x

Seorang guru yang sedang mengajar

Iklan

Iim Imrotin

Guru Bahasa Indonesia
Bergabung Sejak: 10 Maret 2022

Selasa, 10 Oktober 2023 16:50 WIB

Guru, Bolehkah Marah?

Guru merupakan manusia normal yang juga memiliki emosi. Marah boleh apa tidak? boleh. Tidak marah lebih boleh lagi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Guru juga manusia. Kita semua perlu menyadari itu sebelum menuliskan definisi, tugas, fungsi, dan berbagai kompetensi yang wajib dimiliki guru. Belakangan isu-isu tentang kemanusiaan guru menjadi pembahasan publik. Tak jarang media dan netizen terpecah dalam menyikapi idealism yang disematkan dalam diri guru. Ada yang beranggapan guru adalah seorang “manusia sempurna”. Harus sabar, tabah, telaten, menerima berapapun gajinya. Ada pula yang menganggap guru sebagai manusia pada umumnya yang juga punya sisi lemah.

Bercermin dari kasus seorang guru yang membotaki belasan siswi karena tidak mengenakan dalaman jilbab, kita bisa menanggapinya dari dua sisi. Pertama, secara agama Islam, bukankah kewajiban setiap muslim untuk menjaga auratnya? Sang guru benar secara akidah. Ibu guru sebagai manusia yang berjuang menegakkan perintah Tuhan. Namun ada sisi lain yang dilupakan, siswi itu juga manusia bukan? Tentunya ingin mendapat bimbingan dan dihargai harkat kemanusiaannya. Manusia punya pikiran dan perasaan, itu sudah fitrahnya. Mari kita melekatkan itu, siswa kita manusia. Mereka bisa diberitahu. Syukurnya kasus ini bisa diterima oleh siswa yang juga orang tuanya. Tidak ada kasus criminal yang dilaporkan, meski tentu saja celah itu ada. Kabarnya, sang guru tidak lagi diberi jam mengajar dan ditugaskan di kantor dinas.

Kasus yang saya amati selanjutnya adalah penganiayaan guru oleh wali murid karena sang guru menegur siswa yang merokok. Pak Guru salah apa Pak Wali? Sejak kapan ada pembenaran karena merokok? Beribu-ribu netizen ikut menghujat Tindakan kriminal itu. Setahu saya tidak ada sama sekali yang mendukung Tindakan si wali murid. Apalagi akibat kejadian itu, satu mata sang guru menjadi buta. Saya berusaha sedikit saja mencari pembenaran apa yang dilakukan oleh wali murid. Katanya kita harus selalu berpikir positif. Apakah itu saking sayangnya pada anak? Atau upaya pembenaran saja dari si ayah “Saya merokok, maka anak saya juga tidak apa-apa merokok”. Saya bisa mengatakan demikian, Karena murid saya sendiri juga demikian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suatu hari, saya mencium aroma rokok dari siswa yang berpapasan dengan saya. Siswa ini baru saja dari kamar mandi siswa, tempatnya di pojok belakang. Dalam dua detik saya memikirkan, mau marah atau saya diamkan. Saya ajak dia duduk di kursi selasar, depan kelasnya. Sembari berusaha mengendalikan pikiran negatif, saya bertanya “Apa kamu baru merokok?” Awalnya dia sempat mengelak, namun temannya yang mendengar malah melapor. Sembari senyum-senyum, siswa ini menjawab iya tanpa merasa ada beban. Maka saya memulai sebuah wawancara sembari santai.

Hasilnya saya simpulkan seperti ini. Anak ini merokok mulai SD dengan dukungan penuh orang tuanya. Setiap hari dibelikan satu pak dan habis. Dia sudah mengalami kecanduan, sulit untuk memaksa tidak merokok, setidaknya di jam pelajaran mulai pukul 07.00 sampai 15.00. Saya hanya bisa menasehati, selama di sekolah jangan merokok, lumayan hematlah. Tidak ada yang bisa mengubah jalan hidup kecuali diri sendiri. Dia hanya mengangguk-angguk saja. Malah lanjut bercerita kalau dia sudah sakit paru-paru basah. Makanya nafasnya gampang tersengal-sengal.

Selepas mengobrol dengan santai begitu, sejenak saya renungkan. Jika orang tua dipanggil ke sekolah, apakah mereka mau bekerja sama demi masa depan anaknya? Sungguh saya ingin sekali marah pada orang tuanya. Entahlah, masalah ini sudah saya sampaikan pada bagian kesiswaan dan wali kelas. Saya hanya bisa mengingatkan tiap kali bertemu. Semoga muridku ini sehat dan mencapai cita-citanya tanpa ada yang perlu disesali.

Berikutnya masih terkait dengan bolehkah guru marah? Hari itu saya kena tipu toko kue. Saya memesan kue untuk teman yang sedang berulang tahun yang berada di luar kota. Anggaplah itu kue kejutan, tanpa pikir panjang saya memesan pada nomor yang ada di website. Ternyata ketika saya telpon, pas hari H. nomor itu sudah tidak aktif. Wah, emosilah saya seketika itu. Beum lepas jengkel, bel tanda masuk berbunyi. Dengan kepala masih panas saya masuk ke kelas. Jam terakhir dengan suhu tiga puluh dua derajat disertai angin bercampur debu. Saya rasa dramatis. Beberapa siswa tidur, sebagian besar main HP, juga masih ada yang ke kantin. Keluarlah kalimat-kalimat tajam tanpa senyum diiringi intonasi menggebu.

Anak-anak nampak malas menyimak, saya tahu, tetapi terus saya sampaikan uneg-uneg itu. Perlu waktu dua puluh menitan untuk sampai pada inti pembelajaran. Suasana kelas tidak lagi nyaman seperti biasanya. Anak-anak diam sembari malas-malasan mengerjakan. Tidak ada yang bertanya, tidak ada yang bilang “Bolpoin saya hilang Bu”, “Buku saya kemana?” Ah, kelas sungguh tak nyaman jika diawali dengan marah.

Akibatnya, siswa tidak selesai mengerjakan, saya tidak ada waktu memerika, pun memberikan refleksi. Buku dikumpulkan keesokan harinya, saya kerepotan koreksi sembari mengajar kelas lain. Makanya, marah adalah pilihan untuk hidup rumit.    

Secara teoritis, emosi marah bersifat sangat sosial dan implikasinya akan berdampak langsung
pada masyarakat (Zuhdi & Nuqul, 2022). Penyebab marah dikaitkan dengan perasaan terluka, persepsi ketidakadilan, dan perilaku yang tidak diharapkan. Marah dalam ajaran agama tentu tergolong dalam kebatilan. Marah sebagai bagian dari emosi negatif tentu membawa suasanya yang tidak nyaman, termasuk di dalam kelas (Gupta & Singh, 2021).

Marah memang memiliki dua dampak, namun cenderung berdampak negatif baik orang yang marah maupun yang dimarahi. Riset tentang masalah kesehatan yang timbul sebagai akibat dari emosi ini menunjukkan bahwa marah meningkatkan risiko penyakit jantung, menyebabkan darah tinggi, dan mendorong peningkatan kadar gula dalam darah (Fridayanti & Fitriah, 2020). Sebenarnya marah itu muncul dari terhambatnya sebuah keinginan. Misalkan seorang guru menginginkan seluruh siswanya diam dan menyimak pembelajaran, namun ternyata ada dua siswa yang mengobrol. Hal ini meningkatkan potensi sang guru untuk marah.

lalu, apakah guru boleh marah? Sebaiknya tidak dilakukan. Oleh karena itu ada beberapa tips yang disadur dari laman Kemenkes untuk menghindari marah. Pertama, duduk dan menenangkan diri dengan cara menarik nafas dan tahan selama tiga detik, lalu hembuskan. Kedua. Mempertimbangkan dampak yang terjadi jika amarah tidak terkontrol. Kemudian yang ketiga, jangan berlebihan saat marah, misal melemparkan benda-benda karena dampaknya bisa sangat buruk. Keempat, berdoalah agar hati menjadi tenang kembali. Terakhir, pahamilah waktu yang tepat untuk melampiaskan emosi, karena terkadang kesalahan sesaat itu dapat kita sesali jika sudah reda amarahnya. Apabila guru bisa mengendalikan diri dan menempatkan marah pada tataran yang tepat, maka kejadian-kejadian yang melibatkan konflik antara guru-siswa-dan wali murid dapat dihindarkan.

 

Daftar Pustaka

Fridayanti, F., & Fitriah, E. A. (2020). Mengapa dan Bagaimana Saya Marah? Studi Eksplorasi Mengenai Penyebab dan Pilihan Ekspresi Marah pada Remaja Islam Beretnis Sunda. Jurnal Psikologi Ulayat, 8, 69–90.

Gupta, R., & Singh, J. P. (2021). Only irrelevant angry, but not happy, expressions facilitate the response inhibition. Attention, Perception, and Psychophysics, 83(1). https://doi.org/10.3758/s13414-020-02186-w

Zuhdi, M. S., & Nuqul, F. L. (2022). Konsepsi Emosi Marah Dalam Perspektif Budaya di Indonesia: Sebuah Pendekatan Indigenous Psychology. Jurnal Psikologi, 18(1), 51. https://doi.org/10.24014/jp.v18i1.14680

 

Ikuti tulisan menarik Iim Imrotin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu