x

Iklan

Ainy Fauziyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nenek Sukha dan Rezeki Sekeranjang Pisang

Demi Rp 20.000, Sukha rela menyambung hidup dari Rangkas Bitung ke Jakarta setiap hari

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Senin pekan lalu saat menaiki tangga stasiun kereta api Palmerah Jakarta nampak seorang nenek 70 tahun tengah menyelondjorkan kakinya. Bermandi peluh Sukha nenek asal Rangkas Bitung itu menyandarkan pundaknya ke dinding salah satu sudut stasiun. Sekali-kali ia memandang dua keranjang plastik yang berisi sisa barang dagangan yang tidak laku siang itu. Tangannya yang mengeriput sibuk memijit kedua kakinya yang pegal setelah berjalan menjajakan dagangannya di sepanjang pasar Tanah Abang. Sukha nampak begitu lelah.

 

Dua keranjang jinjing dari anyaman plastik warna-warni itu ternyata yang satu berisi beberapa buah pisang tanduk dan sayur genjer yang tidak laku. Sementara itu keranjang jinjing satunya nampak kosong hanya berisi beberapa lembar plastik bungkus yang telah usang. “Ini sisa dagangan nenek yang belum laku terjual hari ini,” katanya sambil membuka keranjangnya. Pisang tanduk dan sayur gonjer yang masih segar itu terpaksa ia bawa pulang ke rumah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Setiap hari Sukha harus menempuh perjalaan satu setengah jam dari Rangkas Bitung menuju pasar Tanah Abang Jakarta demi menyambung hidupnya. Dari naik ojek, kereta api hingga angkutan. Sepanjang perjalanan ia selalu ditemani dua keranjang pisang dan sayur-sayuran yang siap dijual kepada pelanggannya di pasar. Menurutnya dua keranjang besar itulah teman setianya.

 

Dengan bantuan tukang ojek andalan Sukha meninggalkan rumahnya sejak jam 5 pagi menuju stasiun Rangkas Bitung. “Saat kereta api siap meninggalkan Rangkas Bitung jam 6 pagi menuju stasiun Palmerah Jakarta saya sudah duduk manis di bangku kesayangan,” sambung Sukha dengan pandangan mata yang berbinar. Ternyata meski di usianya 70 tahun ini perjalanan satu setengah jam bukanlah masalah baginya.

 

Sukha seringkali menerima bantuan dari para lelaki. Acapkali saat kakinya melangkah menuruni anak tangga kereta, selalu ada saja laki-laki yang mau membawakan kedua keranjangnya. Tak jarang mereka berebut walau Sukha tak pernah memintanya, aku Sukha sambil mengubah posisi kakinya.

 

Yang jelas Sukha merasa bersyukur karena dalam perjuangannya menyambung hidup ia menemukan banyak kemudahan. “Meski sudah keriput begini saya beruntung masih bisa bekerja dan ada yang saya bawa pulang ke rumah,” tambah Sukha yang bersyukur bisa pulang membawa pulang meski hanya Rp 20.000 saja.

   

Berbeda halnya dengan kita yang terbiasa hidup di Jakarta. Bagi kita uang Rp 20.000 hanya cukup untuk sekali makan di warteg / warung tegal atau ongkos parkir mobil beberapa jam di sebuah mal Jakarta. Sementara Sukha melihat uang Rp 20.000 sangatlah berarti baginya. Bagaimana tidak?

 

Nenek yang rela merogoh koceknya Rp 30.000 untuk ongkos transportasi pulang pergi ini berpenghasilan Rp 50.000 perhari. Meski pulang hanya membawa uang Rp 20.000 Sukha sudah merasa bersyukur luar biasa. Lumayan bisa untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

 

Pernah ia mendapatkan uang Rp 120.000 sehari atau Rp 90.000 setelah dipotong ongkos angkutan tetapi itu pun tidak setiap hari. Menurutnya uang Rp 20.000 itu bisa untuk membeli beras, tahu, tempe serta kebutuhannya pokok lainnya. Nenek yang jarang makan daging ayam apalagi daging sapi ini merasa bersyukur bisa makan dengan lauk tahu dan tempe serta memasak sayur sisa dagangannya yang tidak laku.

 

Berkali-kali anak-anak Sukha memintanya tinggal bersama mereka. Walaupun begitu Sukha lebih memilih untuk hidup sendiri. Tinggal seorang diri di rumahnya sendiri. Hidup mandiri dan bekerja mencari nafkah sendiri.

 

Sukha yang sudah empat tahun berjualan pisang di pasar Tanah Abang ini kemudian membungkus sisa dagangannya ke dalam plastik hitam dan tersenyum manis kepada seorang wanita yang akhirnya membeli sisa dagangannya.

 

“Alhamdulillah hari ini saya membawa pulang uang lebih dari Rp 20.000. Inilah nikmatnya bekerja meski sudah tua,” kata Sukma sembari menyelonjorkan kedua kakinya. Sejenak ia membuka dompetnya, menghitung jumlah rupiah yang ia bawa pulang ke rumah. Sebuah senyum bahagia nampak menghiasi wajahnya.   

Ikuti tulisan menarik Ainy Fauziyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler