x

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Jumat, 15 Maret 2024 18:54 WIB

Kajian Ramadan #7: Buka Puasa Bersama Rosulullah SAW

Para Ulama sepakat bahwa buka puasa bersama (ifthar jama’i) hukumnya boleh dengan catatan kegiatan ini tidak diyakini sebagai bagian dari ritual ibadah. Catatan lain, kegiatan ini jangan sampai menghilangkan nilai ibadah puasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Buka puasa bersama (ifthar jama’i) itu unik. Sebagai istilah, Bukber maksudnya, boleh jadi merupakan gejala kontemporer. Tapi sebagai substansi, ia bukanlah perkara baru. Pada masa Rasulullah SAW masih hidup bersama-sama para sahabatnya, beliau pernah menganjurkan para sahabat untuk buka puasa bersama sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.

“Para Sahabat Nabi Muhammad SAW bertanya, ‘mengapa makan tidak kenyang?’ Nabi balik bertanya, ‘apa kalian makan sendiri?’ Para Sahabat menjawab ‘iya.’ Kemudian Rasulullah merespon lagi, ‘makanlah kalian bersama-sama dan bacalah Basmallah, maka Allah SWT akan memberikan berkah kepada kalian semua.”

Selain itu para sahabat juga banyak yang memberikan kesaksian bahwa semasa hidupanya Nabi Muhammad SAW tidak pernah makan sendirian, termasuk saat berbuka puasa. Sebaik-baiknya makanan adalah yang dimakan dengan banyak tangan. Demikian sabda Rasulullah pada kesempatan yang lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan seperti diceritakan oleh Ibnu Abbas dalam hadits riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim, bahwa “Rasulullah adalah manusia yang paling dermawan. Dan beliau sangat dermawan jika bulan Ramadhan.”

 

Bukber Boleh, Tapi Jangan Diritualisasi

Berdasarkan hadits dan riwayat itulah para Ulama sepakat bahwa buka puasa bersama (ifthar jama’i) hukumnya boleh dengan catatan kegiatan ini tidak diyakini sebagai bagian dari ritual ibadah.

Ritualisasi buka puasa bersama selain menyimpang dari kaidah syar’i  puasa, juga menegasikan tujuan sosial bukber, yakni menghidupkan spirit bersedekah, mempererat ukhuwah dan silaturahim serta membangun kebersamaan.

Termasuk dalam pengertian ritualisasi itu adalah meyakini bahwa Bukber dapat mendatangkan pahala. Sekali lagi, menurut para Ulama hukum asal Bukber adalah boleh (mubah), bukan sunnah. Mubah tidak berimplikasi melahirkan pahala maupun sebaliknya, dosa. Sedangkan Sunnah jika dikerjakan mendapatkan pahala, jika ditinggalkan tidak berdosa.

Bahwa kita berharap mendapatkan pahala kebaikan dari kegiatan Bukber (dan ini, tentu saja sangat mungkin), maka harapan itu bisa disematkan pada nilai silaturahmi, ukhuwah dan saling berbagi rizqi dalam kegiatan itu. Bukan dari kegiatan Bukbernya sendiri.

 

Menjaga Adab, Melindungi Pahala

Selain menghindari ritualisasi, kegiatan Bukber seyogyanya juga memperhatikan berbagai kaidah syar’i sekaligus adab interaksi sosial dalam pelaksanaannya. Baik itu Bukber di lingkungan keluarga, kolega kantor atau pekerjaan, maupun pertemanan atau komunitas. Hal ini penting agar kegiatan Bukber tetap dalam koridor pentingnya menjaga kemurnian ibadah puasa.

Jangan sampai Bukber yang dimaksudkan untuk tujuan-tujuan mulia seperti mempererat ukhuwah, silaturahmi, serta saling menghidupkan semangat peduli dan berbagi rizqi kebahagiaan kemudian menjadi kontra-produktif. Mengurangi atau bahkan meniadakan nilai-nilai pahala dari ibadah puasa. 

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian ketika menggelar kegiatan Bukber antara lain sebagai berikut.

Pertama, menghindari Ikhtilat, yakni berbaur dan tanpa batasan sama sekali antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dalam satu tempat (gedung, ruangan, kafe dll). Para Ulama mengharamkan situasi ini, kecuali dengan pembatasan-pembatasan tertentu yang dapat memastikan potensi terjadinya maksiat dapat dihindarkan.

Diantara rujukan syariat diharamkannya Ikhtilat ini adalah Al Quran Surat Al Ahzab Ayat 53: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”

Kedua, menghindari interaksi dan/atau komunikasi (percakapan) yang dapat mengarah pada perbuatan maksiat, ketersinggungan orang lain, konflik dan pertengkaran. Termasuk bercanda yang berlebihan dan di luar batas kesopanan yang dapat ditolerir.

Ketiga, memastikan kegiatan Bukber jangan sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban syar’i seperti Sholat Magrib bahkan juga Tarawih meski hukumnya sunnah. Silaturahmi penting, tetapi sholat lima waktu adalah fardhu ain yang tidak bisa dinomorduakan oleh alasan apapun.

Sepanjang berbagai potensi negatif (mudhorat) tersebut dapat dikendalikan oleh masing-masing peserta, kegiatan Bukber tentu tidak masalah. Bahkan sampai batas tertentu dapat memberikan manfaat positif secara sosial keagamaan. Mulai dari meneladani sikap peduli dan empati yang biasa dilakukan Rosulullah dengan cara berbagi rizqi. Kemudian menghidupkan silaturahmi dan ukhuwah, serta mengembangkan persahabatan dan pertemanan dalam koridor aktifitas sosial-keagamaan.

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu