x

Kaum Mardijkers

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Selasa, 22 Agustus 2023 11:58 WIB

Mardijkers, Orang-orang Bebas

Mardijkers berasal dari kata Mardicas, istilah Portugis yang berasal dari bahasa Sanskerta Mahardhika; yang berarti kaya, hebat, dan sejahtera. Kata ini selanjutnya diserap ke bahasa Indonesia menjadi Merdeka yang artinya bebas dari perbudakan, penghambaan dan sebagainya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada sebuah komunitas yang membentuk kata "Merdeka". Meskipun di sisi lain komunitas itu juga terbentuk dari kemerdekaan, sebuah kebebasan. Di Jakarta Utara, orang Betawi menamai komunitas itu dengan sebutan "Orang Tugu", sebuah komunitas keturunan Portugis yang tinggal di Kampung Tugu, Cilincing. Leluhur mereka adalah tawanan perang yang diperoleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atas kemenangannya menduduki wilayah jajahan Portugis di Malaka. Kebanyakan dari mereka ditangkap dan dijadikan budak pekerja oleh tentara Belanda di wilayah Batavia. 

Memasuki masa damai, mereka diberikan kesempatan untuk bebas dengan syarat mau berpindah agama dari Katolik ke Protestan, sebagaimana agamanya orang Belanda. Selain itu mereka juga harus bersedia menjadi milisi untuk menjaga keamanan wilayah Batavia. Setelah berpindah keyakinan, mereka diberikan tanah bebas pajak seluas 20 hektar untuk ditinggali. Tanah tersebut terletak di ommelanden, sebelah utara di luar benteng kota Batavia. Orang-orang yang dimerdekakan Belanda ini disebut sebagai mardijkers, orang-orang bebas.

Mardijkers berasal dari kata "Mardicas", istilah Portugis yang berasal dari bahasa Sanskerta "Mahardhika" yang berarti kaya, hebat, dan sejahtera. Serupa dengan itu, dalam bahasa Jawa kuno dikenal istilah perdikan yang merupakan turunan dari kata "Mardika" yang memiliki arti tempat yang dibebaskan dari perbudakan, cengkeraman kekuasaan atau kewajiban membayar pajak. Kata ini selanjutnya diserap ke bahasa Indonesia menjadi "Merdeka", yang artinya bebas dari perbudakan, penghambaan dan sebagainya.

Sebagai orang yang pernah tinggal di Tugu Utara, ketika melihat peringatan kemerdekaan kemarin, saya langsung teringat kepada kisah mardijkers ini. Anak cucu mereka mendirikan grup musik Kerontjong Toegoe dan menciptakan lagu yang berjudul de mardijkers. Lagu itu menceritakan bagaimana penderitaan yang dialami nenek moyang mereka ketika ditawan oleh tentara Belanda. Bagaimana moyang mereka memimpikan kemerdekaan yang begitu jauh, begitu tinggi di tengah belenggu kolonialisme. Bagaimana penjajahan itu salah bagi semua bangsa. Lagu yang durasinya tidak sampai empat menit itu sungguh menggugah.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berkembang layar memecah ombak

Mengarungi samudra mencari yang tak pasti

Tinggalkan hati mengejar mimpi

Berlabuh ku di indahnya Nirwana

 

Kilau emas permata

Tangan menggapai menyentuh bintang

Sesaat terlena dalam ruang

 

Terjagaku dengan belenggu besi

Berpeluh terbakar surya

Jiwa yang pergi dan takkan kembali

Akankah abadi segala rasa ini?

 

Kasih yang agung bangkitkan asa

Secercah bahagia hiasi impian

Sang mardijkers

 

Lagu ini ditulis oleh orang Kampung Tugu yang notabene keturunan Portugis, tentang nenek moyang mereka yang Portugis. Tetapi entah mengapa lagu ini, lirik dan nuansanya, begitu menyentuh saya, orang pribumi yang tidak ada portugis-portugisnya. Mungkin karena kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Tidak peduli Portugis atau non-Portugis. Dan untuk mewujudkan kemerdekaan yang universal, kemerdekaan yang tidak hanya milik "Kami" tetapi juga milik "Kita", segala bentuk penjajahan di atas dunia memang perlu dihapuskan.

Apakah bait 'Berkembang layar memecah ombak' dan 'Mengarungi samudra mencari yang tak pasti' itu menyentuh sisi historis saya sehingga dalam sejarah, nasib leluhur saya dan leluhur mereka itu berpapasan, seperti yang selalu dikatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia seperti juga nenek moyang bangsa Portugis adalah seorang yang sama pelautnya? Saya tidak tahu.

Ataukah 'Tinggalkan hati mengejar mimpi' itu menampakkan sisi buruk rupa dari muka peradaban yang paradoksial bahwa sekarang ini, saat ini, untuk mengejar mimpi, manusia harus mengabaikan kata nurani di hati kecilnya serta meninggalkan keluarga yang begitu ia cintai? Jika memang begitu, apa gunanya meraih mimpi jika setelah mimpi itu berhasil diraih, hati telah tuli dan tidak ada siapa-siapa untuk diajak berbagi? Saya tidak tahu.

Ataukah 'Berlabuhku di indahnya Nirwana' mengingatkan saya tentang kondisi alam Indonesia, seperti yang dituliskan Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java, adalah keindahan surga yang tak ditemukan di belahan bumi mana pun. Yang ironisnya kini, 200 tahun sejak catatan itu ditulis di 1817, saya tidak melihat nirwana apa pun. Hanya ada gedung-gedung tinggi dan ego manusia yang sama tingginya? Saya tidak tahu.

Ataukah 'Kilau emas permata' menyadarkan saya bahwa Papua, pulau emas yang selama ini memberi makan anaknya yang bernama Indonesia itu, telah semakin kurus dan tak terurus. Sehingga penduduknya di pedalaman, setelah 78 tahun merdeka harus menukarkan pisang dengan telur dan mi instan di pos-pos terluar TNI Angkatan Darat hanya sekedar untuk makan. 'Tangan menggapai menyentuh bintang' tidak ada di sana. Hanya ada jutaan tangan-tangan yang menggapai tanpa ada bintang yang tersentuh di tanah Papua. Tangan-tangan itu tak menyentuh dan disentuh siapa pun. Ataukah nampaknya saya, 'Sesaat terlena dalam ruang' penghayatan yang mengkin sedikit berlebihan atas lagu indah ini? Saya tidak tahu.

Yang saya tahu, dalam ruang kesadaran tertentu, saya melihat ada yang tidak tuntas dalam kemerdekaan, khususnya di setiap peringatan kemerdekaan. Benar, jika gegap gempita untuk memeriahkan segala pawai, acara, dan hiburan untuk rakyat—atau untuk penguasa—itu mutlak diperlukan. Benar, jika peringatan kemerdekaan itu untuk mengenang jasa para pahlawan yang rela mengorbankan jiwa-raga demi merdekanya negeri ini. Benar juga, jika peringatan kemerdekaan itu diadakan, diperlukan, disemarakkan untuk menyongsong kembali masa depan sebuah bangsa. Semuanya benar. 

Namun anehnya, saya selalu menganggap bahwa saya bagaikan orang yang baru saja 'Terjagaku dengan belenggu besi' begitu setelah segala pawai, acara, hiburan itu selesai. Untuk kembali 'Berpeluh terbakar surya' mati-matian bekerja demi orang lain, yang bukan keluarga saya, yang saya tidak kenali, yang senantiasa asing dan acuh tak acuh. Yang saya yakin seyakin-yakinnya kalau tanpa kerja saya pun, sebenarnya mereka itu sudah kaya raya. Setelah peringatan kemerdekaan itu usai, saya kembali ke keadaan semula, di mana begitu banyak ketidakadilan dapat disaksikan, bahkan dengan mata terpejam sekalipun. Begitu banyak kerusakan, kebodohan, dan penyakit yang menimpa.

Begitu banyak 'Jiwa yang pergi dan takkan kembali'. Orang-orang mati begitu saja. Begitu lazim kematian. Begitu maklum kemiskinan. Demi apa? Demi mempertahankan kehidupan. Malaikat maut pun tertawa karena orang mati demi hidup tidak lain adalah sebuah ironi yang menggelikan. Kata 'pergi' dan 'takkan kembali' alias tidak tinggal, mengingatkan saya bahwa dalam bahasa Indonesia kata 'tinggal' dapat berarti 'pergi' sekaligus 'menetap'. Karena itu saya jadi teringat kisah Nabi Yunus yang tidak mau menetap lebih lama dan memilih pergi dari Niniwe (sekarang daerah Irak), menginggalkan kaumnya, karena begitu banyak kejahatan dan kerusakan yang dibuat oleh penduduk—atau pemerintah—Niniwe. 'Akankah abadi segala rasa ini?', atas segala protes, ketidakpuasan, dan ketidaksetujuan yang saya rasakan ini? Ataukah memang saya saja yang terlalu rewel dan tidak taat kepada segala jenis pemerintahan? Terbesit dalam pikiran apakah saya harus meninggalkan negeri ini? Saya tidak tahu.

Cerita itu berlanjut. Akibat ke-'rewel'-annya, dalam suatu badai, karena dianggap membawa sial, Nabi Yunus akhirnya diceburkan ke laut dan ditelan ikan paus. Di dalam perut ikan itu, Nabi Yunus menyebut dzikir yang yang sangat indah. "Laa illaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadzolimin", sesungguhnya tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, dan sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. Di akhir kisah tersebut, Tuhan menerima tobat Nabi Yunus beserta tobatnya penduduk Niniwe dan batal mengirimkan azab-Nya. Dia mengampuni dosa-dosa dan menyelamatkan negeri mereka.

Selalu ada 'Kasih yang agung' yang akan 'bangkitkan asa'. Jika setiap masalah tidak ditanggung sendirian karena pada dasarnya, selalu ada Tuhan yang Maha Baik yang membersamai kita. Juga jika setiap kesalahan yang diperbuat sungguh-sungguh tidak diulangi kembali. Jika meninggalkan kerusakan dan kejahatan tanpa berusaha memperbaikinya, bagi manusia selevel Nabi—manusia yang jelas-jelas dicintai Tuhan—adalah suatu kezaliman, apa kabar bagi manusia biasa seperti saya? Maka saya urungkan niat untuk pergi.

'Secercah bahagia' yang muncul dari kesadaran bahwa Tuhan masih menerima tobat hamba-Nya meng-'hiasi impian' saya tentang masa depan negeri ini. Apakah cerah ataukah muram? Saya tidak tahu. Yang jelas saya batal pergi. Selamat ulang tahun negeriku, semoga Tuhan menerima tobatku dan para pendosa serta menyertai orang-orang tertindas di atas hamparan tanahmu. Dari aku dan beribu aku lainnya: 'Sang mardijkers'.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu