Inflasi Nasi Goreng, Imaji Kepuasan dan Imagologi

Selasa, 31 Oktober 2023 15:59 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ah, inflasi nasi goreng rupanya. Ini seolah melengkapi kabar tukang warung yang langsung mengawali percakapan kami dengan laporan kenaikan harga rokok tadi pagi. Harga beras dan sayuran di pasar beberapa hari terakhir ini juga terus merangkak naik. Kecepatannya tak kalah dari tingginya hasil survei tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi yang dipublikasikan banyak lembaga dan media.

“Empat belas ribu ya, man?” tanya saya kepada Lukman, penjual nasi goreng di dekat rumah. “Naik jadi lima belas,” jawabnya sambil tersenyum, lalu menyerahkan nasi yang telah selesai dia bungkus.

Ah, inflasi nasi goreng rupanya, seolah melengkapi kabar tukang warung yang juga langsung mengawali percakapan kami dengan laporan kenaikan harga rokok tadi pagi, jadi ini info A1.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Harga beras dan sayuran di pasar beberapa hari terakhir ini juga terus merangkak naik, seolah tak ingin kalah dari tingginya hasil survei tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi yang dipublikasikan banyak lembaga dan media.

“Imagologi!” cetus Milan Kundera dalam bilik ingatan, “Pendapat umum merupakan instrumen kekuatan imagologi yang menentukan. Pendapat umum pula yang menyebabkan imagologi bisa hidup harmonis dengan masyarakat.”

“Realitas, sekarang ini seolah-olah merupakan suatu daratan yang jarang dikunjungi dan tak begitu disukai. Pendapat sudah jadi semacam realitas tertinggi. Dengan kata lain sudah menjadi kebenaran,” tulis dia dalam L’Immortalité.

Kenyataan yang dialami Lukman si penjual nasi goreng, Yadi si penjaga warung, dan ibu-ibu yang harus beradu kepiawaian menawar harga dengan para pedagang di pasar tentu bukan tandingan angka-angka para ahli dan politisi yang menyesaki layar kaca dan berita di media sosial.

Terlebih jika angka-angka tadi dirangkai bersama pengabadian adegan para politisi turun ke gorong-gorong dengan lengan kemeja tersingsing atau potret mereka mengangkat padi hasil panen bersama para petani dengan wajah sumringah.

Rintihan Wadas yang dirampas dari tangan-tangan kecil penduduk desa semakin sayup terdengar di tengah hingar hasrat pengekalan kekuasaan dengan dalil kepuasan masyarakat demi keberlanjutan pembangunan.

Ya, pembangunan! Mantra Orde Baru itu kini bahkan dirapalkan anak-anak muda berjaket merah, dengan sedikit tambahan jampi-jampi, “Awokawokawok,” dan hadirinpun bertepuk tangan.

“Imagologi sungguh sudah jauh melibas ideologi. Imagologi lebih kuat dari realitas, apalagi manusia sudah lama tak melihat lagi realitas seperti yang dilihat nenek saya yang hidup di dusun kawasan Moravia,” jelas Kundera tentang neologisme yang dia temukan bersama karakternya dalam novel itu.

Masih lanjutnya lagi, “Nenek mengetahui segalanya melalui pengalaman … Nenek berjumpa dengan semua penduduk desa saban hari sehingga beliau tahu berapa pembunuhan yang terjadi selama sepuluh tahun di daerah itu. Bisa dikatakan beliau menggenggam realitas di bawah kontrol pribadinya, dengan demikian tidak ada satu hal pun yang sanggup membuatnya percaya bahwa pertanian di Moravia maju pesat jika tak ada apa yang bisa dimakan di rumah.”

Ah, bukankah kita juga menggenggam realitas di tangan kita? Tentu realitas yang telah diramu oleh para imagolog dan disajikan melalui panggung media sosial, sehingga paripurnalah pengekalan imaji.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Iman Haris

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Para Wirausahawan yang Tidak-tidak

Selasa, 7 November 2023 11:40 WIB
img-content

Politik Positif Toksik

Jumat, 3 November 2023 12:52 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler