Mahasiswa di Bawah Bayang-bayang Feodalisme Pendidikan: Melawan Hirarki dan Kontrol

Selasa, 11 Juni 2024 08:27 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bayang-bayang feodalisme telah menjerat langit kampus. Di tengah keadaan carut-marut, kita harus meletakan kembali persoalan filosofis mengenai fungsi mahasiswa. Kita harus menantang kebisuan, menghancurkan apatisme akut dan bergerak melakukan demokratisasi pendidikan.

Mahasiswa seringkali membuat seruan akan perubahan. Seruan-seruan yang begitu revolusioner dan menyulut api perlawanan. Kegiatannya pun mencerminkan seorang terpelajar, membuat rangkaian diskursus yang begitu filosofis, konstruktif, dan progresif. Terutama diskursus mengenai fungsi, tugas, dan gerakan mahasiswa itu sendiri.

Dengan keyakinan yang tumbuh, saya mengatakan fungsi dan tugas mahasiswa adalah terjun ke dalam masyarakat, membersamai perjuangan masyarakat yang termarjinalkan. Karena sejatinya intelektualitas mahasiswa dipergunakan untuk mengubah struktur sosial kelam dan diskriminatif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mahasiswa perlu meyakini bahwa hakikat pendidikan dan rekapitulasi akhir dari proses pendidikan adalah menciptakan keadaan sosio-ekonomi yang lebih baik. Sebagaimana pendapat Frantz Fanon dalam karyanya berjudul The Wretched of the Earth yang dikutip oleh Ntsikelelo B. Sarapan, Gavin Bradshaw, Richard Haines. (2017), bahwa setiap generasi mempunyai tanggung jawab untuk mengambil sikap melawan ketidakadilan sosial.

Ilustrasi: Gerakan Mahasiswa

Tetapi, ironisnya kini mahasiswa terjangkit apatisme dan terjebak dalam feodalisme pendidikan yang menghantarkan kita kepada adagium layu sebelum berkembang. Pada realitas kontemporer, permasalahan yang muncul dalam tubuh mahasiswa adalah apatisme dan feodalisme pendidikan.

Saya mendefinisikan bahwa apatis adalah pribadi otoriter. Yaitu, absen terhadap problem sosial, ekonomi, dan politik. Di Sekeliling saya, beberapa mahasiswa cenderung memaknai problem sosial sekadar panorama belaka.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), apatis adalah sikap tidak peduli, acu tak acuh, dan masa bodoh. Menurut ekspresionline.com dalam tulisannya berjudul Mahasiswa Apatis Politik menyebutkan, bahwa apatisme mahasiwa diakibatkan oleh dua hal. Pertama, anggapan menjadi mahasiswa itu harus netral, dan tidak berpihak pada salah satu kubu atau kelompok. Kedua, pembungkaman aktivitas kampus. gaya hedonisme, budaya konsumtif tinggi yang melenakan mahasiswa kekinian.

Keluar dari jerat apatisme akut, merupakan suatu kewajiban. Apatisme politik akut akan membawa tindak-tanduk mahasiswa menjadi pasif. Sehingga mahasiswa tidak melihat kesenjangan dalam ekonomi, sosial, dan budaya  di tengah struktur sosial masyarakat sebagai sesuatu yang tidak ada artinya. Hal ini akan menyebabkan

Menurut Fraser (2020) hal ini akan menyebabkan otoritas berwenang yang tidak bertanggung jawab cenderung menyalahgunakan sumber daya publik dan menerapkan kebijakan yang diskriminatif. Hal ini pada akhirnya mengurangi kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. serta stagnasi  dan kekuasaan politik dalam arti negatif yaitu stagnasi politik  dapat mengarah pada suatu pemerintahan sewenang-wenang.

Mahasiswa kekinian sebagai lapisan terdidik mengartikan pendidikan sebagai langkah strategis menjadi konglomerat, dan mendapat jabatan tinggi dalam pekerjaan. Sehingga pada praktiknya, Mahasiswa seperti itu cenderung ambisius dan meletakan tindak-tanduknya untuk mendapatkan nilai sempurna, IPK tinggi, mengerjakan tugas yang tidak ilmiah, mengejar deadline seperti robot, dan patuh terhadap setiap perintah dosen.

Kecenderungan tersebut juga diperparah dengan kondisi feodalisme pendidikan kini. selama saya menilai secara empiris, perguruan tinggi melakukan praktik perkuliahan secara feodal. Tidak ada diskursus yang tercipta dalam ruang kelas, pola pembelajaran terjadi layaknya seorang panglima dengan anak buahnya. Patuh dan tidak boleh melakukan kritik. proses iluminasi dalam perguruan tinggi hanya berfokus pada penciptaan tenaga kerja berkualitas bagi industri. Atau saya sebut sebagai proses komodifikasi mahasiswa. Selain itu,  pembelajaran mengenai keadilan, memahami kemiskinan rakyat, dan ide tentang perubahan sosial dalam universitas sangat minim. Semua berkutat pada kepentingan individu. Seperti mendapatkan pekerjaan, sukses, dan memiliki harta berlimpah. Sehingga, apatisme menjadi hal yang lumrah. pada akhirnya, universitas hanya menjadi pabrik yang memproduksi pseudo-intelektual dan tenaga kerja bagi industri. 

Menurut Sholehuddin, (2018: 83), Keyakinan bahwa siswa adalah “manusia” merupakan tonggak awal dalam perlakuan manusiawi terhadap siswa dalam lingkungan pendidikan. Secara khusus, banyak guru yang beranggapan bahwa siswa adalah makhluk yang harus selalu menuruti “perintah” gurunya seolah-olah tidak mengerti apa-apa. Setiap hari ia harus datang, duduk, mendengarkan, menulis dan menuruti perkataan gurunya. Ia ibarat “robot” yang “remote controlnya” dipegang oleh guru. Kebebasan siswa dibatasi oleh sistem yang kaku dimana fleksibilitas diabaikan. Faktanya, sistem ini tidak hanya mematikan kreativitas siswa tetapi juga kreativitas para guru. Guru tidak memiliki akses intelektual ke sistem ini. Pada saat yang sama, kondisi siswa jauh lebih “menderita”, karena daya kreatifnya telah dipadamkan. Hal ini disebabkan oleh kegiatan pendidikan, yang hanya tertuju pada “tujuan” yang dipaketkan oleh otoritas yang berwenang. Guru tidak melihat sejauh mana siswa menyerap secara luas materi yang diajarkan, karena bagi mereka yang terpenting adalah tujuan kurikulum tercapai. Hal senada juga dijelaskan oleh Aturkian Laia (2024: 49), Yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah ketika guru memiliki banyak kualifikasi dan merupakan orang yang dihormati, guru tidak mau menerima kritikan dari siswa atau tidak ingin argumen guru ditolak saat mengajar dan belajar di dalam. dan itulah kelemahan guru ketika menurutnya dirinya benar, padahal keberhasilan dalam mengajar terjadi ketika siswa mengangkat tangan untuk menantang apa yang dikatakan, bukan ketika siswa menganggukkan kepala adalah keberhasilan, pandangan ini salah.

Objektifikasi dalam dunia Pendidikan akan berdampak secara luas terhadap potensi kognitif dan afektif mahasiswa. jika Pendidikan dipahami sebagai proses humanisasi, seharusnya hasil akhir dari Pendidikan adalah untuk mengabdi pada kepentingan Masyarakat. Menciptakan pembaharuan-pembaharuan yang progresif untuk meningkatkan angka kesejahteraan Masyarakat. Dengan memahami hakikat Pendidikan dan realitas kekinian, mahasiswa dituntut untuk membersamai perjuangan Masyarakat sebagai katalisator perubahan.

Hakikat Pendidikan. Bagi saya, adalah proses humanisasi. Artinya, pembelajaran untuk memanusiakan-manusia. Pendidikan merupakan hal yang harus dimiliki oleh semua orang tanpa terkecuali. Tidak ada diferensiasi dalam proses pendidikan Karena pada pada dasarnya, Pendidikan membawa kita pada peradaban kontemporer hari ini. Selain itu, proses humanisasi Pendidikan juga menjadikan kita sebagai pribadi yang melek akan permasalahan sosial. Berangkat dari problem tersebut, maka dengan model Pendidikan yang bisa mengembangkan potensi kritis kita, maka kita akan melihat sesuatu yang salah harus diperbaiki, bukan menunggu sesuatu yang kita sebut “takdir”,

Untuk Pendidikan, kita dituntut oleh situasi kita, ialah Pendidikan yang membuat manusia berani membicarakan masalah-masalah lingkungannya dan turun tangan dalam lingkungan tersebut, Pendidikan yang mampu memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman nan memberikan kepercayaan serta kekuatan untuk menghadapi masalah-masalah tersebut. Bukan Pendidikan yang mengakali kita untuk patuh pada Keputusan-keputusan orang lain. (Freire, 2001)

Kondisi carut-marut dalam keadaan sosial hari ini, mewajibkan mahasiswa untuk bisa bergerak dalam merekonstruksi struktur sosio-ekonomi yang kelam. hal demikian juga menjadi tanggung jawab bagi seorang terpelajar untuk mengimplementasikan pendidikan sebagai alat dalam melakukan perubahan nasib masyarakat. kita bisa merasakan Tingkat Pendidikan dari dasar hingga perguruan tinggi. Dengan modal Pendidikan yang ada, mahasiswa mendapatkan materi-materi dan akses terhadap ilmu pengetahuan. Sehingga memudahkan mahasiswa dalam riset, publikasi tulisan, dan membaca buku. Berbeda dengan Masyarakat yang tidak bisa berpendidikan, bahkan tidak dapat mengakses Pendidikan dikarenakan biaya mahal. Masyarakat demikian akan terisolasi dan terpaksa mencari kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Karena tidak dapat mengakses Pendidikan, maka akan berhadapan dengan lapangan pekerjaan yang sempit, upah yang layak, dan kemiskinan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah pengangguran di Indonesia mencapai hampir 7,2 juta orang (Databoks 07/05/2024). sedangkan jumlah penduduk miskin di Indonesia menurut BPS berjumlah 25,9 juta orang (Databoks 17/07/2023).

Melihat keadaan masyarakat yang tercabik-cabik hari ini, beberapa mahasiswa lainnya meyakini aktivisme ke dalam fungsi sosialnya. Bila mengartikan tentang aktivisme, Saya mengartikan aktivisme adalah komitmen total dalam melakukan perubahan sosial serta Tindakan membersamai, memajukan, dan memperkuat Gerakan rakyat dalam menghancurkan status quo. menurut Eleanor brooks (2023), aktivisme merupakan suatu tindakan menantang mereka yang berkuasa untuk mendapat manfaat yang lebih besar dan perubahan dalam masyarakat.

Mahasiswa terkenal dengan intelektualitas dan gerakannya. Kita tidak bisa menyangkal secara historis, bahwa mahasiswa dan gerakannya hadir dalam dimensi gejolak sosial di Indonesia. Gerakan tersebut seperti: gerakan mahasiswa 1960-an, Hari tritura atau tiga tuntutan rakyat, Demo kenaikan BBM tahun 2012, Demo Revisi Undang-undang Komksi Pemberantasan Korupsi, aksi Tolak RKUHP, dan Gerakan reformasi 1988 yang dilakukan mahasiswa masih hangat di telinga kita sampai sekarang. Pergulatan mahasiswa dengan aksi-aksi protesnya menjadi kebenaran historis yang tak terbantahkan bahwa mahasiswa punya keterlibatan mempengaruhi perubahan lanskap perpolitikan.

Gerakan mahasiswa tidak baru-baru muncul, pada tahun 1918, terbit sebuah manifesto perjuangan yang disebut manifesto cordoba di Argentina. manifesto cordoba adalah deklarasi mahasiswa yang menginginkan keterlibatannya dalam administratif universitas dan membentuk otonomi akademik. "Kami menginginkan menghapus dari organisasi universitas konsep tentang otoritas barbar dan kuno,yang menjadikan universitas sebagai benteng pertahanan tirani yang absurd" (Suaramahasiswa.info: 2019)

Tidak hanya behenti di situ, dan bukan hanya terjadi di Indonesia. Pada tahun 1960-an, beberapa mahasiswa kulit hitam melakukan protes terhadap segregasi dan hak-hak sipil dengan cara melakukan aksi duduk di tempat makan siang kulit putih.  yang kemudian mendorong ribuan mahasiswa untuk melakukan demonstrasi anti-diskriminasi. salah satunya di Universtias San Fransisco , aktivis anti-rasisme pada tahun 1968 berhasil mendorong pemerintah mendirikan department studi afrika-amerika pertama di Negara itu (Best Colleges: 2022)

"Seorang mahasiswa pasti akan mengenang masa di mana dia akan turun ke jalan dan bersuara lantang akan demokrasi pemerintahan. Sebenarnya, mereka adalah jembatan dari suara rakyat yang berani melantangkan kebenaran, walau terkadang mengandung hasutan. Tetapi, apa yang mereka bela adalah sebuah kejujuran dan keadilan yang menurut mereka dan paham mereka benar."

Begitulah penggalan utopia yang disebutkan oleh Soe Hok Gie. Sekiranya kita ingin memaknai arti menjadi mahasiswa secara progresif, Maka bagi saya yang paling tepat adalah: Mahasiswa merupakan bagian integral dari gerakan perlawanan rakyat. Tidak terpisah dan tercerai-berai. Mereka (Mahasiswa) adalah pena masyarakat, membersamai setiap agenda perubahan untuk merubah nasib secara fundamental.

Saya percaya bahwa Mahasiswa perlu memahami fungsi, tugas, dan gerakannya melalui proses pencarian dalam mengetahui dan memahami lintasan historis fungsi dan gerakan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa perlu memahami sejarah gerakan mahasiswa dan apa yang dihasilkan. tidak memahami sejarah akan menimbulkan skeptisisme terhadap gerakan mahasiswa itu sendiri Karena dengan begitu, mahasiswa tidak mengalami defisit nilai. setelah mempelajari kebenaran historisnya, mahasiswa harus turun ke basis Masyarakat tertindas. Stagnasi Gerakan timbul akibat mahasiswa tidak memahami secara konkrit keadaan Masyarakat secara langsung. Selain stagnasi, tidak turun ke Masyarakat menimbulkan efek apatisme akut, karena mahasiswa tidak berhadapan langsung dengan kondisi riil. dengan kesatuan pengetahuan historis dan keberadaan integral mahasiswa bersama masyarakat, maka mahasiswa juga perlu memahami bahwa perubahan adalah karya berjuta-juta massa. Seringkali mahasiswa menggangap bahwa perubahan adalah karya sebuah identitas. Fragmentasi Gerakan tidak akan menjawab problem mendasar Masyarakat. Oleh karena itu Gerakan mahasiswa juga harus menjadi bagian integral dari Masyarakat yang mengalami marjinalisasi.

Selanjutnya mahasiswa harus secara kritis dalam memahami kemiskinan masyarakat adalah problem struktural. seringkali kita terjebak pada segregasi perjuangan karena meletakan permasalahan sosial adalah bagian dari permasalahan individu atau kelompok.

kemiskinan struktural yang diartikan sebagai kondisi kemiskinan yang timbul sebagai akibat struktur sosial yang rumit yang menyebabkan masyarakat termarjinalisasi dan sulit memperoleh akses terhadap berbagai peluang (Heru Purwandari, 2011: 27)

Saya ingin meminjam kalimat Victor Serge:

“Mahasiswa, kau ingin jadi apa? Pengacara, untuk mempertahankan hukum kaum kaya, yang secara inheren tidak adil? Dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang baik, dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin? Arsitek, untuk membangun rumah nyaman untuk tuan tanah? Lihatlah di sekelilingmu dan periksa hati nuranimu. Apa kau tak mengerti bahwa tugasmu adalah sangat berbeda: untuk bersekutu dengan kaum tertindas, dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam ini?”

Pada akhirnya setelah kita memahami hakikat pendidikan dan gerakan kolektif mahasiswa, kita harus menjadikan gerakan sebagai lokomotif transformasi sosial untuk menghapus feodalisme pendidikan. krisis multi-dimensi yang terjadi mengharuskan mahasiswa berfikir secara kritis dan bergerak secara progresif. sebagai entitas intelektual, mahasiswa harus berupaya dan wajib bergerak secara korektif terhadap realitas yang kacau. Sehingga kalimat yang tepat bagi saya adalah, mahasiswa harus menyetel kompasnya pada tujuan yang mulia. yaitu, tetap berada di tengah-tengah rakyat dan memberikan sumbangsih bagi kesejahteraan rakyat. inilah kompas yang tidak akan pernah berubah. kompas tersebut jangan sampai terbaring, terkubur, dan terjungkal. sejatinya hasil pendidikan kita juga tidak boleh menghianati hakikatnya. yaitu rekapitulasi akhir pendidikan kita adalah memberikan dedikasi sebesar-besarnya bagi perubahan lingkungan dan nasib rakyat yang serba-serbi susah.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mohd Damar Afda Dipura

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler