. Sehingga akan lahir pribadi-pribadi Islam yang kuat. Saat ingin menjadi politisi, maka politisi yang bertaqwa. Mau menjadi pejabat apapun, maka menjadi pejabat yang takut kepada Allah. Ingin berbuat sesuatu yang haram, maka kita akan menyadari bahwa perbuatan haram itu adalah perbuatan dosa dan harus segera ditinggalkan.

 

Karenanya, jelas Allah mengatakan bahwa "Kalau sekiranya penduduk sebuah negeri beriman dan bertaqwa, maka Kami (Allah) akan melimpahkan keberkahan dari langit dan bumi" (QS. Al-A'raf:96). Bentuk keberkahan dari langit dan bumi adalah ditemukannya kehidupan yang makmur, damai dan sejahtera. Tidak ada kriminalitas, tidak ada kemiskinan dan tidak ada korupsi. Karena semuanya beriman kepada Allah.

 

Di ayat lain Allah berfirman "Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar" (At-Talaq:2)

Berkenaan dengan ayat ini seorang penulis terbaik dunia yang beragama katolik bahkan beliau dari keluarga gereja yang taat, bernama Karen Amstrong pernah mengatakan bahwa "Islam Is Solution of Life". Hal ini dilatarbelakangi oleh penelitiannya tentang Islam, ditemukan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mampu memberi solusi bagi kehidupan. 

 

Lantas apa hubungannya dengan hakikat Kemerdekaan? Penulis ingin menegaskan kembali bahwa hakikat Kemerdekaan adalah melepaskan diri dari belenggu hawa nafsu dan ambisi dunia dengan menjadikan Islam sebagai satu-satunya jalan kemerdekaan. Membebaskan manusia dari penindasan pemikiran dan penindasan di segala aspek kehidupan. Tentunya dengan menjadikan akidah Islam sebagai pondasi dan alarm utama dalam memastikan kita benar-benar bertaqwa kepada Allah. insyaaAllah kita tidak hanya merdeka di dunia, tapi Allah berikan surga sebagai hasil dari kemerdekaan kita di akhirat kelak, dan itulah kemerdekaan yang hakiki. Aamiin.

 

 

Ikuti tulisan menarik Irfansyah Masrin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 jam lalu

Terpopuler