x

image: ACR

Iklan

Yan Okhtavianus Kalampung

Narablog dan Akademisi
Bergabung Sejak: 11 Desember 2023

Sabtu, 30 Desember 2023 05:03 WIB

Apakah Agama dapat Menambah Stigma terhadap Gangguan Depresi?

Keyakinan keagamaan dapat mempengaruhi bagaimana individu mempersepsikan dan merespons gangguan kesehatan mental. Wa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan kesadaran global terhadap isu kesehatan mental. Hal ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk pandemi COVID-19 yang telah menyoroti pentingnya kesehatan mental serta akses ke layanan kesehatan mental.

Meskipun kesadaran meningkat, stigma terhadap gangguan kesehatan mental masih menjadi tantangan besar. Stigma ini dapat menghambat individu dari mencari bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan.

Depresi, sebagai salah satu gangguan kesehatan mental yang paling umum, sering disalahpahami dan dianggap tabu dalam banyak budaya dan masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi banyak orang, agama dan kegiatan keagamaan menyediakan dukungan sosial, penghiburan spiritual, dan panduan moral yang penting. Ini dapat mempengaruhi cara individu memahami dan menanggapi masalah kesehatan mental.

Berbagai tradisi agama memiliki pendekatan yang berbeda terhadap kesehatan mental. Beberapa mungkin menekankan kekuatan doa atau kepercayaan spiritual sebagai cara untuk mengatasi masalah mental, sementara yang lain mungkin lebih mendukung atau terbuka terhadap intervensi psikologis dan medis.

Keyakinan keagamaan dapat mempengaruhi bagaimana individu mempersepsikan dan merespons gangguan kesehatan mental. Dalam beberapa kasus, keyakinan agama dapat mengurangi stigma atau memberikan dukungan komunal, sementara dalam kasus lain, dapat meningkatkan stigma atau menghambat pencarian bantuan profesional.

Memahami hubungan antara agama dan stigma terhadap kesehatan mental, khususnya dalam konteks yang berbeda seperti komunitas Kristen evangelis, penting untuk membantu mengembangkan strategi yang efektif untuk mengatasi masalah kesehatan mental dan stigma dalam berbagai kelompok masyarakat.

Dalam konteks ini, artikel oleh Adam C. Pace dan J. Michael McGuire menjadi penting karena memberikan wawasan tentang bagaimana keyakinan dan praktik keagamaan tertentu, khususnya dalam komunitas Kristen evangelis, dapat berinteraksi dengan stigma diri terhadap depresi. Memahami dinamika ini bisa membantu dalam merancang intervensi yang lebih efektif dan empatik untuk mengatasi masalah kesehatan mental dalam konteks keagamaan.

Artikel "The relationship of self-stigma of depression to evangelical beliefs and religious practices" merupakan studi yang mendalami hubungan antara stigma diri terhadap depresi dan keyakinan serta praktik keagamaan khususnya dalam komunitas Kristen evangelis.

Penelitian ini dilakukan oleh Adam C. Pace dan J. Michael McGuire, dengan tujuan utama untuk memahami apakah ada perbedaan yang signifikan dalam stigma diri terhadap depresi antara orang Kristen evangelis dan non-evangelis, serta antara Kristen dengan non-Kristen.

Studi ini berangkat dari temuan sebelumnya yang menunjukkan bahwa orang Kristen cenderung memiliki tingkat stigma diri yang lebih tinggi terhadap depresi dibandingkan populasi umum. Penelitian ini secara khusus ingin mengetahui apakah orang Kristen yang mengidentifikasi diri sebagai evangelis memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal stigma diri terhadap depresi dibandingkan dengan mereka yang bukan evangelis.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan survei elektronik yang diisi oleh 1000 responden, yang mencerminkan demografi populasi Amerika Serikat. Survei ini mencakup: Informasi Demografis untuk memahami latar belakang responden. Skala Stigma Depresi Diri (SSDS) untuk mengukur tingkat stigma diri terhadap depresi. dan Kuesioner Kesehatan Pasien-9 (PHQ-9) yaitu ebuah alat pengukuran untuk depresi.

Fokus utama adalah pada perbandingan skor rata-rata SSDS di antara Kristen evangelis dengan non-evangelis dan non-Kristen.

Hasil penelitian menarik karena tidak menunjukkan perbedaan signifikan dalam skor SSDS rata-rata antara orang Kristen evangelis dengan kelompok lainnya. Namun, penelitian ini menemukan bahwa peningkatan frekuensi dalam praktik keagamaan Kristen tertentu berkaitan dengan skor SSDS yang lebih tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa sementara identifikasi sebagai evangelis mungkin tidak langsung berkorelasi dengan stigma diri yang lebih tinggi, praktik keagamaan tertentu mungkin berhubungan dengan aspek tertentu dari stigma diri.

Artikel ini memberikan wawasan tentang hubungan yang kompleks antara agama dan psikiatri, khususnya dalam konteks stigma terhadap depresi. Temuan bahwa individu yang lebih sering terlibat dalam ibadah dan studi Alkitab kelompok mungkin memiliki rasa malu yang lebih tinggi dan kemungkinan lebih kecil untuk mencari bantuan profesional untuk depresi, menunjukkan bahwa beberapa aspek praktik keagamaan dapat mempengaruhi persepsi dan respons terhadap gangguan kesehatan mental.

Meskipun penelitian ini tidak menemukan hubungan langsung antara identifikasi sebagai Kristen evangelis dengan tingkat stigma diri yang lebih tinggi terhadap depresi, ada indikasi bahwa frekuensi tertentu dalam praktik keagamaan mungkin berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dari stigma diri. Hal ini mengundang penelitian lebih lanjut untuk memahami hubungan antara keyakinan dan praktik keagamaan dengan stigma diri, dan bagaimana hubungan ini mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap gangguan kesehatan mental seperti depresi.

Penelitian ini penting dalam upaya mengurangi stigma terhadap gangguan kesehatan mental dan meningkatkan akses ke perawatan yang tepat dalam komunitas keagamaan.

 
 
 

Ikuti tulisan menarik Yan Okhtavianus Kalampung lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler