x

Ribuan Warga Padati Pelantikan Serentak 17 Kepala Daerah Ini.

Iklan

Ardi Winangun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jalan Panjang Menjadi Kepala Daerah

Menjadi kepala daerah dengan cara pemilihan langsung, dipilih rakyat, bukan suatu yang mudah. Proses panjang harus mereka lalui.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kalau kita lihat di berbagai media massa selepas pelantikan kepala daerah, terlihat wajah-wajah yang sumringah dari wajah para kepala daerah itu. Dalam foto yang beredar di media massa maupun media sosial, para kepala daerah itu terlihat ganteng, cantik, dan berkulit bersih terutama kepala daerah yang perempuan. Kegembiraan tidak hanya menghinggapi kepala daerah itu namun juga ada pada pasangannya. Lihat saja bagaimana istri Bupati Trenggalek, Jawa Timur. Sang bupati yang mempunyai istri seorang artis, Arumi Bachsin, juga terlihat sumringah bahkan saat pelantikan yang dilakukan di Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Arumi menjadi perhatian khusus sebelum dan sesudah pelantikan.

Ke-sumrigahan yang ada pada mereka tak hanya berada di ruang pelantikan. Saat diarak keliling kota atau berada di tengah para pendukungnya, para kepala daerah itu juga mengumbar senyum dan kegembiraan.

Kegembiraan yang menggurat di wajah mereka sebagai tanda puas dan lega juga terpancar saat diarak keliling kota dan di tengah pendukung. Selepas pelantikan para kepala daerah melakukan selebrasi kemenangan. Mereka merayakan kemenangan atas perjuangan yang telah dilakukan. Sebagai orang yang tujuannya tercapai, mereka berhak melakukan selebrasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menjadi kepala daerah dengan cara pemilihan langsung, dipilih rakyat, bukan suatu yang mudah. Proses panjang harus mereka lalui. Sekarang seorang menjadi kepala daerah bukan seperti pada masa Orde Baru di mana pada masa itu seorang bisa menjadi bupati, walikota, dan  gubernur atas restu Presiden Soeharto. Jangan bermimpi akan menjadi kepala daerah bila tidak mendapat ijin dari Soeharto.

Jaman berubah sehingga restu-restuan seperti jaman dulu dianggap bukan jamannya lagi meski demikian restu dari ‘pusat’ masih tetap ada bahkan masih dibutuhkan seperti pada masa Orde Baru. Seorang yang hendak maju menjadi kepala daerah, biasanya restu dari ketua umum partai masih sangat menentukan.

Sosok ketua umum partai yang kuat, otoriter, dan disegani, sangat berpengaruh pada kebijakan yang dikeluarkan. Calon yang diunggah oleh PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat, mereka adalah calon-calon yang pastinya sudah direstui oleh Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Tanpa restu mereka jangan harap seseorang bisa maju dalam Pilkada lewat partai-partai itu. Seseorang perlu mendapat restu dari ketua umum partai sebab bila diusung oleh partai-partai itu, probalitas kemenangan akan bisa diraih sebab partai pengusung adalah bukan partai sembarangan, bukan partai yang harus berkoalisi besar-besaran dengan partai lain saat Pilkada.

  Selain soal restu, sosok yang hendak maju dalam Pilkada harus memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi. Sosok kepala daerah pada masa Orde Baru, biasanya masyarakat  tidak banyak yang tahu. Masyarakat biasanya tahu setelah diumumkan atau setelah kepala daerah itu dilantik. Kepala daerah pada masa lalu adalah drop-dropan dari pusat. Orang-orang pusat diturunkan ke daerah untuk dijadikan bupati, walikota, dan gubernur. Soal popularitas dan elektabilitas tidak menjadi penting sebab kepala daerah dipilih oleh DPRD dan DPRD pada masanya hanya sebagai legalitas dari kemauan penguasa.

Dalam era sekarang, siapa yang memenangi Pilkada bukan ditentukan karena seorang itu pintar, tokoh masyarakat atau tokoh agama namun karena elektabilitas dan popularitas. Tingkat keterpilihan pada seseorang bisa saja karena ia ganteng, cantik, rajin bekerja, dekat masyarakat, memilik kharisma, atau karena seperti disebutkan di atas, tokoh masyarakat dan atau tokoh agama. Pasha Ungu bisa terpilih menjadi Wakil Wali Kota Palu, Sulawesi Tengah, bukan karena ia tokoh di kota itu, bukan pula hidupnya dihabiskan di sana, namun karena faktor kegantengan (artis).

Untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas itu tidak bisa dibangun dalam waktu setahun namun memerlukan waktu yang sangat panjang. Masyarakat pasti curiga bila ada seseorang tiba-tiba merakyat, bersikap ramah, dan dermawan. Masyarakat pasti tahu bahwa sosok yang berperilaku mendadak baik itu mempunyai motif untuk dipilih. Menanggapi sosok yang demikian, masyarakat malah resisten atau menolak. Biasanya masyarakat memilih sosok yang tulus, ikhlas, dan natural.

Ada kabar seorang dokter di salah satu daerah yang memberi pengobatan gratis kepada masyarakat. Pengobatan gratis yang diberikan selama bertahun-tahun itu memberi citra yang baik kepadanya bahwa ia adalah seorang yang tulus dan ikhlas. Entah karena kemauan sendiri atau didukung oleh partai politik, dokter itu maju dalam Pilkada. Sebab dokter itu dianggap ikhlas dan tulus maka masyarakat memilihnya. Di sinilah menunjukkan bahwa perjalanan menjadi seorang kepala daerah memerlukan waktu yang panjang, tidak cukup satu tahun dalam persiapan.

Fenomena lain dari seseorang bisa menjadi kepala daerah adalah faktor uang meski hal ini bukan faktor penentu. Faktor uang atau yang lebih disebut money politic menjadi pelicin bagi calon kepala daerah untuk meraih kemenangan. Sikap masyarakat yang pragmatis biasanya akan menutup mata mereka dari calon-calon yang baik dan mumpuni. Masyarakat bersikap pragmatis disebabkan oleh mereka sudah lelah dalam berdemokrasi yang dianggapnya tak membawa perubahan, bisa pula karena faktor ekonomi (kemiskinan), sehingga mereka memilih saja apa yang bisa dirasakan saat itu, mendapat amplop sebelum coblosan.

Money politic ini diakui atau tidak adalah salah satu strategi pemenangan. Untuk menggunakan cara seperti ini tentu butuh modal besar. Dari sinilah maka banyak calon kepala daerah yang maju adalah dari kalangan orang yang berduit, apakah itu pengusaha, tuan tanah, atau kaya dari keturunan. Orang-orang inilah yang bisa menggelontor uang kepada masyarakat saat Pilkada.

Dari paparan di atas maka terlihat bahwa seseorang untuk bisa menjadi kepala daerah, ia harus menempuh perjalanan panjang dan berlika-liku. Tidak ada faktor tunggal yang bisa membuat calon menang dalam pemilu. Elektabilitas, popularitas, restu ketua umum partai, dan modal harus saling beririsan. Faktor-faktor itu harus saling mendukung dan menunjang. Jokowi tidak akan bisa menjadi Walikota Solo, Gubernur Jakarta, dan Presiden bila tidak mendapat restu dari Megawati meski elektabilitasnya meroket, pun demikian Walikota Surabaya Tri Rismaharini.

Jalan panjang dan berliku inilah yang membuat mereka puas dan merasa lega setelah memenangi Pilkada. Untuk mensyukuri kemenangan itu tak heran bila para kepala daerah terpilih melakukan selebrasi kemenangan dengan berdandan cantik dan ganteng saat disahkan menjadi kepala daerah serta melakukan konvoi keliling kota.

 

Kalau kita lihat di berbagai media massa selepas pelantikan kepala daerah, terlihat wajah-wajah yang sumringah dari wajah para kepala daerah itu. Dalam foto yang beredar di media massa maupun media sosial, para kepala daerah itu terlihat ganteng, cantik, dan berkulit bersih terutama kepala daerah yang perempuan. Kegembiraan tidak hanya menghinggapi kepala daerah itu namun juga ada pada pasangannya. Lihat saja bagaimana istri Bupati Trenggalek, Jawa Timur. Sang bupati yang mempunyai istri seorang artis, Arumi Bachsin, juga terlihat sumringah bahkan saat pelantikan yang dilakukan di Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Arumi menjadi perhatian khusus sebelum dan sesudah pelantikan.

Ke-sumrigahan yang ada pada mereka tak hanya berada di ruang pelantikan. Saat diarak keliling kota atau berada di tengah para pendukungnya, para kepala daerah itu juga mengumbar senyum dan kegembiraan.

Kegembiraan yang menggurat di wajah mereka sebagai tanda puas dan lega juga terpancar saat diarak keliling kota dan di tengah pendukung. Selepas pelantikan para kepala daerah melakukan selebrasi kemenangan. Mereka merayakan kemenangan atas perjuangan yang telah dilakukan. Sebagai orang yang tujuannya tercapai, mereka berhak melakukan selebrasi.

Menjadi kepala daerah dengan cara pemilihan langsung, dipilih rakyat, bukan suatu yang mudah. Proses panjang harus mereka lalui. Sekarang seorang menjadi kepala daerah bukan seperti pada masa Orde Baru di mana pada masa itu seorang bisa menjadi bupati, walikota, dan  gubernur atas restu Presiden Soeharto. Jangan bermimpi akan menjadi kepala daerah bila tidak mendapat ijin dari Soeharto.

Jaman berubah sehingga restu-restuan seperti jaman dulu dianggap bukan jamannya lagi meski demikian restu dari ‘pusat’ masih tetap ada bahkan masih dibutuhkan seperti pada masa Orde Baru. Seorang yang hendak maju menjadi kepala daerah, biasanya restu dari ketua umum partai masih sangat menentukan.

Sosok ketua umum partai yang kuat, otoriter, dan disegani, sangat berpengaruh pada kebijakan yang dikeluarkan. Calon yang diunggah oleh PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat, mereka adalah calon-calon yang pastinya sudah direstui oleh Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Tanpa restu mereka jangan harap seseorang bisa maju dalam Pilkada lewat partai-partai itu. Seseorang perlu mendapat restu dari ketua umum partai sebab bila diusung oleh partai-partai itu, probalitas kemenangan akan bisa diraih sebab partai pengusung adalah bukan partai sembarangan, bukan partai yang harus berkoalisi besar-besaran dengan partai lain saat Pilkada.

  Selain soal restu, sosok yang hendak maju dalam Pilkada harus memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi. Sosok kepala daerah pada masa Orde Baru, biasanya masyarakat  tidak banyak yang tahu. Masyarakat biasanya tahu setelah diumumkan atau setelah kepala daerah itu dilantik. Kepala daerah pada masa lalu adalah drop-dropan dari pusat. Orang-orang pusat diturunkan ke daerah untuk dijadikan bupati, walikota, dan gubernur. Soal popularitas dan elektabilitas tidak menjadi penting sebab kepala daerah dipilih oleh DPRD dan DPRD pada masanya hanya sebagai legalitas dari kemauan penguasa.

Dalam era sekarang, siapa yang memenangi Pilkada bukan ditentukan karena seorang itu pintar, tokoh masyarakat atau tokoh agama namun karena elektabilitas dan popularitas. Tingkat keterpilihan pada seseorang bisa saja karena ia ganteng, cantik, rajin bekerja, dekat masyarakat, memilik kharisma, atau karena seperti disebutkan di atas, tokoh masyarakat dan atau tokoh agama. Pasha Ungu bisa terpilih menjadi Wakil Wali Kota Palu, Sulawesi Tengah, bukan karena ia tokoh di kota itu, bukan pula hidupnya dihabiskan di sana, namun karena faktor kegantengan (artis).

Untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas itu tidak bisa dibangun dalam waktu setahun namun memerlukan waktu yang sangat panjang. Masyarakat pasti curiga bila ada seseorang tiba-tiba merakyat, bersikap ramah, dan dermawan. Masyarakat pasti tahu bahwa sosok yang berperilaku mendadak baik itu mempunyai motif untuk dipilih. Menanggapi sosok yang demikian, masyarakat malah resisten atau menolak. Biasanya masyarakat memilih sosok yang tulus, ikhlas, dan natural.

Ada kabar seorang dokter di salah satu daerah yang memberi pengobatan gratis kepada masyarakat. Pengobatan gratis yang diberikan selama bertahun-tahun itu memberi citra yang baik kepadanya bahwa ia adalah seorang yang tulus dan ikhlas. Entah karena kemauan sendiri atau didukung oleh partai politik, dokter itu maju dalam Pilkada. Sebab dokter itu dianggap ikhlas dan tulus maka masyarakat memilihnya. Di sinilah menunjukkan bahwa perjalanan menjadi seorang kepala daerah memerlukan waktu yang panjang, tidak cukup satu tahun dalam persiapan.

Fenomena lain dari seseorang bisa menjadi kepala daerah adalah faktor uang meski hal ini bukan faktor penentu. Faktor uang atau yang lebih disebut money politic menjadi pelicin bagi calon kepala daerah untuk meraih kemenangan. Sikap masyarakat yang pragmatis biasanya akan menutup mata mereka dari calon-calon yang baik dan mumpuni. Masyarakat bersikap pragmatis disebabkan oleh mereka sudah lelah dalam berdemokrasi yang dianggapnya tak membawa perubahan, bisa pula karena faktor ekonomi (kemiskinan), sehingga mereka memilih saja apa yang bisa dirasakan saat itu, mendapat amplop sebelum coblosan.

Money politic ini diakui atau tidak adalah salah satu strategi pemenangan. Untuk menggunakan cara seperti ini tentu butuh modal besar. Dari sinilah maka banyak calon kepala daerah yang maju adalah dari kalangan orang yang berduit, apakah itu pengusaha, tuan tanah, atau kaya dari keturunan. Orang-orang inilah yang bisa menggelontor uang kepada masyarakat saat Pilkada.

Dari paparan di atas maka terlihat bahwa seseorang untuk bisa menjadi kepala daerah, ia harus menempuh perjalanan panjang dan berlika-liku. Tidak ada faktor tunggal yang bisa membuat calon menang dalam pemilu. Elektabilitas, popularitas, restu ketua umum partai, dan modal harus saling beririsan. Faktor-faktor itu harus saling mendukung dan menunjang. Jokowi tidak akan bisa menjadi Walikota Solo, Gubernur Jakarta, dan Presiden bila tidak mendapat restu dari Megawati meski elektabilitasnya meroket, pun demikian Walikota Surabaya Tri Rismaharini.

Jalan panjang dan berliku inilah yang membuat mereka puas dan merasa lega setelah memenangi Pilkada. Untuk mensyukuri kemenangan itu tak heran bila para kepala daerah terpilih melakukan selebrasi kemenangan dengan berdandan cantik dan ganteng saat disahkan menjadi kepala daerah serta melakukan konvoi keliling kota.

 

Kalau kita lihat di berbagai media massa selepas pelantikan kepala daerah, terlihat wajah-wajah yang sumringah dari wajah para kepala daerah itu. Dalam foto yang beredar di media massa maupun media sosial, para kepala daerah itu terlihat ganteng, cantik, dan berkulit bersih terutama kepala daerah yang perempuan. Kegembiraan tidak hanya menghinggapi kepala daerah itu namun juga ada pada pasangannya. Lihat saja bagaimana istri Bupati Trenggalek, Jawa Timur. Sang bupati yang mempunyai istri seorang artis, Arumi Bachsin, juga terlihat sumringah bahkan saat pelantikan yang dilakukan di Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Arumi menjadi perhatian khusus sebelum dan sesudah pelantikan.

Ke-sumrigahan yang ada pada mereka tak hanya berada di ruang pelantikan. Saat diarak keliling kota atau berada di tengah para pendukungnya, para kepala daerah itu juga mengumbar senyum dan kegembiraan.

Kegembiraan yang menggurat di wajah mereka sebagai tanda puas dan lega juga terpancar saat diarak keliling kota dan di tengah pendukung. Selepas pelantikan para kepala daerah melakukan selebrasi kemenangan. Mereka merayakan kemenangan atas perjuangan yang telah dilakukan. Sebagai orang yang tujuannya tercapai, mereka berhak melakukan selebrasi.

Menjadi kepala daerah dengan cara pemilihan langsung, dipilih rakyat, bukan suatu yang mudah. Proses panjang harus mereka lalui. Sekarang seorang menjadi kepala daerah bukan seperti pada masa Orde Baru di mana pada masa itu seorang bisa menjadi bupati, walikota, dan  gubernur atas restu Presiden Soeharto. Jangan bermimpi akan menjadi kepala daerah bila tidak mendapat ijin dari Soeharto.

Jaman berubah sehingga restu-restuan seperti jaman dulu dianggap bukan jamannya lagi meski demikian restu dari ‘pusat’ masih tetap ada bahkan masih dibutuhkan seperti pada masa Orde Baru. Seorang yang hendak maju menjadi kepala daerah, biasanya restu dari ketua umum partai masih sangat menentukan.

Sosok ketua umum partai yang kuat, otoriter, dan disegani, sangat berpengaruh pada kebijakan yang dikeluarkan. Calon yang diunggah oleh PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat, mereka adalah calon-calon yang pastinya sudah direstui oleh Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Tanpa restu mereka jangan harap seseorang bisa maju dalam Pilkada lewat partai-partai itu. Seseorang perlu mendapat restu dari ketua umum partai sebab bila diusung oleh partai-partai itu, probalitas kemenangan akan bisa diraih sebab partai pengusung adalah bukan partai sembarangan, bukan partai yang harus berkoalisi besar-besaran dengan partai lain saat Pilkada.

  Selain soal restu, sosok yang hendak maju dalam Pilkada harus memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi. Sosok kepala daerah pada masa Orde Baru, biasanya masyarakat  tidak banyak yang tahu. Masyarakat biasanya tahu setelah diumumkan atau setelah kepala daerah itu dilantik. Kepala daerah pada masa lalu adalah drop-dropan dari pusat. Orang-orang pusat diturunkan ke daerah untuk dijadikan bupati, walikota, dan gubernur. Soal popularitas dan elektabilitas tidak menjadi penting sebab kepala daerah dipilih oleh DPRD dan DPRD pada masanya hanya sebagai legalitas dari kemauan penguasa.

Dalam era sekarang, siapa yang memenangi Pilkada bukan ditentukan karena seorang itu pintar, tokoh masyarakat atau tokoh agama namun karena elektabilitas dan popularitas. Tingkat keterpilihan pada seseorang bisa saja karena ia ganteng, cantik, rajin bekerja, dekat masyarakat, memilik kharisma, atau karena seperti disebutkan di atas, tokoh masyarakat dan atau tokoh agama. Pasha Ungu bisa terpilih menjadi Wakil Wali Kota Palu, Sulawesi Tengah, bukan karena ia tokoh di kota itu, bukan pula hidupnya dihabiskan di sana, namun karena faktor kegantengan (artis).

Untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas itu tidak bisa dibangun dalam waktu setahun namun memerlukan waktu yang sangat panjang. Masyarakat pasti curiga bila ada seseorang tiba-tiba merakyat, bersikap ramah, dan dermawan. Masyarakat pasti tahu bahwa sosok yang berperilaku mendadak baik itu mempunyai motif untuk dipilih. Menanggapi sosok yang demikian, masyarakat malah resisten atau menolak. Biasanya masyarakat memilih sosok yang tulus, ikhlas, dan natural.

Ada kabar seorang dokter di salah satu daerah yang memberi pengobatan gratis kepada masyarakat. Pengobatan gratis yang diberikan selama bertahun-tahun itu memberi citra yang baik kepadanya bahwa ia adalah seorang yang tulus dan ikhlas. Entah karena kemauan sendiri atau didukung oleh partai politik, dokter itu maju dalam Pilkada. Sebab dokter itu dianggap ikhlas dan tulus maka masyarakat memilihnya. Di sinilah menunjukkan bahwa perjalanan menjadi seorang kepala daerah memerlukan waktu yang panjang, tidak cukup satu tahun dalam persiapan.

Fenomena lain dari seseorang bisa menjadi kepala daerah adalah faktor uang meski hal ini bukan faktor penentu. Faktor uang atau yang lebih disebut money politic menjadi pelicin bagi calon kepala daerah untuk meraih kemenangan. Sikap masyarakat yang pragmatis biasanya akan menutup mata mereka dari calon-calon yang baik dan mumpuni. Masyarakat bersikap pragmatis disebabkan oleh mereka sudah lelah dalam berdemokrasi yang dianggapnya tak membawa perubahan, bisa pula karena faktor ekonomi (kemiskinan), sehingga mereka memilih saja apa yang bisa dirasakan saat itu, mendapat amplop sebelum coblosan.

Money politic ini diakui atau tidak adalah salah satu strategi pemenangan. Untuk menggunakan cara seperti ini tentu butuh modal besar. Dari sinilah maka banyak calon kepala daerah yang maju adalah dari kalangan orang yang berduit, apakah itu pengusaha, tuan tanah, atau kaya dari keturunan. Orang-orang inilah yang bisa menggelontor uang kepada masyarakat saat Pilkada.

Dari paparan di atas maka terlihat bahwa seseorang untuk bisa menjadi kepala daerah, ia harus menempuh perjalanan panjang dan berlika-liku. Tidak ada faktor tunggal yang bisa membuat calon menang dalam pemilu. Elektabilitas, popularitas, restu ketua umum partai, dan modal harus saling beririsan. Faktor-faktor itu harus saling mendukung dan menunjang. Jokowi tidak akan bisa menjadi Walikota Solo, Gubernur Jakarta, dan Presiden bila tidak mendapat restu dari Megawati meski elektabilitasnya meroket, pun demikian Walikota Surabaya Tri Rismaharini.

Jalan panjang dan berliku inilah yang membuat mereka puas dan merasa lega setelah memenangi Pilkada. Untuk mensyukuri kemenangan itu tak heran bila para kepala daerah terpilih melakukan selebrasi kemenangan dengan berdandan cantik dan ganteng saat disahkan menjadi kepala daerah serta melakukan konvoi keliling kota.

 

Kalau kita lihat di berbagai media massa selepas pelantikan kepala daerah, terlihat wajah-wajah yang sumringah dari wajah para kepala daerah itu. Dalam foto yang beredar di media massa maupun media sosial, para kepala daerah itu terlihat ganteng, cantik, dan berkulit bersih terutama kepala daerah yang perempuan. Kegembiraan tidak hanya menghinggapi kepala daerah itu namun juga ada pada pasangannya. Lihat saja bagaimana istri Bupati Trenggalek, Jawa Timur. Sang bupati yang mempunyai istri seorang artis, Arumi Bachsin, juga terlihat sumringah bahkan saat pelantikan yang dilakukan di Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Arumi menjadi perhatian khusus sebelum dan sesudah pelantikan.

Ke-sumrigahan yang ada pada mereka tak hanya berada di ruang pelantikan. Saat diarak keliling kota atau berada di tengah para pendukungnya, para kepala daerah itu juga mengumbar senyum dan kegembiraan.

Kegembiraan yang menggurat di wajah mereka sebagai tanda puas dan lega juga terpancar saat diarak keliling kota dan di tengah pendukung. Selepas pelantikan para kepala daerah melakukan selebrasi kemenangan. Mereka merayakan kemenangan atas perjuangan yang telah dilakukan. Sebagai orang yang tujuannya tercapai, mereka berhak melakukan selebrasi.

Menjadi kepala daerah dengan cara pemilihan langsung, dipilih rakyat, bukan suatu yang mudah. Proses panjang harus mereka lalui. Sekarang seorang menjadi kepala daerah bukan seperti pada masa Orde Baru di mana pada masa itu seorang bisa menjadi bupati, walikota, dan  gubernur atas restu Presiden Soeharto. Jangan bermimpi akan menjadi kepala daerah bila tidak mendapat ijin dari Soeharto.

Jaman berubah sehingga restu-restuan seperti jaman dulu dianggap bukan jamannya lagi meski demikian restu dari ‘pusat’ masih tetap ada bahkan masih dibutuhkan seperti pada masa Orde Baru. Seorang yang hendak maju menjadi kepala daerah, biasanya restu dari ketua umum partai masih sangat menentukan.

Sosok ketua umum partai yang kuat, otoriter, dan disegani, sangat berpengaruh pada kebijakan yang dikeluarkan. Calon yang diunggah oleh PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat, mereka adalah calon-calon yang pastinya sudah direstui oleh Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Tanpa restu mereka jangan harap seseorang bisa maju dalam Pilkada lewat partai-partai itu. Seseorang perlu mendapat restu dari ketua umum partai sebab bila diusung oleh partai-partai itu, probalitas kemenangan akan bisa diraih sebab partai pengusung adalah bukan partai sembarangan, bukan partai yang harus berkoalisi besar-besaran dengan partai lain saat Pilkada.

  Selain soal restu, sosok yang hendak maju dalam Pilkada harus memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi. Sosok kepala daerah pada masa Orde Baru, biasanya masyarakat  tidak banyak yang tahu. Masyarakat biasanya tahu setelah diumumkan atau setelah kepala daerah itu dilantik. Kepala daerah pada masa lalu adalah drop-dropan dari pusat. Orang-orang pusat diturunkan ke daerah untuk dijadikan bupati, walikota, dan gubernur. Soal popularitas dan elektabilitas tidak menjadi penting sebab kepala daerah dipilih oleh DPRD dan DPRD pada masanya hanya sebagai legalitas dari kemauan penguasa.

Dalam era sekarang, siapa yang memenangi Pilkada bukan ditentukan karena seorang itu pintar, tokoh masyarakat atau tokoh agama namun karena elektabilitas dan popularitas. Tingkat keterpilihan pada seseorang bisa saja karena ia ganteng, cantik, rajin bekerja, dekat masyarakat, memilik kharisma, atau karena seperti disebutkan di atas, tokoh masyarakat dan atau tokoh agama. Pasha Ungu bisa terpilih menjadi Wakil Wali Kota Palu, Sulawesi Tengah, bukan karena ia tokoh di kota itu, bukan pula hidupnya dihabiskan di sana, namun karena faktor kegantengan (artis).

Untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas itu tidak bisa dibangun dalam waktu setahun namun memerlukan waktu yang sangat panjang. Masyarakat pasti curiga bila ada seseorang tiba-tiba merakyat, bersikap ramah, dan dermawan. Masyarakat pasti tahu bahwa sosok yang berperilaku mendadak baik itu mempunyai motif untuk dipilih. Menanggapi sosok yang demikian, masyarakat malah resisten atau menolak. Biasanya masyarakat memilih sosok yang tulus, ikhlas, dan natural.

Ada kabar seorang dokter di salah satu daerah yang memberi pengobatan gratis kepada masyarakat. Pengobatan gratis yang diberikan selama bertahun-tahun itu memberi citra yang baik kepadanya bahwa ia adalah seorang yang tulus dan ikhlas. Entah karena kemauan sendiri atau didukung oleh partai politik, dokter itu maju dalam Pilkada. Sebab dokter itu dianggap ikhlas dan tulus maka masyarakat memilihnya. Di sinilah menunjukkan bahwa perjalanan menjadi seorang kepala daerah memerlukan waktu yang panjang, tidak cukup satu tahun dalam persiapan.

Fenomena lain dari seseorang bisa menjadi kepala daerah adalah faktor uang meski hal ini bukan faktor penentu. Faktor uang atau yang lebih disebut money politic menjadi pelicin bagi calon kepala daerah untuk meraih kemenangan. Sikap masyarakat yang pragmatis biasanya akan menutup mata mereka dari calon-calon yang baik dan mumpuni. Masyarakat bersikap pragmatis disebabkan oleh mereka sudah lelah dalam berdemokrasi yang dianggapnya tak membawa perubahan, bisa pula karena faktor ekonomi (kemiskinan), sehingga mereka memilih saja apa yang bisa dirasakan saat itu, mendapat amplop sebelum coblosan.

Money politic ini diakui atau tidak adalah salah satu strategi pemenangan. Untuk menggunakan cara seperti ini tentu butuh modal besar. Dari sinilah maka banyak calon kepala daerah yang maju adalah dari kalangan orang yang berduit, apakah itu pengusaha, tuan tanah, atau kaya dari keturunan. Orang-orang inilah yang bisa menggelontor uang kepada masyarakat saat Pilkada.

Dari paparan di atas maka terlihat bahwa seseorang untuk bisa menjadi kepala daerah, ia harus menempuh perjalanan panjang dan berlika-liku. Tidak ada faktor tunggal yang bisa membuat calon menang dalam pemilu. Elektabilitas, popularitas, restu ketua umum partai, dan modal harus saling beririsan. Faktor-faktor itu harus saling mendukung dan menunjang. Jokowi tidak akan bisa menjadi Walikota Solo, Gubernur Jakarta, dan Presiden bila tidak mendapat restu dari Megawati meski elektabilitasnya meroket, pun demikian Walikota Surabaya Tri Rismaharini.

Jalan panjang dan berliku inilah yang membuat mereka puas dan merasa lega setelah memenangi Pilkada. Untuk mensyukuri kemenangan itu tak heran bila para kepala daerah terpilih melakukan selebrasi kemenangan dengan berdandan cantik dan ganteng saat disahkan menjadi kepala daerah serta melakukan konvoi keliling kota.

 

Ikuti tulisan menarik Ardi Winangun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler