x

Kopral Bagyo menyerukan kepada pengendara mobil, motor, dan pejalan kaki untuk mendukung aksinya, dengan menyerukan pengembalian mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Solo, 11

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Akibat Nilai PSPB Jeblok

"Di negeri ini, tidak ada mayoritas dan minoritas. Yang ada adalah rakyat Indonesia," begitu kalimat tegas yang diucapkan Mendagri, Pak Tjahjo Kumolo.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

" Di negeri ini, tidak ada mayoritas dan minoritas. Yang ada adalah rakyat Indonesia," begitu kalimat tegas yang diucapkan Menteri Dalam Negeri, Pak Tjahjo Kumolo, dalam sebuah acara. 
 
Saya suka kalimat tersebut. Dan, saya wajib mengamininya. Ya, semestinya, ketika Indonesia sudah merdeka, apalagi kemerdekaan sudah dinikmati 70 tahun lamanya, masalah minoritas dan mayoritas, sudah selesai. Yang ada adalah rakyat Indonesia. Namun, memang tak segampang membalik tangan. Yang ideal, selalu susah diwujudkan. Atau jangan-jangan, memang tak akan bisa diwujudkan. 
 
Ya, harus diakui pula, selalu saja ada kelompok yang coba melanggengkan itu. Mereka, berusaha terus menegakan itu, agar dominasi tetap bisa dilakukan. Padahal, itu sudah basi. Sayangnya, selalu saja ada yang menginginkan perbedaan tetap menganga. Selalu saja ada yang hendak merasa bahwa kami pemilik terbanyak republik ini. Pada akhirnya, karena itu coba ditegakan, gesekan tak terhindarkan. Konflik pun terjadi. 
 
Bhineka Tunggal Ika akhirnya hanya slogan. Berbeda suku, agama tapi satu bangsa, satu negara, satu Tanah Air, sepertinya masih sebatas pernyataan. Belum sepenuhnya jadi kenyataan. Karena masih ada yang menganggap, yang diluar barisan kita, bukanlah kami. Yang berbeda, bukanlah kawan. Kami dan mereka masih kuat disuarakan. Bahkan, parahnya lagi itu dengan amarah. Membakar, serta menyesatkan orang pun seperti biasa. Padahal, karena itu konflik mudah tersulut. Entah apa tujuan mereka yang ingin menegak-kan bahwa mereka beda dengan yang lainnya. 
 
Namun, mudah-mudahan ini adalah sebuah proses, menuju bangsa Indonesia yang dewasa. Toh, Amerika pun berabad-abad berusaha menghapuskan diskriminasi. Hitam dan putih masih jadi persoalan, bahkan hingga sekarang. Pun, ketika Presiden mereka berasal dari kaum kulit berwarna. 
 
Tapi, jangan pernah ada yang putus asa. Bhineka Tunggal Ika, mesti terus disuarakan. Harus ada yang tak pernah menyerah menyadarkan, bahwa kita adalah kita. Bahwa semua adalah rakyat Indonesia, tak peduli dia beragam Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu atau penganut kepercayaan. Mereka adalah kita. Mereka adalah kami. 
 
" Mereka yang ngeyel membeda-bedakan, inilah kami, itulah mereka, hanya orang-orang yang dulu nilai PSPB-nya pas-pasan. Karena mereka gagal mengerti sejarah bangsa ini," begitu pendapat kawan saya. 
 
Dan saya sepakat. Setidaknya, ada beberapa alasan, kenapa mereka yang selalu membedakan ini kita dan itu bukan kita, nilai pelajaran sejarahnya atau PSPB-nya jeblok. Alasan pertama, jelas mereka tak suka pelajaran sejarah. Karena itu, nilai PSBP mereka jeblok alias selalu merah. Bagi mereka pelajaran sejarah itu tak penting. Sebab, bagi mereka sejarah itu bukan soal masa lalu yang harus dijadikan pelajaran. Tapi, sejarah adalah cerita hari ini. Kisah yang dibuat dan ditegakan mereka. Persetan dengan masa lalu, betapa pun masa lalu itu, adalah yang membuat mereka bisa membuat sejarah dengan bebas hari ini. 
 
Alasan kedua, mereka tak memfavoritkan pelajaran sejarah. Karena itu, mereka jarang baca buku PSPB, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan sejenisnya. Akibat jarang baca buku tersebut, mereka tak terlalu mengenal kiprah para pendiri bangsa. Jadi, mereka tak begitu hapal, siapa saja para tokoh itu, latar belakangnya, serta bagaimana para tokoh republik berjuang. 
 
Padahal, sejarah republik ini penuh warna. Tak sekedar, di lukis oleh jejak yang satu warna. Ada peran dari tokoh Islam, Kristen, Hindu bahkan kejawen. Tapi, karena tak mem-favoritkan PSPB, mereka tak begitu hapal siapa saja para 'pahlawan' di republik ini. Akibat tak hapal, maka mereka tak pernah merasa dekat. Apalagi sayang. Bukankah peribahasa mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Ya, begitulah mereka. 
 
Alasan ketiga, karena tak hapal dan tak kenal dekat, mereka pun kemudian mencari sosok yang dianggap mewakili sejarah mereka hari ini. Di dapat-lah tokoh yang dengan gagah selalu mengatakan ini kita, dan itu bukan kita. Tokoh seperti itulah, yang kemudian dijadikan rujukan. Di jadikan panduan dalam bersikap dan bertindak. 
 
Jadi jangan anggap remeh mata pelajaran PSPB. Sayang, mata pelajaran itu sudah dihapus. Padahal, itu mata pelajaran yang maha penting. Mestinya, mata pelajaran PSPB dihidupkan lagi. Tapi dengan catatan mata pelajaran itu, isi atau kontennya tak dimanipulasi. Namun, mesti diluruskan, sesuai fakta. 
 
 
 
 
 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler