x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Serangan Balik Ciliwung

Kali Ciliwung menyerang balik, sebab kita manusia memperlakukannya semena-mena.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"In Amsterdam, the river and canals have been central to city life for the last four centuries."
--Janet Echelman (Seniman, 1966-..)

 

Musim hujan tiba. Kali Ciliwung menunjukkan kekuatannya: menumpahkan air ke daratan kiri-kanannya tanpa terbendung. Air pun menyusuri jalan-jalan Ibukota. Semakin deras hujan turun, semakin cepat air berplesiran ke permukiman warga. Semakin deras, semakin cepat muka air bergerak naik.

Lalu lintas macet? Sudah pasti. Tanpa ada air luber dari sungai pun, Jakarta sudah macet.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bekerja menurut hukum alam, air mencari tempat yang lebih rendah. Biarpun berliku-liku, air dalam debit kecil sekalipun sanggup mengikuti jalan berliku itu. Ia masih ramah, menawan, jernih, suaranya pun merdu. Begitu air semakin masif, ia tidak lagi menunjukkan keramahannya, ia tak mau lagi mengikuti jalan berliku, dalam kekeruhannya ia akan ‘lempeng’ saja dan menerjang apapun yang menghalangi arusnya.

Beberapa foto yang beredar selama ini memperlihatkan upaya membebaskan Ciliwung dari onggokan sampah dan puing-puing (kayu, potongan kursi, kasur yang rusak, dan beraneka lagi). Dibersihkan di sini, mampet di sana.

Sungai ini sebenarnya ramah seandainya tidak ada yang bikin mampet ‘pembuluh darahnya’. Para petugas yang berusaha mengangkat onggokan aneka sampah dari Ciliwung itu mengeluh, alangkah susahnya membersihkan kali ini. Bisa dimaklumi.

Sungai ini tidak akan menyusahkan warga bila ia diberi kebebasan untuk mengatur diri: membiarkan arusnya mengalir ke hilir tanpa diganggu dan dihambat. Caranya sebenarnya sederhana, dan semua orang niscaya tahu: “jangan membuang sampah dan limbah ke sungai, jangan mendirikan bangunan di bantaran kali, dan seterusnya.”

Tapi pengetahuan tidak punya arti bila hati tidak tergerakkan oleh pengetahuan itu. Seringkali, pengetahuan dan hati punya jarak yang amat jauh. Manusia ingin kebebasan, sungai pun begitu. Kebebasan manusia berhenti pada batasnya manakala mulai mengganggu kebebasan yang lain, termasuk kebebasan sungai sekalipun.

Demikianlah, begitu ‘pembuluh darah’nya tersumbat, Ciliwung dengan cepat melakukan ‘serangan balik’. Sampah yang tertahan menguarkan bau tak sedap, menebarkan bibit penyakit, dan menawarkan pemandangan tak elok di mata. Air pun luber ke jalan-jalan, menggenangi rumah, menjadikan warga pengungsi, anak-anak jatuh sakit.

Setiap tahun begitu, berulang dan berulang. Sepertinya pengetahuan kita tentang cara kerja sungai, pengalaman kita hidup dengan banjir, tidak mampu menggerakkan hati kita untuk memperbaiki perlakuan kita terhadap lingkungan sekeliling, terhadap alam tempat kita hidup. Mindset kita mampet, tidak mau berubah. 

Ciliwung sebenarnya akan selalu ramah seandainya tidak diganggu sejak hulu, apa lagi ketika masuk perkotaan. Di hulu, kita menyerang Ciliwung dengan memotong pepohonan dan menaruh bangunan beton. Di tengah, kita membuang apa saja yang kita tidak suka ke dalamnya. Nyaris di hilir kita memetik buahnya: banjir. Sangat natural, mengikuti hukum alam. Manusia yang merasa perkasa dengan angkuh mengatakan bahwa semua itu bisa diatasi. Alam bekerja dengan caranya sendiri, kita yang hidup di dalamnya yang harus menyesuaikan diri dengan cara alam bekerja.

Berpuluh kali kita berusaha mengeluarkan sampah yang menyumbat akan sia-sia belaka jika esoknya kita menimbunnya kembali dengan sampah-sampah baru.

Ah, kita tahu dan mengerti kok tentang hal ini, tapi ya itu tadi hati kita tersumbat. Kita menganggap diri sebagai penakluk yang boleh melakukan apa saja terhadap Ciliwung. Dan kita menjerit-jerit ketika Ciliwung menyerang balik.

Andaikan Ciliwung bagaikan sungai-sungai di Amsterdam ini. Bersih, nyaman, sehat, menyenangkan, dan bisa jadi tempat melepas stres di Ibukota: menikmati kopi dan kudapan selepas kerja di petang hari di tepi Ciliwung. Ekonomi pun semakin tumbuh--bukan hanya ada dalam mimpi. Mengapa kita tidak sayangi Ciliwung? ***

(Foto: Sungai Amsterdam/wide-wallpapers.net) 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler