x

Gus Dur dan Amien Rais. Foto: Wikipedia

Iklan

Geza Bayu Santoso

Philosophy Student, Faculty of Ushuluddin and Islamic Thought, State Islamic University Sunan Kalijaga Yogyakarta
Bergabung Sejak: 26 April 2023

Rabu, 20 September 2023 06:39 WIB

Seni Memahami Politik Gus Dur

Gus Dur adalah pemimpin yang sulit dipahami akrobat politiknya. Guru bangsa ini tak bisa dipahami dengan cara yang sederhana. Hanya waktu yang akan membuktikan mimpi-mimpi besarnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mendengar, membaca, dan melihat gagasan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah kegiatan yang saya lakukan sejak SMA. Dulu, yang ada dalam otak hanyalah paradigma bahwa Gus Dur merupakan kyai yang lucu, terutama saat berceramah di kampung-kampung. Kelucuan beliau tak bisa diragukan. Gus Dur mampu menceritakan hal sederhana menjadi guyonan yang bermakna, filosofis, dan syarat akan nilai keagamaan. Mungkin kalau Gus Dur lahir dan menyandang status sebagai Generasi z, ia adalah komika dengan materi stand up comedy yang luar bisa mengagumkan.

Waktu terus berjalan, saya melahap tulisan Gus Dur, menonton wawancaranya, dan mendiskusikan gagasan besar Gus Dur perihal agama dan kepercayaan. Namun, saya makin muak dengan apa yang beliau sampaikan, semacam omong kosong yang tak berkesudahan, gagasan adiluhur akan kondisi yang ideal namun sulit diwujudkan. Hingga berjumpalah saya dengan buku Menghidupkan Gus Dur. Catatan perjumpaan Gus Yahya dengan Gus Dur yang ditulis apik oleh AS Laksana.

Buku yang tak begitu tebal, namun berhasil menghadirkan sosok Gus Dur yang realistis dalam benak pembacanya. Kelesuan dan skeptisisme saya terhadap gagasan Gus Dur, terpatahkan oleh buku ini. Seperti menemukan alasan kembali untuk terus memahami Gus Dur dan segenap mimpinya. Memang guru bangsa ini tak bisa dipahami dengan cara yang sederhana. Sebab hanya waktu yang akan membuktikan mimpi-mimpi besarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gus Dur dan Agama “Senang”

Sebagai tokoh bangsa dengan perjalanan keagamaan yang sangat panjang, Gus Dur memiliki satu kecenderungan saat melihat problematika yang menyangkut keyakinan. Kecenderungan itu adalah menyelesaikan masalah dengan pendekatan yang menyenangkan. Sebut saja saat ada praktik intoleransi, sebagai pemimpin negara yang bijak, Gus Dur menyelesaikan problem keagamaan dengan cinta dan kasih sayang, menegasikan ego sektoral kelompok demi kepentingan bersama.

Gus Dur berkata, “Dari sudut pandang agama, saya ingin mengingatkan, agar ketidaksenangan kita terhadap seseorang atau suatu kaum jangan sampai menyebabkan kita berlaku tidak adil dalam memutuskan sesuatu”. Dari pernyataan ini, kita bisa sadar bahwa apa yang Gus Dur wariskan dalam praktik keagamaan bukan hanya pluralisme dan toleransi, Gus Dur mengajak kita untuk berbuat adil kepada mereka yang tertindas bukan kepada “mayoritas” ataupun “minoritas”.

Gagasan Gus Dur tentang pribumisasi Islam juga jadi salah satu hal yang masih dan akan terus relevan, mengingat bangsa Indonesia ini adalah negara yang akulturatif, mampu menampung bayak keragaman, mulai dari suku, agama, ras, bahkan pemikiran. Keniscayaan semacam ini menjadikan konsep Pribumisasi Islam menjadi satu hal yang seyogianya terus dijalankan, agar agama mampu terus relevan dalam menjawab problematika peradaban.

Kebhinekaan di Indonesia tentu menjadikan negara ini mengalami praktik polarisasi yang menyebalkan. Ada yang berpandangan bawah agama harus kembali kepada aspek fundamental seperti catatan sejarahnya, sebagian berpendapat bahwa agama harus mengikuti praktik barat agar tak tertinggal dengan disrupsi zaman. Namun, ide Pribumisasi Islam, barangkali menjadi pilihan terbaik dari yang semua pilihan baik.

Gus Dur menjadikan agama sebagai pandu dalam mengarungi kehidupan, semacam jalan bersama untuk membawa hidup jadi lebih membahagiakan. Dikotomi anatara ketuhanan dan kemanusiaan yang selama ini lazim kita temukan dalam dialog keagamaan, seyogianya kita sudahi saja dalam praktiknya, logika dikotomi tak menyelesaikan apapun, malah justru menghambat kita untuk saling memahami satu sama lain.

Generasi Z seperti saya ini musti mencontoh bagaimana cara Gus Dur bersikap, bertindak, dan berpikir. Beliau selalu membawa kesan senang dalam tulisan maupun sambutan-sambutan. Seriusnya hanya sesekali. Makanya aneh kalau ada orang yang ngaku pengikut Gus Dur tapi masih hobi marah-marah. Mari menjadi generasi yang saling mengasihi, saling menyayangi— sebab Gus Dur telah mewariskan visi utama beragama, yaitu kasih sayang.

Waktu yang Membuktikan 

Ada banyak keberpihakan atau langkah strategis Gus Dur yang sulit kita pahami, apa yang beliau inginkan dan bagaimana cara beliau menggapainya, sering tak terduga dan terkesan nyleneh di mata para sahabat. Gus Dur punya mata elang, ia mampu melihat permasalahan dari kacamata dan sudut pandang yang luas. Meski nyaris sendiri dalam memperjuangkan ide dan gagasan, kapasitas Gus Dur sebagai pemikir yang pemimpin dan pemimpin yang berpikir, terbukti dapat diandalkan dalam perjalanannya.

“Waktu yang akan membuktikan,” penggalan kata ini begitu dekat dengan Gus Dur. Banyak sekali fitnah yang disematkan kepada beliau. Namun, Gus Dur selalu menjadikan waktu sebagai jawaban atas tuduhan kepada pribadinya. Mungkin nilai kemanusiaan, inklusivisme, dan toleransi Gus Dur yang dirasa masih jauh panggang dari api ini, akan menemukan waktunya sendiri untuk menjadi satu nilai yang masif saat menjawab berbagai persoalan bangsa.

Sekali lagi, Gus Dur tak akan sebesar ini jika mudah dipahami. Atribusi wali ke sepuluh yang coba disematkan pendukung Gus Dur kepadanya, nampak menjadi satu hal yang tidak berlebihan. Saat kita membaca keberpihakan Gus Dur dalam dunia politik terutama saat menjadi pemimpin negara, menjadikan kita sadar bahwa apa yang diinginkan Gus Dur adalah hal-hal besar untuk  peradaban dan misi kebaikan yang  jangka panjang. 

Gus Yahya berkali-kali bilang, bahwa Gus Dur adalah sosok yang sepertinya tak memiliki kepentingan terhadap identitas pribadi, keluarganya saja tak diprioritaskan, apalagi dirinya. Sepak terjang beliau yang berkaitan dengan PKB, terutama saat mengacak-acak peta politik PKB di Situbondo, memang sangat menyebalkan kalau dipikir ulang, Gus Dur mempersulit administrasi DPC PKB Situbondo pimpinan Kyai Fawaid karena tahu bahwa praktik demokrasi di Situbondo tak sehat.

Pemilu pertama pasca reformasi, PKB sangat dominan di Situbondo. Bupati dan wakilnya dari PKB. 29 dari 45 kursi DPRD semuanya dari PKB. Partai islam lain seperti PPP nol kursi kala itu. Gus Dur mencoba mengacak-acak peta politik ini, dirinya mempersulit PKB Situbondo dalam mendapatkan SK, hal ini menjadikan Kyai Fawaid muak dan akhirnya kembali ke PPP.

Pemilu 2004 akhirnya menjawab maksud Gus Dur di Situbondo, PPP mendapatkan 13 kursi yang dalam periode sebelumnya nol, sebab Kyai Fawaid bergabung di PPP. Gus Dur melakukan manuver agar demokrasi di Situbondo makin terjamin, tak banyak yang paham maksud Gus Dur dengan langkah menyebalkan ini. Gus Dur hanya ingin mekanisme check and balances hidup dalam proses berpolitik.

Gus Dur memang sulit dipahami, apalagi perihal politik yang katanya rumit itu. Menjadikan Gus Dur sebagai idola adalah keputusan yang menyenangkan. Pemahaman beliau tentang agama dan keyakinan, membawa dirinya menjadi pribadi yang tenang dalam mengarungi asam garam kehidupan. Memang praktik keagamaan di Indonesia masih jauh dari kata ideal, tapi nilai moderatisme, pluralisme, dan toleransi yang diperjuangkan Gus Dur, harus terus dijaga api perjuangannya.








Ikuti tulisan menarik Geza Bayu Santoso lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu