x

Iklan

G. Yadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Desember 2022

Jumat, 25 Agustus 2023 20:33 WIB

Mantan Pimred De Telegraaf: Jadi Wong Cilik di Amerika, Dielukan di Indonesia

Tulisan ini bagian dari proyek menulis: Membaca Indonesia dalam Narasi De Telegraaf.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Narasi ini merupakan timbangan terhadap tulisan seorang wartawan kawakan Belanda, Paul Jansen, yang sejak 2015 hingga Juni 2023 lalu menjabat sebagai pimpinan redaksi De Telegraaf. Di bawah banner In Het Vizier, yang letterlijk dapat dimaknai dengan ‘Sasaran Bidik’ dan ditempatkan di KOLOM, opini tersebut tidak sepenuhnya tentang Indonesia, tetapi memiliki keterkaitan. Kini Paul menjadi koresponden De Telegraaf di AS.

“Anda wartawan, kan?” demikian pertanyaan sekelompok wisatawan Belanda kepada Paul Jansen yang saat itu berdiri di depan gedung mahkamah pengadilan di Washington. Dia menunggu munculnya Donald Trump yang untuk kesekian kalinya dihadapkan ke Gedung pengadilan tadi. Saat itu cuaca tidak saja cerah tetapi juga panas. Dia kira dengan tampil sebagai orang biasa, Paul tidak habis pikir mengapa kerumunan turis Belanda itu bisa menebak dengan tepat bahwa dia seorang kuli tinta.

Paul Jansen harus mengakui, meskipun itu sebuah pengecualian. Bagi orang Amerika, dia hanyalah seorang mister nobody. Saat ke tukang cukurnya di Leiden, seorang pelanggan dengan bercanda mengatakan bahwa Donald Trump mungkin akan menunggu dia di tangga pesawat. Itu bedanya dia di hadapan publik Amerika dan Belanda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di AS permohonan wawancara jarang yang mendapat respon. Di Belanda, De Telegraaf sudah dikenal luas tetapi di Amerika Paul harus menjelaskan dari negara mana koran ini. Kemudian disusul dengan pertanyaan, di mana Belanda itu. Jawabnya – tetanggaan dengan Jerman. Dengan kata lain, membuka pintu saja memerlukan upaya yang luar biasa.

Situasinya sangat berbeda saat dia bertugas sebagai koresponden di Indonesia. Karena hubungan sejarah yang panjang, orang-orang pada kenal De Telegraaf. Bahkan para wartawan media Barat kadang digunakan oleh para politisi untuk menaikkan statusnya dalam peta politik domestik.

Ia kemudian membandingkan pengalamannya saat meliput kampanye pilpres Presiden SBY di Sumatera. Saat makan siang, Paul diminta duduk satu meja persis di sebelah Presiden Yudhoyono. Ibu Ani (beliau kini sudah almarhumah), isteri presiden diminta duduk di meja yang lain. Para juru gambar dan tim kampanye beraksi. Keesokan harinya fotonya terpampang di sebuah media nasional Indonesia dengan narasi ‘kini para wartawan asing’ pun terpikat oleh kandidat presiden. Maksudnya SBY.

Presiden Trump atau Biden ia perlu kesabaran. Namun demikian, berita terus bersileweran di telinganya, dari kasus pidana yang dituduhkan kepada mantan presiden hingga kebakaran hutan yang mematikan di Maui, Hawaii. Yang menyambutnya dengan tangan terbuka ialah para tetangga. Salah seorang antaranya adalah seorang professor. Seorang supporter fanatik gerakan woke. Ketika pintu rumahnya diketuk untuk berkenalan, agak curiga dia tidak membuka lebar pintunya. Tetapi ketika Paul memberitahu bahwa dia seorang wartawan, ibu itu tersenyum mempersilakan Paul masuk. Profesor tadi bilang bahwa dia juga penulis.

Tetangga di belakang rumahnya, perlahan mundur setelah Paul memberitahu bahwa ia seorang wartawan. Bukan karena tetangganya itu pendukung Trump dan menganggap Paul sebagai musuh rakyat. Tetapi karena ia seorang mantan petugas penerangan pada sebuah instansi pemerintah. Ada lagi tetangganya yag lain, namanya Neil. Usianya sekitar 70 tahunan, berambut panjang dan berjenggot. Dia tidak peduli dengan apa yang dilakukan orang-orang di sekitarnya asal ia bisa memainkan gitarnya. Belum lama ini Paul hadir menonton penampilan Neil di sebuah kafe blues. Neil senang bukan kepalang. Dia bahkan memperkenalkan Paul kepada penonton lainnya. “Ini tetangga baru saya, teman-teman. Dari Belanda, lho!” Kali ini pun Paul tidak mendengar tanggapan sama sekali.

***

Kolom ini dirilis De Telegraaf tanggal tanggal 18 Agustus 2023. Tajuk versi onlinenya De lol van een rol als ‘mister nobody’, sedangkan judul pada edisi cetak Nieuwe buurman, tayang pada halaman 19. Pada kedua edisi ditampilkan foto Paul Jansen dengan siluet sasaran teropong, sesuai dengan jargon kolom khusus disediakan De Telegraaf untuk Paul yaitu In Het Vizier. Dalam tulisan ini kami tidak menggunakan fotonya. Bukan karena tidak menemukan di internet, tetapi kuatir berurusan dengan hak cipta.

Meskipun Paul tidak menulis tentang Indonesia, tetapi terdapat segmen singkat dari opini yang ia tulis di atas terkait dengan Indonesia. Dan cukup menarik ia mengungkap fakta penting bahwa pada masa kampanye kontestasi politik tingkat nasional di Indonesia, para politisi berupaya mengoptimalkan semua sumber daya yang tersedia. Bahkan para wartawan media Barat pun digunakan untuk pansos atau amunisi pemenangan.

Ia pernah ditugaskan De Telegraaf menjadi koresponden di Indonesia. Penulis menduga minimal Paul tahu rasa nasi goreng, rendang, gudeg, dll. Barangkali ia juga mampu bertutur dalam Bahasa Indonesia. Tetapi penulis tidak tahu persis karena belum pernah bertemu beliau sekaligus bertanya tentang hal itu. Dalam kolomnya tanggal 28 September 2019 - Nieuws wacht niet op een persvisum dia menceritakan pengalamannya ketika diperintah bosnya ke Jakarta. Saat itu gonjang-ganjing suksesi ‘orang kuat’ Orde Baru itu mendekati klimaks. Dia meliput langsung seputar lengsernya Presiden Suharto tahun 1998 di mana visa dari KBRI Den Haag baru ia terima setelah kembali ke Belanda.

Fakta lain yang disampaikan Paul ialah teknik jitu menjawab pertanyaan orang Amerika di mana letak Belanda yaitu – next to Germany. Ini menyiratkan kalau orang Amerika lebih kenal dan tahu dengan Jerman. Belanda sepertinya tidak begitu masuk hitungan orang-orang di sana. Padahal orang Belanda pernah punya koloni di AS yaitu Nieuw Amsterdam yang kini berada di Lower Manhattan. Bahkan kota Harlem di Upper Manhattan berasal dari nama kota di Belanda yaitu Haarlem.

Paul memiliki profil sebagai wartawan kawakan serta sangat berpengalaman. Secara subyektif, kami melihat tulisannya yang kita kupas ini sekaligus merupakan 'curhatan'. Tetapi curahan hati yang lumayan berisi.

Paul sempat pula menjadi redaktur parlementaria De Telegraaf. Ia seorang komentator isu-isu sosial dan politik yang sering muncul di saluran televisi Belanda. Yang juga luar biasa dari seorang Paul Jansen ialah pilihannya berhenti menjadi pimred kemudian menjadi seorang koresponden biasa pada media yang sama. Bukti kebesaran jiwanya sebagai jurnalis sejati. Dapat disimpulkan bahwa ia seorang pewarta yang menjiwai profesinya sepenuh hati.

Foto bersumber dari Pexels karya Caleb Oquendo.

Ikuti tulisan menarik G. Yadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 jam lalu

Terpopuler