Tren Vermak Wajah: Modifikasi Hidung menjadi Mancung atau Pesek (1)

Sabtu, 21 September 2024 20:31 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hidung, yang fungsi sejatinya hanya untuk bernapas, kini menjadi simbol sosial yang mencerminkan prestise dan status ekonomi seseorang. Tapi, kapan kita akan berhenti merasa kurang dengan bawaan lahir?

Oleh: Asep K Nur Zaman

Malam sudah larut dan mata mengantuk. Dengan private car (bukan jet pribadi), saya nebeng teman. Saat melintas di Jalan Sudirman dari arah Jalan MH Thamrin dan Bundaran HI, Jakarta, tepatnya di kawasan Bendungan Hilir, mata mendadak terbelalak melihat deretan papan iklan billboard yang menyala, salah satunya cukup menggoda: menawarkan pencangkokan tulang hidung supaya divermak menjadi mancung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Huuh! Saya mendengus. Otak segera merenungkan bunyi iklan tersebut: Standar kecantikan dan ketampanan memang seringkali absurd, tak terkecuali soal bentuk hidung yang nongkrong di wajah kita.

Dalam dunia tren mode, hidung bukan hanya sekadar organ pernapasan. Tapi, lebih dari itu, juga penentu “nilai estetika” wajah seseorang, sehingga perlu modifikasi – kendati harus melawan kodrat.

Di berbagai belahan dunia, bentuk hidung yang "ideal" saling berlawanan. Standar Barat, hidung mancung dianggap simbol kecantikan. Tapi, uniknya di Iran, tren mengecilkan hidung justru mendominasi.

Tren Mendunia

Artis top dunia seperti Kim Kardashian dikenal sebagai ikon budaya pop yang dikabarkan menjalani rhinoplasty (operasi hidung). Dia membawa tren hidung mancung semakin populer di seluruh dunia. Korea Selatan pun kena tuahnya, sehingga terjadi booming tren modifikasi hidung, lalu merambah ke negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Singapura, tak terkecuali Indonesia.

Aktris Park Min Young, misalnya, dengan terbuka mengakui menjalani operasi plastik untuk memenuhi standar kecantikan K-pop yang menuntut hidung mancung, ramping, dan simetris. Industri kecantikan Korea Selatan akhirnya mampu mendikte standar global: seakan-akan hidung ideal harus memenuhi kriteria tertentu yang nyaris mustahil dicapai tanpa bantuan pisau bedah.

Tren Kebalikan

Sebaliknya, di Iran, perempuan-perempuan muda justru rela masuk ruang operasi wajah untuk membuat hidung mancung menjadi “jongkok”. Operasi ini dianggap sebagai cara untuk terlihat lebih proporsional dalam konteks budaya mereka.

Di negara para mullah dengan tingkat operasi hidung tertinggi di dunia itu, banyak yang merasa perlu memperbaiki bentuk hidung mereka agar "tidak menonjol" dan lebih "selaras" dengan wajah. Mereka tidak ingin terlihat “over the top”—seolah-olah hidung yang terlalu tinggi dapat menarik perhatian yang tidak diinginkan, sekaligus tidak estetik.

Di Iran, rhinoplasty bukan sekadar tentang estetika, tapi juga menjadi simbol status sosial. Hidung yang telah dimodifikasi menjadi “lebih proporsional” memberi kesan bahwa pemiliknya modern, punya selera tinggi, dan tajir.

Menariknya, setelah operasi, plester di hidung dipertahankan lebih lama dari yang direkomendasikan dokter—bukan karena alasan medis, tapi karena plester tersebut menjadi lambang prestise. Sedanglan di Korea Selatan, simbolisasi yang sama berlaku bagi operasi hidung mancung: tanda kecantikan, kemajuan, dan keberhasilan sosial.

Tren operasi hidung yang kebalikan antara standar Barat dan Iran menunjukkan satu kesamaan penting: ketidakpuasan terhadap apa yang dimiliki secara alami.

Mereka yang terlahir dengan hidung besar merasa perlu meratakannya sedikit agar lebih “proporsional”. Di sisi lain, mereka yang terlahir dengan hidung kecil ingin menambahkannya beberapa milimeter agar terlihat lebih anggun.

Fenomena tersebut mencerminkan obsesi manusia terhadap standar kecantikan yang terus berubah-ubah—suatu obsesi yang mungkin tidak akan pernah memuaskan.

Hidung, yang fungsi sejatinya hanya untuk bernapas, kini menjadi simbol sosial yang mencerminkan prestise dan status ekonomi seseorang. Akhirnya, kita bertanya-tanya: kapan kita akan berhenti merasa kurang dengan bawaan lahir?

Psikolog Dr Vivian Diller memandang, keinginan untuk mengubah bentuk tubuh sering kali berakar dari rasa kurang percaya diri. "Orang sering menjalani operasi plastik bukan hanya karena mereka butuh secara fisik, melainkan karena tekanan sosial yang sangat besar," katanya.

Ironisnya, apa pun trennya—mancung atau pesek—kita terus berusaha mengubah bentuk alami kita. Tapi, apakah kita benar-benar perlu hidung yang berbeda untuk diterima secara sosial? Atau, sebenarnya, masalahnya ada pada cara kita memandang diri kita sendiri yang selalu dipengaruhi oleh standar eksternal yang tidak pernah stabil?

Seri artikel ini akan dilanjutkan dengan tren yang tak kalah mengejutkan: "modifikasi kulit". 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asep K Nur Zaman

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler