G30S Sejarah yang Penuh Subjektivitas dan Kontroversial

Selasa, 24 Desember 2024 07:03 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi penangkapan orang-orang terduga PKI pasca-G30S (Foto: hrw.org)
Iklan

Apa yang kalian ketahui tentang gerakan 30 September? Narasi-narasi mengenai sejarah itu banyak tertulis, dan versi yang sekarang dipercayai adalah versi orde baru. Bagaimana kalau kita coba melihat dari sudut pandang ilmu sejarah?

Tidak ada yang salah sebetulnya kalau dalam sejarah itu terdapat subjektivitas. Sejarah sebagai ilmu, dalam metode penelitiannya memang memerlukan subjektivitas dari seorang sejarawan guna melakukan interpretasi. Tetapi perlu diingat, penulisan sejarah harus tetap memprioritaskan objektivitas yang dilandasi dengan kejujuran dan pertimbangan moral.

Subjektivitas dalam penulisan sejarah dapat menjadi suatu kesalahan fatal jika dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan atau memenuhi permintaan pihak tertentu yang bersifat politis—dengan tidak sama sekali mengurangi subjektivitas dalam penulisannya. Sekali lagi, subjektivitas hanya harus dipandang sebagai instrumen seorang sejarawan dalam mengimajinasikan suatu peristiwa masa lampau, bukan justru mencampuri, lalu mengubahnya sesuai kehendak sejarawan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menengok Kembali G-30-S

Berbicara sejarah, ada salah satu peristiwa sejarah yang masih kontroversial sampai sekarang. Ya siapa sih yang nggak tahu sama peristiwa yang dikenal dengan istilah Gerakan 30 September? Narasi-narasi sejarah mengenai G-30-S itu telah melekat di benak masyarakat umum, mereka mengenal peristiwa itu dengan istilah "G-30-S-PKI". Sejarah kelam yang mewarnai cakrawala sejarah Indonesia itu memiliki beberapa warna yang kontras.

Tafsiran sejarah G-30-S ala Orde Baru misalnya. Cerita mengenai sejarah itu berhasil dikemas dengan baik oleh pemerintah kala itu, baik melalui film maupun narasi-narasi yang berserakan dalam membangun fakta sejarah. Pengaruh tafsiran itu pada kenyataannya masih hidup sampai saat ini.

Memangnya apa yang salah dari tafsiran sejarah ala Orde Baru itu? Bukankah mereka menulis sejarah dengan baik karena sesuai fakta sejarah? Mungkin pertanyaan-pertanyaan itulah yang bakal keluar dari kepala para pembaca yang budiman.

Sejarah Dalam Subjektivitas Penguasa

Di zaman Orde Baru, peristiwa itu selalu diudarakan oleh pemerintah, baik melalui narasi maupun film. Hal ini dinamakan sebagai indoktrinasi—meskipun pada zaman itu dianggap sebagai pembelajaran sejarah. Mengapa disebut sebagai indoktrinasi? Sederhananya, karena sejarah memiliki guna ekstrinsik (liberal education). Selain indoktrinasi, sejarah peristiwa G-30-S juga dijadikan sebagai alat propaganda oleh rezim Orde Baru.

Dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah, Kuntowijoyo mengatakan, secara umum sejarah berfungsi salah dua di antaranya sebagai pendidikan moral, pendidikan politik, dan lain sebagainya. Dalam konteks G-30-S, indoktrinasi yang saya maksud itu disalurkan melalui pendidikan, ialah pada segi moral, dan politik. Melalui pendidikan moral dan politik ala rezim Orde Baru, sejarah G-30-S dikemas sebagai alat guna mengendalikan pola dinamika politik, kesadaran, dan moral masyarakat Indonesia.

Film yang selalu diputar pada setiap bulan September dengan judul Pemberontakan G-30-S-PKI, misalnya, merupakan salah satu contoh upaya rezim Orde Baru dalam membangun hegemoninya. Film G-30-S-PKI adalah bentuk subjektivitas penggambaran sejarah ala rezim Orde Baru, dengan menitik beratkan partai komunis Indonesia sebagai pelaku utama dalam peristiwa kelam tersebut. Namun, bagi kalangan sejarawan, peristiwa ini masih abu-abu. Hal itu dikarenakan dokumen-dokumen atau arsip yang menjadi sumber data primer sejarah itu masih sangatlah terbatas. Penentuan siapa dalang di balik peristiwa itu, dan apa motifnya, sampai sekarang belum lah menjumpai titik terang.

Kesalahan yang dimaksud dari sejarah ala Orde Baru, terletak pada pengambilan keputusan dalam menetapkan suatu fakta sejarah mengenai peristiwa, yang tidak ditopang oleh sumber-sumber data yang kuat. Rezim Orde Baru justru membangun sejarah dengan subjektivitas, alih-alih memprioritaskan pengumpulan sumber dan interpretasi yang berlandaskan pada prinsip kebenaran, nilai-nilai moral dan kejujuran.

Kesalahan itu kemudian mengakar kuat di dalam ingatan bangsa Indonesia. Meskipun rezim Orde Baru telah lama runtuh—dan beberapa upaya berani yang muncul pasca-reformasi untuk menggali lebih dalam mencari kebenaran peristiwa G-30-S naik ke permukaan—perlawanan terhadap pencarian kebenaran sejarah justru tumbuh lebih kuat—seakan membentuk upaya tandingan.

Bagaimana Seharusnya?

Upaya yang seharusnya dilakukan untuk merekonstruksi peristiwa sejarah G-30-S, adalah dengan menyingkirkan tendensi subjektivitas yang berlebihan. Agaknya, pemerintah sejak Orde Baru sampai sekarang tidak terlalu memedulikan kebebasan berpendapat, memandang, menilai, dan mengambil langkah konkret yang didasari oleh nilai-nilai moral dan kejujuran. Sehingga saat ini, fakta sejarah tentang G-30-S masih samar-samar.

Menyingkirkan tendensi subjektivitas berlebihan yang membentuk fakta sejarah dari ingatan bangsa Indonesia, menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh para sejarawan. Sebetulnya sudah banyak buku-buku yang membicarakan peristiwa di tahun 1965. Namun, karena kuatnya pengaruh indoktrinasi dan propaganda Orde Baru hingga saat ini, belum cukup kuat untuk menyingkap tabir gelap itu. Umumnya, pengetahuan sejarah masyarakat Indonesia saat ini mengenai peristiwa G-30-S masih dibalut dengan kulit sejarah subjektivitas penguasa.

Melihat kenyataan itu, para sejarawan sejatinya harus berpikir keras guna menemukan cara baru untuk mengungkap kebenaran yang sebenar-benarnya mengenai peristiwa G-30-S. Objektivitas sejarah harus tetap dikedepankan, pengabaian terhadap hal ini sama saja dengan mengkhianati marwah sejarawan sebagai intelektual yang jujur dan bermoral.

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Abdullah Azzam Al Mujahid

Manusia yang suka cokelat dan memungut ilmu

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler