Kebijakan Cuti bagi Petahana dalam Pilkada Tasikmalaya jadi Sorotan

Rabu, 9 Oktober 2024 09:16 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pilkada Tasikmalaya 2024, perbincangan mengenai kebijakan cuti bagi petahana yang mencalonkan diri kembali menjadi topik yang menarik

***

Dalam Pilkada Tasikmalaya 2024, perbincangan mengenai kebijakan cuti bagi petahana yang mencalonkan diri kembali menjadi topik yang menarik. Pasal 70 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 mewajibkan gubernur, bupati, dan wali kota yang maju kembali di daerah yang sama untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye. Aturan ini bertujuan agar pejabat petahana tidak memanfaatkan jabatannya untuk memengaruhi proses demokrasi demi keuntungan pribadi atau partainya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, dalam situasi Pilkada Tasikmalaya, kebijakan ini tampaknya memberikan keuntungan lebih kepada pasangan calon petahana, seperti Ade Sugianto dan Cecep Nurul Yakin. Menurut aturan, mereka wajib cuti selama masa kampanye yang berakhir pada 23 November 2024. Setelah itu, mereka bisa kembali ke posisi jabatan mereka hingga hari pemungutan suara pada 27 November 2024. Hal ini dapat menimbulkan kesenjangan antara paslon petahana dan paslon non-petahana, seperti paslon nomor 1, Iwan Saputra dan Dede Muksit Aly ZA.

Dengan kembali bekerja di minggu tenang, petahana bisa dianggap lebih menguntungkan karena posisinya yang lebih dekat dengan pusat kekuasaan, meskipun undang-undang melarang penggunaan fasilitas jabatan untuk kampanye. Namun, kehadiran petahana di posisi jabatan pada minggu tenang bisa saja memberi kesan tersirat kepada publik, yang dapat dianggap sebagai pengaruh terhadap proses pemilihan. Di sisi lain, pasangan non-petahana tidak memiliki akses yang sama, yang berarti persaingan mungkin terasa tidak setara.

 

Selain potensi ketimpangan, ada pula aspek keberlanjutan pelayanan publik yang menjadi perhatian. Dalam banyak kasus, daerah yang ditinggalkan tanpa pemimpin aktif selama masa kampanye dapat mengalami gangguan dalam fungsi pemerintahan. Bagi masyarakat, cuti petahana mungkin terasa seperti kekosongan kekuasaan yang dapat memengaruhi kelancaran pelayanan publik. Namun, di sisi lain, kehadiran mereka menjelang pemungutan suara di masa tenang bisa dipandang sebagai bentuk kehadiran yang berpotensi mempengaruhi hasil Pilkada.

 

Keberadaan aturan cuti petahana selama masa kampanye memang dapat dinilai cukup adil. Namun, mengizinkan mereka kembali bekerja di minggu tenang justru mengaburkan keadilan tersebut. Sebuah alternatif yang bisa dipertimbangkan adalah memperpanjang masa cuti hingga akhir masa tenang atau bahkan membatasi keterlibatan petahana di minggu tenang, sehingga semua calon berdiri di atas pijakan yang sama pada periode penting menjelang pemungutan suara.

 

Jika revisi aturan ini diusulkan, perlu adanya evaluasi yang komprehensif agar setiap calon memiliki akses yang sama terhadap pemilih. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi dapat mempertimbangkan untuk meninjau kembali Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada. Peninjauan ulang ini penting guna menciptakan suasana kompetisi yang lebih sehat dan setara bagi semua pasangan calon, tanpa memihak pada petahana ataupun non-petahana.

 

Sebagai tambahan, masyarakat juga perlu memahami aturan-aturan yang ada, serta dampaknya terhadap proses demokrasi. Penting bagi masyarakat untuk bersikap kritis dan menyadari bahwa kehadiran petahana dalam minggu tenang tidak seharusnya dianggap sebagai bagian dari kampanye terselubung. Justru, pemilih harus tetap memperhatikan rekam jejak dan program yang ditawarkan oleh setiap calon.

 

Secara keseluruhan, kebijakan cuti petahana ini bukan hanya soal mematuhi peraturan, tetapi juga soal menegakkan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam Pilkada. Bagi Pilkada Tasikmalaya tahun ini, upaya untuk menciptakan kompetisi yang sehat akan menjadi tantangan tersendiri. Masyarakat sebagai pemilih perlu tetap kritis dan objektif dalam memilih calon pemimpin mereka.

 

Kesimpulan

Melihat dari perspektif ini, wajar jika muncul kekhawatiran bahwa ketentuan cuti yang ada sekarang masih memiliki celah. Pengembalian petahana ke jabatan mereka selama minggu tenang, meski tidak melanggar undang-undang, bisa menjadi isu penting yang dapat mengaburkan prinsip demokrasi yang adil. Dengan pemikiran ini, peran pembuat kebijakan untuk meninjau aturan cuti petahana di Pilkada menjadi sangat penting. Revisi peraturan di masa depan akan membantu memastikan bahwa semua calon memiliki akses yang sama, tanpa kelebihan atau kekurangan, sehingga hasil Pilkada benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler