x

Malam Sepasang Lampion

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 8 Maret 2024 18:23 WIB

Malam Sepasang Lampion

Kumpulan Cerpen yang salah satunya membahas masalah anak hasil perkosaan di Semarang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Malam Sepasang Lampion

Penulis: Triyanto Triwikromo

Tahun Terbit: 2017

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tebal: vii + 184

ISBN: 978-602-412-256-0

 

 

Sebagai seorang yang menyukai karya fiksi bertema Tionghoa, saya akan langsung saja membahas sebuah cerpen yang mengambil tema ini. Cerpen “Rahim Api” adalah cerpen di buku ini yang mengambil tema Tionghoa. Meski “Malam Sepasang Lampion” juga bertema tentang orang Cina, tetapi cerpen yang judulnya diambil sebagai judul buku tersebut, tidak berkisah tentang Tionghoa.

“Malam Sepasang Lampion” berkisah tentang perempuan Cina di Sussex, Inggris.

Kumpulan cerpen yang dijuduli “Malam Sepasang Lampion” tidak hanya memuat cerpen-cerpen bertema Tionghoa. Cerpen-cerpen yang termuat dalam kumpulan ini terdiri dari berbagai tema. Ada 18 cerpen yang terhimpun dalam buku ini. Cerpen-cerpen Triyanto Tiwikromo puitik penuh symbol-simbol yang mengundang pembaca untuk mencari makna. Cerpen-cerpen Triyanto Tiwikromo memang padat dengan makna. Masing-masing pembaca diberi keleluasaan untuk menafsir dan menemukan sendiri makna yang ada dalam karya fiksinya. Termasuk karya-karya yang terkumpul dalam buku ini.

Namun dalam kesempatan ini saya hanya akan membahas cerpen terakhir saja. Yaitu cerpen yang berjudul “Rahim Api.”

Cerpen “Rahim Api” ditulis pada tanggal 15 September 2003 dan baru terbit di Majalah Pantau bulan Februari tahun berikutnya. Cerpen ini berkisah tentang seorang gadis yang dipaksa oleh ibunya untuk menghanyutkan bayi yang dilahirkannya di sebuah Sungai di Semarang. Bayi ini dibuang karena sang orok tumbuh dari hasil perkosaan. Triyanto Tiwikromo memang tidak secara eksplisit menyampaikan bahwa perkosaan itu terjadi pada peristiwa kerusuhan anti Cina 1998. Tapi membaca cerpen ini saya berkesan bahwa Triyanto Tiwikromo memang membidik penderitaan perempuan-perempuan Tionghoa yang diperlakukan secara biadab pada kerusuhan Mei 1998.

Kisahnya adalah tentang interogasi terhadap seorang pelacur yang melihat orok yang dihanyutkan di sungai, saat ia akan mengunjungi Kelenteng Sepasang Naga. Si pelacur melihat bagaimana tangan ranum seorang ibu meletakkan bayi yang baru lahir ke dalam keranjang rotan dan kemudian menghanyutkan ke sungai. Malam itu habis hujan. Gerimis masih meriwis. Bayangan-bayangan hitam (mungkin kelelawar?) membentuk formasi paying untuk melindungi sang orok dari air hujan.

Interogasi dilanjutkan kepada sang nenek dari orok yang hanyut. Sang nenek mengurung anak perempuannya yang hamil di Gudang bawah tanah. Sang nenek mengurung anaknya karena tidak tahan terhadap perut anaknya yang semakin membuncit. Anaknya mulai hamil sesaat setelah kerusuhan yang melanda kampung. Memang rumahnya tidak terbakar, tetapi anaknya diperkosa dan hamil. Sang neneklah yang mendorong anaknya untuk menghanyutkan bayi yang dilahirkannya. “Aku tak ingin punya cucu jahanam dari benih laki-laki anjing.” Sang nenek menjelaskan kepada sang interrogator mengapa ia mendorong anaknya menghanyutkan bayi yang dilahirkannya.

Bagian ketiga adalah intergoasi kepada sang kakek. Sang kakek berupaya untuk menyelamatkan orok yang dihanyutkan. Namun arus deras sungai tak memungkinkan ia mendapatkan keranjang rotan tersebut.

Bagian keempat adalah interogasi kepada keluarga yang hidup dengan mengambil bangkai yang terhanyut di sungai. Seorang ayah dengan tiga anaknya. Awalnya mereka mengira yang hanyut adalah bangkai celeng. Tapi ternyata bukan celeng. Orok. Ketiga anaknya yang berenang untuk mengambil keranjang rotan berisi orok tidak berhasil. Dan…ketiga anak itu terus menangis karena lapar.

Cerpen ini ditutup dengan kalimat: “Jadi, sudahlah. Jangan kau tanyakan lagi mengapa seorang Perempuan ranum menghanyutkan seorang bayi dalam gerimis yang tak kunjung henti. Jangan kau tanyakan lagi mengapa kami juga tak mampu menyelamatkan sang jabang bayi. Ya,ya, tak mustahil orok itu masih tertidur di atas sungai yang tak tidur. Mungkin ia hanya hanyut. Mungkin ke laut. Ke laut. Ke laut…”

Seperti telah saya sampaikan di atas bahwa cerpen-cerpen Triyanto Tiwikromo sungguh penuh makna. Masing-masing pembaca dipersilakan untuk merumuskan makna bagi dirinya sendiri. Jadi jelas, setiap pembaca akan menemukan makna yang berbeda.

Juga saya. Makna yang saya dapat dari cerpen ini adalah tentang penderitaan perempuan Tionghoa akibat perkosaan yang dialaminya. Saya juga mendapati sifat-sifat manusia yang bergelut antara kenyataan dan cita-cita mulia; antara kelaparan dan kasih kepada sesame yang masih ada. 822

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler