Persoalan Etika dalam Pemilu 2024; Noda Gelap Demokrasi
Kamis, 22 Februari 2024 06:52 WIBPada prinsipnya etika berada di atas hukum. Tidak semua aturan hukum mengatur soal etika, sehingga rasionalitas, kejujuran, dan hati nurani para pejabat negara harus mengutamakan kepentingan masyarakat. Bukan kepentingan individu/kelompok tertentu seperti yang terlihat selama ini.
Persoalan etika menjadi salah satu topik utama perbincangan publik di Pemilu 2024. Hal tersebut beranjak dari berbagai macam pelanggaran etika yang dilakukan oleh pejabat publik, pejabat negara, dan elit politik. Berbagai konflik kepentingan merusak pemilu yang seharusnya merayakan pesta demokrasi bukan perusakan demokrasi.
Masalah soal etika dimulai sejak Putusan MK perihal batas usia minimal capres-cawapres yang memberi karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, untuk ikut kontestasi Pemilu 2024. Mantan Ketua Hakim MK Anwar Usman terbukti melanggar kode etik berat terkait konflik kepentingan, merujuk Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Konsekuensi dari pelangaran etik berat tersebut berakibat pada Anwar yang tidak bisa mengadili sengketa terkait Pemilu 2024.
Pelanggaran etik yang terbaru dilakukan oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) menyatakan Ketua KPU terbukti melanggar etik soal menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres. Hasyim mendapat teguran keras kedua dari DKPP.
Sebagai Presiden, Jokowi yang sudah tidak ikut dalam kontestasi pilpres seharusnya tidak ikut cawe-cawe. Namun, kenyataannya Jokowi diduga melakukan berbagai manuver politik untuk memenangkan anak sulungnya. Menteri-menteri dan aparat kepolisian ikut diduga memiliki kepentingan untuk memenangkan salah satu paslon.
Etika Politik
Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos yang berarti karakter moral. Etika dalam berpolitik harus menjadi pedoman bagi para pejabat publik agar dapat menjalankan tugasnya dengan memperhatikan nilai kesusilaan, pedoman moral, keadilan, rasa tanggung jawab, dan kejujuran. Pentingnya pejabat publik memiliki standar etika agar dapat melaksanakan tugas serta tanggung jawab yang baik dan menghasilkan kepercayaan terhadap masyarakat.
Etika saling berkaitan dengan politik. Apa yang dimaksud dengan politik menurut Anthony Giddens adalah proses pembuatan kebijakan yang terkait dengan pengaturan dan pemanfaatan sumber daya dalam suatu masyarakat. Tujuan dalam politik untuk menjaga serta menjalankan demokrasi, menjaga dan melindungi hak warga negara, dan menerapkan aturan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Standar etika pejabat negara sudah diatur dalam Pancasila, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, dan Tap MPR Nomor 6 tahun 2001. Aturan mengenai etika dibuat agar pejabat negara dan elit politik dapat menjalankan pedoman moral, tidak melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan memiliki keteladanan dalam berpolitik. Jika pejabat negara melaksanakan etika dan hukum secara lurus maka dapat memberi rasa keadilan serta perlindungan terhadap masyarakat.
Pada prinsipnya etika berada diatas hukum. Tidak semua aturan hukum mengatur soal etika, sehingga rasionalitas, kejujuran, dan hati nurani para pejabat negara harus mengutamakan kepentingan masyarakat bukan kepentingan individu/kelompok tertentu. Mengutip Plato, “orang baik tidak perlu hukum untuk memberi tahu mereka agar bertindak secara tanggung jawab, sedangkan orang jahat akan menemukan jalan di sekitar undang-undang.”
Namun pada kenyataannya pejabat negara masih menghiraukan moral, etika, dan hukum, sehingga peradaban politik semakin hilang. Pragmatisme politik kerap dilakukan pejabat negara agar mendapat keuntungan untuk suatu kelompok atau diri sendiri. Dampak negatif dari pragmatis politik yang dilakukan oleh pejabat negara/elit politik, yaitu kebijakan yang tidak tepat, tidak menguntungkan kepentingan masyarakat, melanggar aturan hukum, dan merugikan negara.
Pemilu 2024
Etika, moral, dan hukum harus menjadi pedoman bagi pejabat negara dalam menciptakan pemilu yang adil rasanya tidak terjadi. Presiden harus menjadi teladan bagi seluruh pejabat negara, elit politik, dan masyarakat. Sayangnya sifat kenegarawanan presiden tidak muncul, sehingga pemilu kali ini berjalan secara ugal-ugalan.
Salah satu contoh buruk pelanggaran etika yang dilakukan oleh Jokowi, yaitu ketika merestui anak sulungnya maju sebagai cawapres Prabowo. Ketika MKMK memberi teguran keras terhadap Anwar, seharusnya Presiden membatalkan pencalonan Gibran atas nama menjaga etika dalam bernegara. Dampak dari diabaikannya pelanggaran etik yang dilakukan oleh Anwar Usman membuat Ketua KPU ikut melanggar kode etik.
Dugaan presiden tidak bersikap netral pada pemilu kali ini semakin terlihat di publik. Jokowi diduga melakukan berbagai manuver politik agar dinasti politik keluarga Solo—sebutan untuk Jokowi dan keluarga—dapat melanjutkan “tongkat” kekuasaan. Upaya cawe-cawe yang ditunjukkan Jokowi dengan mempolitisi bantuan sosial menjelang pemilu dan pernyataan bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye bertolak belakang dengan pernyataan beberapa bulan sebelumnya, Jokowi mengatakan bahwa ASN, TNI, dan Polri harus netral.
Tidak konsistennya pernyataan Jokowi yang ingin netral atau cawe-cawe membuat beberapa menteri baik yang terlibat secara langsung maupun terselubung ikut dalam tim pemenangan nasional ketiga pasangan capres-cawapres. Menteri memang diperbolehkan untuk ikut berkampanye namun, tidak boleh menggunakan fasilitas negara dan harus cuti. Selain menteri, informasi dari berbagai media yang kredibel mengungkapkan adanya dugaan keterlibatan polisi untuk memenangkan salah satu paslon.
Realita politik menunjukkan beberapa menteri ikut dalam berkampanye politik tanpa berlandaskan etika berpolitik. Sebagai contoh, Menteri Ekonomi Airlangga Hartarto memberikan bansos kepada masyarakat dengan mengatasnamakan bantuan dari Jokowi bukan negara, padahal bansos merupakan bantuan pemerintah bukan Jokowi yang anaknya maju sebagai cawapres.
Secara etis paslon yang ikut kontestasi pilpres harusnya mundur dari jabatannya agar tidak terlibat konflik kepentingan. Secara hukum tidak menarik diri dalam kontestasi pilpres memang legal namun, secara etika ilegal. Sebagai peserta pilpres, Prof. Mahfud menunjukkan etika pejabat negara yang baik dengan cara mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menkopolhukam, sayangnya hal tersebut tidak dilakukan Prabowo yang tetap bekerja sebagai Menteri Pertahanan dan Gibran sebagai Wali Kota Solo.
Berbagai tingkah laku tidak etisnya presiden pada pemilu kali ini menimbulkan kritik keras dari akademisi. Salah satu substansi kritik yang disampaikan yaitu, mengingatkan presiden agar tidak menyimpang dari demokrasi. Sayangnya kritik tersebut ditanggapi oleh pihak istana sebagai strategi politik partisan. Sebagai upaya meredam kritik terhadap Jokowi, polisi meminta sejumlah rektor perguruan tinggi untuk membuat video yang berisi mengapresiasi kinerja presiden dengan alasan cooling system.
Apa yang terjadi pada pemilu kali ini menunjukkan degradasi etika, moral, dan hukum. Pernyataan ‘ndasmu etik’ yang disampaikan oleh Prabowo yang menjabat sebagai menteri sekaligus capres menjadi bukti bahwa etika sudah dianggap tidak penting bagi pejabat publik. Pelanggaran etika di Pemilu 2024 akan selalu diingat sebagai noda gelap demokrasi.
Penikmat Politik dan Sepak Bola
0 Pengikut
Oposisi, Siapa Berani?
Senin, 4 Maret 2024 14:23 WIBPersoalan Etika dalam Pemilu 2024; Noda Gelap Demokrasi
Kamis, 22 Februari 2024 06:52 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler