Kehadiran mantan Presiden SBY di istana negara pada siang tadi ditafsirkan beberapa pengamat sebagai bagian dari pendekatan ke kubu KIH pasca pernyataan menolak UU Pilkada dikeluarkan oleh Golkar pimpinan ARB di Bali (juga diamini sebagian anggota KMP). Penolakan tersebut disebut SBY telah menghianati kesapakatan yang baginya sangat prinsipil sehingga memutuskan untuk berubah haluan.
Bagi saya pribadi, kendati kehadiran SBY di Istana siang tadi dalam kapasitanya sebagai Chairman Global Green Growth Institute (CGGGI), langkah tersebut melanjutkan gaya politik “abu-abu” yang selama ini dijalankannya. Istilah ini saya gunakan untuk menggambarkan sebuah sikap yang tidak begitu tegas, tidak begitu jelas, tapi menariknya dia selalu punya alasan dan konteks yang relevan untuk menjalankan sikap “kadang ke kanan dan kadang ke kiri”.
Polemik tentang UU Pilkada hanyalah salah satu contoh di mana SBY menunjukkan sikap yang medua. Seperti kita tahu, di bawah pemerintahannya, Mendagri mengajukan rancangan UU Pilkada untuk dibahas di DPR. UU Pilkada melalui DPR akhirnya keluar sebagai pemenang karena “pasukan SBY” walk out dari rapat paripurna sehingga terbangunlah sebuah gambaran bahwa SBY berada di kubu KMP. Menariknya, SBY punya cara untuk membuyarkan gambaran tersebut. Dia mengeluarkan Perpu Pilkada Langsung untuk membangun citra dirinya sebagai “pembela demokrasi” dan sehaluan dengan KIH.
Dalam Polemik perebutan pempinan DPR dan MPR, fakta di lapangan dengan jelas mengkonfirmasi bahwa SBY berada di kubu KMP. Rakyat banyak dapat melihat dengan jelas dukungan yang diberikan Partai Demokrat ke KMP dalam pemilihan pimpinan DPR dan MPR. Atas jasa tersebut Demokrat juga mendapat jatah kursi pimpinan.
Nah, hari ini sinyalemen kedekatan itu dimentahkan SBY dengan kehadirannya di istana negara. Konteksnya adalah ketidaksetiaan KMP terhadap perjanjian yang disebut SBY sebagi sikap yang tidak beretika dan berkomitmen. SBY hendak menunjukkan diri sebagai politisi yang beretika dan berkomitmen, maka dia akan menjajaki sebuah kerja sama sama dengan politisi yang “beretika” dan “berkomitmen”. Benarkah demikian? Hanya SBY yang tahu. Yang jelas, politisi dan negarawan akan dikenang karena sikapnya yang tegas dan prinsipnya yang kuat, tidak bisa ditawar dan tidak abu-abu. Tunjukkan di mana posisimu sebenarnya.
Ikuti tulisan menarik Mario Manalu lainnya di sini.