Hak Kesehatan Reproduksi yang sedikit ketahui orang salah satunya, hak memilih pasangan hidup. Hak ini menjamin setiap orang bebas dari praktik perjodohan dan perkawinan paksa.
Kalau selama ini orang mendukung adanya pemilihan pasangan yang diingini, hanyalah berdasarkan adanya kepercayaan perkembangan zaman membawa perubahan, meninggalkan zamannya Siti Nurbaya. Mereka sama sekali mengetahui mengenai jaminan hak dalam memilih pasangannya.
Pada saat wacana hak memilih pasangan antara perempuan dengan laki-laki dan sebaliknya, sebagian besar orang tua akan menerimanya dengan lapang dada. Protes akan muncul, manakala hak memilih pasangan yang dijamin, sesungguhnya, termasuk memilih pasangan sesama jenis. Artinya, seseorang berhak memilih pasangannya, baik lawan jenis maupun sesama jenis.
Secara umum, pemenuhan hak memilih pasangan beda jenis hampir tidak menjadi persoalan. Terjadinya perjodohan dan kawin paksa sudah sangat sedikit fenomenanya. Negara bisa dikatakan sudah memenuhi hak ini, dengan tak melakukan larangan atau menghalang-halangi.
Tetapi seseorang yang hendak memilih pasangannya sesama jenis, tidak saja negara yang masih menghalangi dengan UU No. 1 Tahun 1974, masyarakat pun sebagian besarnya masih melarang dan sebagiannya mengutuk pilihan ini.
Berkaitan dengan hak memilih pasangan, setiap orang berhak membentuk keluarga yang diinginkannya, apakah keluarga pasangan perempuan dan laki-laki atau pasangan sesama jenis tentunya. Lagi-lagi, bagi pasangan yang sejenis akan mendapatkan persoalan serius manakala mereka akan membentuk keluarga seperti yang mereka inginkan.
Setelah seseorang membentuk keluarga, mereka memiliki hak akankah mereka memiliki anak atau tidak, kapan mereka akan memiliki anak, dan seberapa sering atau banyak mereka akan memiliki anak.
Pertimbangan-pertimbangan ini tentu saja diharapakan tak hanya menyandarkan pada pandangan transendental, anak sebagai karunia, dan Tuhan menjanjikan akan menjamin rezeki setiap anak yang dilahirkan. Pertimbangannya, seyogyanya, juga memperhitungkan seberapa kemampuan setiap pasangan untuk bisa memberikan perawatan yang tertinggi, termasuk kesehatan dan kebutuhan gizi anak. Termasuk seberapa besar kemampuan mereka membiayai pendidikan anak-anaknya. (Bersambung)
Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.