x

Koalisi Jokowi Dinilai Terusik Gebrakan KPK

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ada yang Berniat 'Melenyapkan' KPK

Semangatnya bukan lagi menguatkan lembaga anti korupsi tersebut. Tapi, terselip niat 'melikuidasi' komisi anti-rasuah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Rencana amandemen Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, jadi sorotan. Pasalnya, beberapa ketentuan dalam revisi UU KPK, semangatnya bukan lagi menguatkan lembaga anti korupsi tersebut. Tapi, terselip niat 'melikuidasi' komisi anti rasuah. 
 
 
" Kami, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan keprihatinan mendalam dengan sikap beberapa Fraksi di Badan Legislasi DPR yang saat ini masih berencana  untuk mengamandemen UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK," kata Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi W. Eddyono, di Jakarta, kemarin.
 
Supriyadi menambahkan,  walau  RUU KPK sudah dihapuskan DPR dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2013, tapi ternyata semangat untuk mengamendemen UU KPK tetap kuat dari Senayan. Bahkan semangat itu, kini arahnya kian jelas, mengamputasi komisi anti rasuah. Misalnya dalam Rapat Baleg pada 6 Oktober 2015 lalu beberapa legislator Senayan masih berusaha meyakinkan, bahwa amandemen adalah jalan yang perlu ditempuh untuk memperkuat KPK. Beberapa fraksi mengusulkan agar revisi UU KPK masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2015.
 
 
" Bahkan dalam pembahasan kemarin RUU ini diubah, dari sebelumnya inisiatif pemerintah, diusulkan menjadi inisiatif DPR," katanya. 
 
Tidak hanya itu, kata Supriyadi, dalam rapat kemarin sejumlah anggota DPR masih memanfaatkan mengungkit amandemen dan mendiskusikan beberapa rancangan terbaru mengenai revisi UU KPK. Dalam draft tersebut ia  meilihat hal-hal krusial yang berpotensi melemahkan KPK. Bahkan Supriyad menangkap ada niat untuk membajak KPK dalam pasal-pasal revisi tersebut.  
 
" Beberapa hal krusial terutama yakni, pertama, KPK sengaja dibuat secara adhoc, (sementara waktu) dengan jangka waktu yang terbatas," ujarnya.
 
Menurut Supriyadi, ketentuan ini menyederhanakan masalah penanganan korupsi Indonesia, seakan-akan masalah  korupsi yang dapat diselesaikan hanya dengan waktu 12 tahun  Ketentuan ini juga menitikberatkan bahwa masalah penanganan korupsi hanya kepada penegakan hukum, bukan hanya kepada pencegahan dan lain-lain, sesuai fungsi KPK. 
 
" Kedua, kewenangan KPK sengaja dibuat secara terbatas hanya untuk menangani kasus – kasus korupsi paling sedikit 50 milyar. Kondisi ini akan mengecilkan jumlah kasus yang akan di tangani oleh KPK," tutur Supriyadi. 
 
Ketiga, lanjut Supriyadi, naskah DPR  membuat struktur “dewan eksekutif “ di KPK, berada di bawah Komisioner. Jelas pilihan ini tidak sesuai dengan struktur KPK sebagai lembaga Negara dan justru membuat birokrasi baru. Ketentuan ini sengaja melemahkan fungsi pimpinan atau komisioner KPK. Maka, berdasarkan hal-hal tersebut, ia mewakili ICJR melihat materi dalam naskah RUU revisinya yang diinisiasi oleh DPR sudah pada taraf  digunakan untuk melemahkan atau membajak KPK. 
 
" Kami, ICJR merekomendasikan DPR sebaiknya menghentikan seluruh inisiatifnya untuk merevisi UU KPK. Baik dari segi momentum dan keutuhannya revisi UU KPK belum diperlukan," ujarnya.
 
Sementara itu, aktivis ICJR, Erasmus A. T. Napitupulu, menyorot beberapa pasal krusial dalam draf revisi UU KPK. Misalnya ketentuan yang termuat dalam Pasal 13 revisi UU KPK. Dalam Pasal 13 itu disebutkan bahwa, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, tindak pidana korupsi yang: (b) menyangkut kerugian negara paling sedkit Rp 50.000.000.000,00 (c) dalam hal KPK telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah 50.000.000.000, maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK. Pasal lain yang disoroti adalah tentang Dewan Eksekutif KPK. 
 
" Dalam Pasal 22 ayat (1) disebutkan, KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas: Dewan Eksekutif yang terdiri dari 4 anggota," katanya.
 
Dalam  pasal berikutnya dinyatakan pula, Dewan Eksekutif diangkat dan diberhentikan presiden. Padahal, dengan adanya dewan eksekutif, akan memberikan ruang intervensi yang besar dari eksekutif kepada KPK. Dalam Pasal 24 revisi UU KPK dinyatakan,  Dewan Eksekutif berfungsi menjalankan pelaksanaan tugas sehari-hari lembaga KPK dan melaporkannya kepada komisioner lembag anti rasuah.  Selain itu, termuat juga pengaturan Dewan Kehormatan KPK yang berlebihan.
 
" Di  Pasal 39 ayat (1) revisi UU KPK dinyatakan, dalam melaksanakan tugas dan penggunaan wewenangnya KPK maka dibentuk Dewan Kehormatan," katanya.
 
Lalu pada ayat (2), Pasal 39 revisi UU KPK, disebutkan,  Dewan Kehormatan diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang yang tidak memenuhi standar penggunaan wewenang yang telah ditetapkan dan menjatuhkan sanksi administrasi dalam bentuk tegoran lisan dan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian dari pegawai pada KPK dan pelaporan tindak pidana yang dilakukan oleh komisioner KPK dan pegawai pada KPK. 
 
" Di ayat (3) dikatakan, Dewan Kehormatan bersifat adhoc yang terdiri dari 9 anggota, yaitu 3 unsur dari pemerintah, 3 unsur dari unsur aparat penegak hukum dan 3 orang unsur dari masyarakat," tuturnya. 
 
Pasal lain yang disorot Erasmus adalah  Pasal 52 ayat (2). Di pasal itu dinyatakan,   dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan kepolisian atau kejaksaan belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh KPK, maka komisi anti rasuah wajib memberitahukan kepada kepolisian atau kejaksaan paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. Pasal lain yang bermasalah dalam revisi UU KPK, adalah Pasal 45 ayat (1).
 
" Disebutkan dalam pasal itu, penyelidik adalah penyelidik pada KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 (3) yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK atas usulan dari kepolisian atau kejaksaan," katanya. 
 
Pasal 53 ayat (3) kata Erasmus juga bermasalah. Dalam Pasal tersebut, dikatakan, penuntut adalah jaksa yang berada dibawah lembaga Kejaksaan Agung yang diberi wewenang oleh KUHP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dan yang paling kentara hendak melemahkan KPK, adalah ketentuan yang mengatur tentang SP3. Ketentuan itu ada dalam Pasal 42. Di pasal itu, dinyatakan, KPK berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 dalam perkara tindak pidana korupsi setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan sebagaimana diatur pada pasal 109 ayat (2) KUHP.
 
"KPK harusnya tetap dalam posisi kekhususannya dalam hal memastikan suatu kasus korupsi, " katanya.
 
Dengan KPK dapat memberikan kewenangan SP3 kata Erasmus, justru mengurangi tingkat kekhususan penyidikan komisi anti korupsi. Kata Erasmus, KPK pada prinsipnya tidak boleh menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara yang sudah ditetapkan oleh KPK sebagai objek penyidikan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler