x

Sumber: TEMPO.

Iklan

Harrist Riansyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 April 2023

Minggu, 10 September 2023 10:34 WIB

Belajar Politik Elektoral dari Masa Lalu Bangsa

Kampanye melalui grup-grup kerabat ini kerapkali menimbulkan perselisihan didalam grup. Dari perbedaan pendapat mengenai sosok atau isu tertentu hingga hoax-hoax yang menyebar secara masif di grup-grup keluarga.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah kurang dari 6 bulan lagi publik Indonesia akan menghadapi hari yang akan menentukan nasib 5 tahun kedepan negeri ini. Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 untuk Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang kemudian diakhir tahun 2024 dilakukan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Dengan waktu yang terus mendekati hari-h waktu pemilihan para calon wakil rakyat sudah memulai kampanye mereka meski belum memasuki masa resmi kampanye yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Baliho-baliho, poster, hingga bendera partai sudah banyak menghiasi lingkungan sekitar kita khususnya ditempat yang dilewati banyak orang.

Apalagi dengan sudah majunya teknologi dengan internet mempermudah arus informasi dengan mudah dan cepat, mendorong partai politik dengan mesin partainya untuk melakukan penetrasi di internet terutama di media sosial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cara yang sudah lumrah yang dilakukan oleh para calon dan timsesnya di internet dan media sosial yaitu melakukan kampanye di grup-grup teman atau keluarga di media sosial (biasanya Whatsapp). Belum lagi teman atau kerabat terdekat kita yang “tidak angin tidak ada kabar” turut serta dalam pesta demokrasi 5 tahunan ini, entah sebagai calon wakil rakyat atau menjadi tim sukses (timses) calon tertentu. Mereka melakukan berbagai upaya kampanye demi memenangkan Pemilu kedepan. Hal yang disampaikan tidak jauh dari visi misi calon dan tak jarang menebar black campaign untuk menjelek-jelekkan saingannya.

Kampanye melalui grup-grup kerabat ini kerapkali menimbulkan perselisihan didalam grup. Dari perbedaan pendapat mengenai sosok atau isu tertentu hingga hoax-hoax yang menyebar secara masif di grup-grup keluarga. Imbasnya seperti pada Pemilu 2019 banyak sesama anggota keluarga saling memutuskan tali silahturahmi hingga ada yang melakukan penceraian karena perbedaan pilihan di pemilu. 

Padahal ketika masa Demokrasi Parlementer atau tepatnya saat masa kampanye pemilu 1955, setiap partai politik beserta pendukungnya tidak sefanatik sekarang dalam membela jagoan mereka dan tidak menimbulkan keributan dengan pesaing lainnya. Ini cukup aneh mengingat saat itu ideologi partai masih sangat kuat berbeda dengan partai politik sekarang yang cenderung pragmatis.

Berdasarkan penyataan wartawan senior, Alwi Shabab, didalam Seri Buku Tempo, “Pergulatan Demokrasi Liberal 1950-1959: Zaman Emas Atau Hitam?” dijelaskan suasan kampanye partai-partai politik untuk menaungi Pemilu 1955 yang merupakan pemilihan umum pertama yang dilakukan Indonesia setelah merdeka. Alwi Shabab yang ketika itu masih berusia 10 tahun menggambarkan suasana kampanye yang aman dan meriah.

Padahal saat itu juga ada propaganda dari para partai yang memiliki surat kabar yang saling memperebutkan pengaruh bahkan saling cerca juga terjadi di lapangan meski tidak sampai menimbulkan bentrok fisik. Salah satunya yang terjadi di Lapangan Banteng pada September 1955, yang ketika itu ada dua partai yang sedang melakukan kampanye disana yaitu Masyumi dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ajang saling ejek dimulai oleh Juru kampanye PKI yang mau menyemangati para pengikutnya disana dengan mengatakan “Jika Masyumi menang, Lapangan Banteng ini akan diubah jadi Lapangan Onta”. Tidak mau kalah Partai Masyumi membalas ejekan itu dengan mengatakan “Jika PKI menang, Lapangan Banteng akan diubah jadi Lapangan Merah, Kremlin, di Moskwa,” kata Juru kampanye Masyumi. Tidak berhenti sampai disitu Masyumi juga mengejek partai Nahdlatul Ulama (NU) dengan sebutan Partai Nasi Uduk,” ujar Alwi Shabab.

Dari pernyataan Alwi Shabab, bisa dilihat bahwa para generasi Indonesia pertama kali mengalami Pemilu ditengah perbedaan ideologi yang tinggi tiap partai ditambah pemberontakan yang terjadi dibeberapa tempat di Indonesia tidak menjadi perpecahan diantara para pemilih.

Seharusnya masyarakat Indonesia sekarang belajar dari para generasi sebelumnya yang tidak mudah merasa tersinggung dan tidak mudah bermusuhan kepada mereka yang berbeda pilihan dalam politik elektoral di Indonesia ini. Apalagi dalam pemilu belakangan para calon wakil rakyat kebanyakan akan satu suara dengan partai dibandingkan bisa berdiri sendiri ketika duduk di pemerintahan. Belum lagi partai-partai yang berpindah posisi yang sebelumnya berada di oposisi pemerintahan kemudian pindah menjadi pro-pemerintahan meski kalah dalam pemilu maupun sebaliknya. Tak jarang berpindah posisi ini tidak sejalan dengan yang dinginkan oleh para pemilihnya.

Jadi bisa disimpulkan keterbelahan yang menuju polarisasi tidak boleh terjadi di masyarakat secara luas karena hanya akan merusak hubungan bermasyarakat dan bisa menimbulkan permasalahan baru yang seharusnya tidak perlu terjadi. Lalu prinsip partai politik sekarang yang cenderung pragmatis semestinya masyarakat tidak terlalu fanatik terhadap pilihannya. Cukup keterbelahan pada tingkat ide dan gagasan tanpa perlu merasa tersinggung dengan pendukung lain. Kemudian selesai Pemilu dan sudah terpilihnya para calon yang akan menduduki kursi pemerintahan kita sebagai masyarakat sudah harus menghilangkan rasa perbedaan itu dan memperhatikan kinerja wakil rakyat itu secara objektif terlepas wakil rakyat itu merupakan pilihan kita atau tidak.   

Ikuti tulisan menarik Harrist Riansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 jam lalu

Terpopuler