x

Rupiah Berangsur Kembali Stabil

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rupiah, Domino Dollar dan Rubel

Kondisi ekonomi Indonesia sebagai negara emerging market, 2 tahun terakhir diibaratkan 'tail wind' karena segala kemudahan likuiditas. Menasuki 2015, Indonesia akan menghadapi strong head wind jika tetap tidak memasang target untuk beban subsidi energi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Melihat perkembangan rupiah akhir-akhir ini, saya teringat dengan pernyataan Sri Mulyani Indrawati sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia mengenai kondisi negara-negara emerging market. Negara-negara emerging market, atau negara-negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, menurut Sri Mulyani, di tahun 2015 ini, bakal menghadapi tahun yang tak mudah, jauh dari kenyamanan.

Sri Mulyani mengibaratkan, kondisi ekonomi Indonesia, sebagai salah satu negara emerging market, 2 tahun terakhir kemarin seperti tail wind atau angin buritan. Hal tersebut terjadi karena ilusi yang diciptakan oleh pemerintah bahwa segalanya baik-baik saja, yang ditunjukkan oleh pemerintah kita dengan kemudahan likuiditas, bunga yang rendah, juga harga komoditas yang tinggi. Tapi sepertinya pemerintah alpa untuk ancang-ancang dengan keadaan tahun 2015, yang diibaratkan sebagai strong head wind.

Masih menurut Sri Mulyani, bagi emerging market, terutama Indonesia saat ini, head wind yang akan dihadapi, akan cukup kuat jika kita terus-terusan tidak memasang target untuk beban subsidi energi. Apalagi biasanya, negara-negara emerging market bakal mengalami masalah fiskal dan inflasi yang cukup tinggi. Padahal seperti kita tahu, APBN tahun ini mengalami defisit nilai fiskal dan hampir tidak ada angka surplus di anggaran lain untuk menutupnya. Mengingat kemungkinan subsidi BBM bakal kembali jebol, menembus angka 48 juta kiloliter yang bakal dikonsumsi masyarakat, dari APBN yang hanya menganggarkan subsidi untuk angka 46 juta kiloliter.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan di tengah carut marutnya ekonomi negara yang sedang dibenahi dan bersiap menghadapi strong head wind ini, Rupiah kembali melemah, salah satu faktornya adalah, diterpa lagu lama, perang dingin antara AS dan Rusia. Saat The Fed menaikkan suku bunga hingga 1,3% , Rusia pun tidak kalah ekstrim dengan menaikkan suku bunga acuannya hingga 17%. Hal ini terjadi karena nilai tukar Rubel jatuh di angka terendah sepanjang tahun kemarin. Di akhir tahun kemarin, Rubel menembus angka 80 Rubel per dolar AS. Yang diakui oleh Sergei Shetsov, sebagai Deputi Pertama Kepala Bank Sentral Rusia, sebagai sejarah terburuk nilai tukar Rubel, karena nilai Rubel mengalami penyusutan hingga 60% dari nilai tukar di awal tahun 2014. Belum lagi harga minyak dunia yang anjlok hingga angka 55 dollar As per barelnya. Hal tersebut merupakan pukulan keras untuk perekonomian Rusia. Karena, selain anjloknya nilai tukar Rubel, Rusia adalah negara yang mengandalkan 52% pendapatannya dari sektor migas. Ditambah lagi adanya embargo ekonomi dari sebagian negara-negara Eropa dan AS sebagai imbas dari konflik antara Rusia dan Ukraina. Jadi, boleh dibilang faktor jor-jorannya The Fed dan Rusia melempar kenaikan suku bunga, sebagai sebuah perang dingin gaya baru.

Hal tersebut jelas berimbas cukup besar dengan nilai Rupiah saat ini. Saat mata investor seluruh dunia tertuju pada dua negara tersebut, sementara 40% saham obligasi di negara kita dikuasai oleh investor asing. Sebagai investor, wajar rasanya jika semua lebih menyukai keuntungan tertinggi saat berinvestasi. Bahkan, untuk negara dengan ekonomi kuat seperti Jepang, perang dua negara tersebut berimbas cukup dalam dengan ditandai melemahnya nilai Yen hingga mencapai angka 11,3% per dollar AS.

Di sisi lain, ada juga faktor internal yang menjadi faktor melemahnya nilai rupiah. Yaitu kondisi politik dan sentimen domestik. Seperti kita tahu, pemerintahan Jokowi-JK kali ini bukanlah pemerintahan yang mudah. Bukan saja beban hutang yang mencapai angka hingga 294,5 miliar dollar AS, tapi juga defisit anggaran di APBN 2015. Sementara masyarakat mengharapkan pemerintah baru ini bekerja cepat sesuai dengan janji di masa kampanye. Akan tetapi keinginan mereka, minus dukungan terhadap pemerintah.

Ya, sangat disayangkan pula, sisa-sisa konflik masa pilpres kemarin ternyata masih berlanjut. Hal tersebut pulalah yang menjadi salah satu pertimbangan investor untuk berinvestasi di sini. Ada pertimbangan, jika masyarakat selalu apriori dengan pemerintah mereka sendiri, bagaimana mungkin mereka yang notabene orang asing bisa percaya terhadap pemerintah negara ini.

Sepertinya memang sebuah PR besar bagi pemerintah sekarang. Untuk mengingatkan lagi kepada masyarakatnya tentang “ le desir d’etre ensemble” . Dan juga kenyataan bahwa kesulitan sebesar apapun yang menimpa sebuah negara, strong head wind sekalipun akan bisa dihadapi jika masyarakat mau bersatu dengan pemerintah, sebagai check and balance, sebagai partner yang saling mengingatkan dan mengoreksi serta mendukung, bukan saling menghujat tanpa solusi apapun.

Seperti kata Kennedy,

Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country. All this will not be finished in this first one hundred days. Nor will it be finished in the first one thousand days, nor in the life of this administration, nor even perhaps in our lifetime in this planet. But let us begin. Finally, whether you are citizens of America or citizens of the world, ask of us here the same high standards of strength and wich we ask of you.

Karena negara adalah tentang society, bukan tentang person by person. Seperti kata Sri Mulyani,

”Sesulit apapun efek head wind nanti, Indonesia pasti mampu menghadapi, jika masyarakat dan pemerintah mau bekerja keras, saling mendukung. ”

Akankah?

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 jam lalu

Terpopuler