x

Kepala BNN, Budi Waseso dan arlojinya. TEMPO/Dian Triyuli Handoko

Iklan

Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Budi Waseso, Tantangan Studi Psikologi Sosial

Saat isu kriminalisasi dan pelemahan KPK, Budi Waseso sebagai aktor yang tertuduh. Saat dicopot dari jabatan Kabareskrim, ia dinilai korban dari konspirasi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Publik di negeri ini tampaknya memiliki kecenderungan pada riuhnya pemberitaan di media massa. Pembingkaian berita yang dilakukan media massa sangatlah memengaruhi bagaimana publik berpendapat. Hanya satu yang tetap, perasaan selalu tampil di depan ketimbang pemikiran kritis yang bekerja.

Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana hampir semua kalangan, melalui media konvensional (TV, Koran, Majalah, Radio) dan juga media sosial, memberikan respons berkecenderungan miring terhadap Budi Waseso. Ia digambarkan sebagai aktor yang memainkan peran penting dalam penangkapan AS dan BW. Motifnya, dilukiskan banyak kalangan sebagai balas dendam terhadap lembaga anti rasuah itu, karena menetapkan BG sebagai tersangka, tepat menjelang ia hendak diangat sebagai Kapolri.

Peristiwa ini bahkan membangkitkan kemarahan para relawan pendukung Jokowi dalam proses pencalonannya. Kritik tajam bertebartan diajukan kepada Jokowi dan ancaman melakukan perlawanan. Jokowi melalui berbagai aksinya, termasuk membentuk Tim 9, mencoba melakukan penyelesaian benturan yang tak bisa dibilang sederhana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keteraniayaan AS dan BW tentu menjadi pemicu simpati dan mungkin juga empati berbagai kalangan. Tak kurang, para tokoh nasional turut berbicara, Buya Maarif, Frans Magnis Suseno, dan Jimly Assidiqy untuk menyebut beberapa di anatara tokoh berwibawa itu. Mereka turut berbicara, turut mengomentari situasi negeri yang sedang menuju pada krisis kepercayaan publik terhadap Jokowi.

Komitmen Jokowi terhadap penghapusan korupsi di negeri ini sangat diragukan. Nawa Cita digugat-gugat dan nyaris dianggap sebagai slogan semata. Jokowi dianggap tak serius mewujudkan visinya yang tertuang dalam dokumen orientasi pembangtunan yang akan dijalankan Jokowi selama memerintah negeri ini.

Kini, saat Budi Waseso dicopot dari jabatan Kabareskrim, media melakukan kembali peran spekulasinya. Publik mendapatkan gambaran, pencopotan Budi Waseso tidaklah semata-mata tradisi mutasi sebagai peristiwa biasa. Publik mulai mengaitkian pencopotan Budi Waseso terkait erat dengan penggeledahan ruang kerja Dirut Pelindo.

Isu semakin melebar, media menggambarkan peristiwa pencopotan itu terkait dengana relasi Direktur Pelindo dengan Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Pasalnya, diberitakan dalam media, Wakil Presiden sempat menelepon Budi Waseso seusai melakukan penggeledahan.

Publik, berdasarkan informasi yang tersajikan di media massa, mengimajinasikan saat Budi Waseso berposisi sebagai orang yang teraniaya. Imajinasi itu berkembang menjadi sangat serius, Budi Waseso korban dari sebuah konspirasi besar para pelaku politik: salah satunya tergambarkan konspirasi melindungi kepentingan kapital.

Polri digambarkan sebagaia lembaga yang sedang mengalami intervensi politik dan kuasa di luar lembaganya. Meski pencopotan Budi Waseso dibarengi dengan puluhan perwira polisi dalam muitasi, tak serta merta bisa menghapuskan gambaran publik mengenai konspirasi ini.

Teraniaya, menjadi ikon penting yang lagi-lagi menyentuh pemikiran publik. Perasaan publik tersentuh. Budi Waseso menjadi orang yang menghadirkan keibaan. Publik memalui berbagai media komunikasi mulai memunculkan simpati dan empati kepada Budi Waseso. Pujian mengenai kesederhanaan dan kebersahajaan Budi Waseso menjadi diskusi hangat.

Tidak ada pretensi mengatakan mana yang benar dan mana yang keliru. Fenomena Budi Waseso, merefleksikan situasi psikologi sosial di publik negeri ini sangatlah labil. Pandang-pandangan terhadap kasus-kasus besar didasarkan pada perasaan bukan nalar kritis. Ini tentu menjadi kajian menarik dalam disiplin ilmu psikologi sosial.

Pertimbangan-pertimbangan yang berdasarkan perasaan semata, keteraniyaan, ketertindasan, dan situasi menyedihkan lainnya, di negeri ini mampu menggiring pendapat publik, komentar publik tanpa melakukan penyaringan informasi secara lebih kritis.

Media massa yang menjadi sumber informasi, sayangnya, masih menggunakan pendekatan jurnalisme perang, kegaduhan menjadi salah satu yang menyenangkannya dan dieksploitasi sedemikian rupa. Publik yang labil dan tak kritis itu mengamininya.

Inilah barangkali yang patut kita sebut, bangsa ini memiliki ingatan pendek, mudah lupa terhadap persoalan-persoalan substansial di negrei ini. Publik kita hanya bergerak di permukaan dan melupakan kasus tertentu manakala media sudah tak lagi memberitakannya.

Sebut, misalnya, saat media tak lagi mengeskpose kasus BW dan AS, siapa lagi yang membincangkannya? Ketika media tak lagi memberikan sorotan terhadap persoalan Munir, siapa lagi yang mengingatnya? Ketika media tak lagi memberitakan kasus Udin, siapa lagi yang memerhatikannya? Hanya segelintir orang yang tetap menggunakan pemikiran kritis yang coba mengangkatnya./

Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler