x

Kartun: Yuyun Nurrachman/Majalah Tempo

Iklan

Iman Haris

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 31 Oktober 2023 15:59 WIB

Inflasi Nasi Goreng, Imaji Kepuasan dan Imagologi

Ah, inflasi nasi goreng rupanya. Ini seolah melengkapi kabar tukang warung yang langsung mengawali percakapan kami dengan laporan kenaikan harga rokok tadi pagi. Harga beras dan sayuran di pasar beberapa hari terakhir ini juga terus merangkak naik. Kecepatannya tak kalah dari tingginya hasil survei tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi yang dipublikasikan banyak lembaga dan media.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Empat belas ribu ya, man?” tanya saya kepada Lukman, penjual nasi goreng di dekat rumah. “Naik jadi lima belas,” jawabnya sambil tersenyum, lalu menyerahkan nasi yang telah selesai dia bungkus.

Ah, inflasi nasi goreng rupanya, seolah melengkapi kabar tukang warung yang juga langsung mengawali percakapan kami dengan laporan kenaikan harga rokok tadi pagi, jadi ini info A1.

Harga beras dan sayuran di pasar beberapa hari terakhir ini juga terus merangkak naik, seolah tak ingin kalah dari tingginya hasil survei tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi yang dipublikasikan banyak lembaga dan media.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Imagologi!” cetus Milan Kundera dalam bilik ingatan, “Pendapat umum merupakan instrumen kekuatan imagologi yang menentukan. Pendapat umum pula yang menyebabkan imagologi bisa hidup harmonis dengan masyarakat.”

“Realitas, sekarang ini seolah-olah merupakan suatu daratan yang jarang dikunjungi dan tak begitu disukai. Pendapat sudah jadi semacam realitas tertinggi. Dengan kata lain sudah menjadi kebenaran,” tulis dia dalam L’Immortalité.

Kenyataan yang dialami Lukman si penjual nasi goreng, Yadi si penjaga warung, dan ibu-ibu yang harus beradu kepiawaian menawar harga dengan para pedagang di pasar tentu bukan tandingan angka-angka para ahli dan politisi yang menyesaki layar kaca dan berita di media sosial.

Terlebih jika angka-angka tadi dirangkai bersama pengabadian adegan para politisi turun ke gorong-gorong dengan lengan kemeja tersingsing atau potret mereka mengangkat padi hasil panen bersama para petani dengan wajah sumringah.

Rintihan Wadas yang dirampas dari tangan-tangan kecil penduduk desa semakin sayup terdengar di tengah hingar hasrat pengekalan kekuasaan dengan dalil kepuasan masyarakat demi keberlanjutan pembangunan.

Ya, pembangunan! Mantra Orde Baru itu kini bahkan dirapalkan anak-anak muda berjaket merah, dengan sedikit tambahan jampi-jampi, “Awokawokawok,” dan hadirinpun bertepuk tangan.

“Imagologi sungguh sudah jauh melibas ideologi. Imagologi lebih kuat dari realitas, apalagi manusia sudah lama tak melihat lagi realitas seperti yang dilihat nenek saya yang hidup di dusun kawasan Moravia,” jelas Kundera tentang neologisme yang dia temukan bersama karakternya dalam novel itu.

Masih lanjutnya lagi, “Nenek mengetahui segalanya melalui pengalaman … Nenek berjumpa dengan semua penduduk desa saban hari sehingga beliau tahu berapa pembunuhan yang terjadi selama sepuluh tahun di daerah itu. Bisa dikatakan beliau menggenggam realitas di bawah kontrol pribadinya, dengan demikian tidak ada satu hal pun yang sanggup membuatnya percaya bahwa pertanian di Moravia maju pesat jika tak ada apa yang bisa dimakan di rumah.”

Ah, bukankah kita juga menggenggam realitas di tangan kita? Tentu realitas yang telah diramu oleh para imagolog dan disajikan melalui panggung media sosial, sehingga paripurnalah pengekalan imaji.

Ikuti tulisan menarik Iman Haris lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler