x

Ilustrasi Boneka Politik. Karya Alex Yomare dari Pixabay.com

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Jumat, 17 November 2023 06:23 WIB

Politik Minus Keadaban, Tantangan Berat Pemilu 2024

Berawal dari putusan MK yang kontroversial itu, Pemilu kita per hari ini jadi tak asyik. Baru selesai fase kandidasi, berisik tiada terkira. Konyolnya semua itu disebabkan bukan oleh pertukaran ide atau kemeriahan festival gagasan, tapi karena sengkarut persoalan hukum dan problematika moralitas politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Senin dan Selasa kemarin (13-14 November 2023) KPU telah menetapkan dan memberi nomor pada tiga pasangan calon presiden-wakil preside Pemilu 2024. Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar nomor urut 1, Prabowo Subiyanto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md di nomor urut 3. Dua peristiwa ini menandai dimulainya kontestasi Pilpres yang sebenarnya. Akhir November ini ketiga paslon akan bekerja keras menjajakan diri kepada rakyat untuk mendapat simpati dan dukungan melalui ajang kampanye yang nampaknya bakal berlangsung panas.

Tanda-tanda kampanye bakal berlangsung panas berceceran dimana-mana. Dimulai dari putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial itu, yang telah memicu kekecewaan publik, berlanjut ke pelaporan dugaan pelanggaran etik sebagai hakim konstitusi, dan akhirnya berujung pada dipecatnya Anwar Usman dari posisi jabatan Ketua MK oleh Majelis Kehormatan MK.

Putusan MKMK yang diharapkan akan mengakhiri kontroversi dan mengurangi kegaduhan ternyata jauh panggang dari api. Anwar marah besar. Merasa dibunuh karakternya, dilumatkan martabat dan harga dirinya. Di sisi politiknya perdebatan kian meruncing sekaligus melebar. Kubu KIM menuduh ada pihak-pihak yang bernafsu menjegal Gibran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terkait posisi Gibran sendiri, bahkan hingga KPU menetapkannya secara resmi sebagai pasangan calon bersama Prabowo juga belum sepenuhnya reda dari perbincangan masyarakat. Label “cacat etik” disematkan publik pada proses pencalonannya. Hal ini didasarkan pada putusan MKMK yang menyatakan bahwa pamannya, Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat etik sebagai hakim konstitusi pada saat memeriksa, mengadili dan memutus perkara Nomor 90 tadi.

Di tengah kegaduhan elektoral yang dipicu oleh “biangkerok” putusan Nomor 90 itu, publik juga disuguhi tontonan dan pemberitaan perihal pencopotan baliho-baliho Ganjar-Mahfudz di beberapa daerah. Dalam kasus ini, pihak Ganjar-Mahfudz menuding ada keterlibatan aparat kepolisian. Meski pihak kepolisian telah membantah tudingan itu, bahkan Aiman Wicaksono, Jubir Ganjar-Mahfudz juga dipolisikan, informasi sudah terlanjur menyebar bahwa ada potensi kecurangan, potensi ketidakpatuhan pada aturan Pemilu.

Terakhir, di tengah suasana gembira dan ketawa-ketawa pengundian nomor urut paslon, pada sesi orasi sambutan, Ganjar menyentil dengan lugas soal drakor dengan gestur yang sangat serius dan menyiratkan ada emosi di balik orasinya.   

Satu ceceran lagi, masih dari muasal “biangkerok” yang sama, KPU RI digugat, tak tanggung 70,5 trilyun. Dasar gugatan adalah dugaan perbuatan melawan hukum lantaran menerima pendaftaran Bacapres Prabowo-Gibran sementara PKPU tentang Pencalonan belum direvisi sesuai putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

 

Memancing sisi gelap

Pemilu kita jadi gak asyik. Baru selesai fase kandidasi, berisik tiada terkira. Konyolnya bukan oleh pertengkaran ide atau kemeriahan festival gagasan. Melainkan oleh sebab persoalan hukum dan problematika moral yang keduanya bermula dari putusan MK tadi.

Agak khawatir membayangkan seandainya persoalan hukum dan urusan moralitas yang menyertai fase kandidasi ini tak selesai sebelum masa kampanye dimulai akhir November nanti.

Pertama, pertengkaran dan kegaduhan potensial bakal semakin ramai dan menegangkan. Isu karut marut hukum dan keadilan Pemilu, serta isu a-moralitas yang disematkan kepada paslon Prabowo-Gibran nampaknya bakal terus digoreng dan dikapitalisasi oleh lawan-lawan politiknya. Terutama di level akar rumput masing-masing kubu pendukung. Tentu saja, kubu Prabowo-Gibran bakal bereaksi. Ramai.

Kedua, dengan demikian arena kampanye boleh jadi akan lebih banyak disesaki oleh isu dan tema-tema non-programatik. Masing-masing kubu akan sibuk saling mengkapitalisasi isu-isu negatif pada lawan politiknya dan menjadikannya sebagai peluru untuk saling menyerang.  

Ketiga, ini yang kemudian lebih menghawatirkan lagi. Putusan MK yang dianggap cacat secara hukum serta pencalonan Gibran sebagai Cawapres dianggap cacat secara moral dan sama sekali tak tuntas, bisa saja memancing sisi gelap pikiran lawan-lawan politiknya untuk melakukan tindakn-tindakan nir-keadaban, ketakpatuhan pada peraturan perundangan Pemilu.

Akhirnya, semua kubu terjerumus pada politik Machiavellian yang berbahaya. Karena setiap norma (kewajiban atau larangan) akan disiasati demikian rupa untuk semata-mata demi kepentingan atau keuntungan elektoral masing-masing kubu. Pemilu dengan demikian menjadi hajat demokrasi yang minus keadaban.

 

Pemilu minus keadaban

Pemilu minus keadaban adalah pemilu yang tidak lagi mengindahkan peraturan perundangan, menisbikan regulasi dan berbagai ketentuan. Sekaligus pada akhirnya juga mengesampingkan prinsip-prinsip koeksistensi dan kohesivitas sosial, kesediaan untuk hidup bersama dan bekerjasama dalam suasana damai dan harmoni.

Ketiadaan komitmen keadaban yang demikian akan menjadikan Pemilu bukan lagi sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, sebagai arena kontestasi gagasan dan festival ide-ide visioner dan programatik untuk masa depan bangsa dan negara. Melainkan sebagai ajang untuk saling menyerang dan menyakiti. Pemilu yang demikian jelas potensial menghancurkan integrasi kebangsaan. Inilah tantangan berat yang akan segera dihadapi dalam Pemilu 2024.

Meminjam ulasan Reza AA. Wattimena (Rumah Filsafat, 2010), keadaban publik dibentuk melalui tiga unsur, yakni keinginan untuk hidup bersama, empati, dan kepatuhan pada aturan yang adil. Tanpa ketiga hal ini, keadaban publik tidak akan tercipta. Tanpa keadaban publik hidup bersama akan terasa menyakitkan. Kegelisahan dan konflik sosial akan menjadi bagian dari rutinitas warga.

Demikian pula halnya dengan Pemilu sebagai aktifitas publik untuk merotasi kekuasaan secara tertib, memilih pemimpin dengan cara memberinya mandat memerintah. Tanpa dialasi ketiga unsur keadaban itu, Pemilu hanya akan menjadi ruang kontestasi yang pengap, panas dan saling menyakiti.

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu