x

Sumber: TEMPO.

Iklan

Syabar Suwardiman Seorang Guru

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 November 2021

Selasa, 13 Februari 2024 19:06 WIB

Teori Musibah dalam Kepemimpinan Indonesia, Cerminan Pemilu 2024

Masalahnya adalah jangan-jangan ada pihak yang tetap memelihara masyarakat untuk tidak cerdas. Bagi dia yang penting kekuasaan tetap dipegang apa pun caranya. Kalau sudah begini, kita tinggal menunggu hancurnya Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam ajaran agama Islam ketika seseorang mendapat amanat jabatan, maka ucapan pertama yang diucapkan adalah, “Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali”. Ucapan yang sama ketika mendengar kabar duka, paling sering ketika ada kerabat atau orang yang dikenal meninggal dunia.

Mengapa ketika dipercaya menjadi pemimpin ucapannya sama dengan ucapan kabar duka? Karena dikhawatirkan pemimpin membawa sebab terjadinya musibah. Dia kemudian akan berhati-hati dalam menjalankan tugas kepemimpinannya, bagi yang percaya dengan agama, tanggung jawabnya tidak hanya di dunia tetapi juga akhirat.

Dalam budaya demokrasi ketika pemimpin dipilih langsung maka pemilih pun harus hati-hati dengan pilihannya. Jangan sampai pemimpin yang dipilihnya menjadi sebab musibah bagi diri dan masyarakatnya. Musibah tidak harus berupa bencana alam, tetapi menumbuhsuburkan perilaku korupsi, ketidakjujuran, kecurangan adalah bencana juga. Ini justru sangat berbahaya akan menimbulkan generasi hedonis, tidak memiliki kepedulian pada lingkungan dan tidak memiliki tenggang rasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika seseorang terkena musibah, maka kekuatan-kekuatan untuk menyelamatkan diri menjadi sangat luar biasa. Beyond the imagination. Musibah saat dikejar anjing, mampu melompati pagar yang tinggi. Saat terbawa arus apa saja berusaha diraih agar bisa selamat, saat tersesat di hutan apa pun dilakukan agar bisa selamat. Namun tentunya penentu akhir adalah ketentuan takdir dari Allah SWT.

Dalam perspektif demokrasi Indonesia, apakah kegagalan Pak Prabowo meraih posisi Presiden adalah musibah bagi Pak Prabowo dan pendukungnya, sehingga semua cara dilakukan, termasuk menjadikan Gibran sebagai Calon Wakil Presiden? Kita tahu sejak Gibran “diloloskan” Mahkamah Konstitusi negara ini menjadi terusmenerus hingar bingar dengar berbagai kritikan. Banyak pihak menyebut Gibran sebagai anak haram konstitusi, bahkan diucapkan oleh mantan Menkopolhukam, Mahfud MD.

Terakhir berbagai indikasi kecurangan dirangkum dalam sebuah film yang berjudul Dirty Vote.

Dua kali menjadi pemilih Prabowo, tentunya merasakan betul perubahan yang terjadi pada diri seorang Prabowo. Sikap kesatria, jauh dari melakukan kesan kecurangan, sekarang seolah melepaskan sikap kesatria seorang prajurit. Ada apa? Apakah benar Prabowo tidak tahan berada di jalur oposisi, atau kadung langkah melindungi berbagai kepentingan orang di sekelilingnya, atau malah jangan-jangan tersandera juga dengan berbagai masalah yang menderanya?

Kembalikan pada Pilar Demokrasi

Keputusan MK meloloskan Gibran telah cacat secara etika. Satu-satunya jalan adalah dengan menghukum menggunakan etika juga. Kalau mengacu pada 10 pilar demokrasi, jawaban paling tepat adalah dengan menggunakan pilar kecerdasan. Demokrasi dengan kecerdasan adalah mengatur dan menyelenggarakan demokrasi sesuai dengan UUD 1945 yang semata-mata bukan karena kekuatan naluri, kekuatan otot atau kekuatan massa semata-mata. Demokrasi lebih menuntut kecerdasan rohaniah, aqliyah, rasional, dan emosional.

Mengutip ucapan Bivitri dalam film Dirty Vote, untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor tidak perlu kepintaran atau kecerdasan karena yang diperlukan cuma dua: mental culas dan tahan malu.

Kita baca ulang, demokrasi menuntut kecerdasan rohaniah. Rohaniah berkaitan dengan Tuhan Pencipta Alam, dekat kepada kecerdasan spiritual. Kemudian kecerdasan aqliyah dan rasional, ini berkaitan dengan kecerdasan intelektual. Terakhir kecerdasan emosional, adalah kecerdasan mengelola emosi dalam menghadapi berbagai masalah. Konsep pilar demokrasi berbasis kecerdasan ini sejalan dengan konsep SPIRE yang dikembangkan Universitas Harvard. SPIRE merupakan singkatan Spiritualitas, Physical, Intelektual, Relationship dan Emotional. SPIRE ini adalah pelita untuk menentukan pemimpin melalui pemilihan umum.

Baik Prabowo maupun Gibran selalu menyatakan serahkan semuanya pada rakyat, di sinilah rakyat ditantang kecerdasannya. Seolah-olah kalau saya (Gibran) melanggar etika, silakan jangan pilih saya.

Namun masalahnya adalah jangan-jangan ada pihak yang tetap memelihara masyarakat untuk tidak cerdas, yang penting kekuasaan tetap dapat dipegang apa pun caranya. Kalau sudah begini, kita tinggal menunggu hancurnya Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Syabar Suwardiman Seorang Guru lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler