x

Iklan

Nanang Suryana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ayo Tulis dan Terbitkan Bukumu Sendiri

Ini tentang narasi kami mewujudkan mimpi dengan tangan sendiri. Ayo Tulis dan Terbitkan Bukumu Sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menulis adalah salah satu kegiatan aktif yang mampu menjadi media bagi kita guna menyampaikan pesan dan pandangan tentang realitas yang kita lihat, dengar, alami, dan hayati kepada orang lain. Lazimnya sebuah media, tulisan tak lebih dari sebuah jembatan yang menautkan pesan  yang hendak disampaikan penulis, dengan tafsiran pembaca akan sebuah makna dan maksud yang terkandung di dalamnya. Sehingga, sejatinya, dalam sebuah tulisan yang di publikasikan kepada khalayak luas, tercipta sebuah proses komunikasi yang saling mengayakan di antara penulis dan pembaca.

Karena menulis adalah sebuh proses komunikasi, tentu didalamnya terbentuk sebuah proses pemaknaan dan penafsiran. Sehingga, tak sedikit kita temui, banyak tulisan yang secara wujud berbentuk teks, ditafsir dan dimaknai beragam bergantung pada perspektif yang digunakan oleh si pembaca. Mencermati fenomena tersebut, banyak pemerhati dan pengamat dunia tulis-menulis, menganjurkan untuk membaca sebuah teks dengan melihat konteks yang ada didalamnya. Sehinga, sebuah tulisan menjadi lebih lengkap, hidup dan mampu berbicara dengan batasan dan ruang lingkup yang juga terukur secara jelas.   

Menulis tak ubahnya seperti menggubah rangkaian nada menjadi partitur lagu. Jika dalam sebuah lagu, susunan nada tercipta dari harmonisasi 7 (tujuh) tangga nada, menulis adalah sebuah kerja kreatif yang hampir mirip, namun dengan 26 (dua puluh enam) aksara sebagai medianya. Pemilihan diksi dalam tulisan, sama pentingnya dengan pemilihan kata dalam lirik lagu. Dengan pemakaian kosakata yang tepat, tulisan mampu berbicara lebih jelas dengan tendensi emosi dan tekanan rasa yang jauh lebih kentara. Oleh karena itu, tulisan sebagai bagian dari kerja sastra, dan lagu sebagai produk seni yang lain di aras musik, sebenarnya adalah sebuah produk kreatifitas yang kaya akan nilai-nilai humanis. Nyata sudahlah, menulis adalah sebuah kerja kebudayaan, yang mencirikan capaian keadaban dan tingkat peradaban manusia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tulisan ini tidak bermaksud mengelaborasi secara lebih jauh tentang alasan pentingnya sebuah kegiatan menulis. Tanpa secara eksplisit disebutkan pun, pembaca pasti sudah mampu untuk menakar dan memberikan alasannya sendiri, terkait dengan penting dan bergunanya kebiasaan menulis. Tulisan ini hadir dengan maksud menjadi sarana berbagi pengalaman, terkait dengan proses belajar dan ketertarikan penulis, yang memang sedang menekuni dunia tulis-menulis akhir-akhir ini. Minat dan ketertarikan penulis tersebut, bermuara pada sebuah buku sederhana yang penulis susun bersama dengan Hanifah. Buku yang berisi catatan perjalanan kami (penulis dan Hanifah), kami terbitkan secara mandiri. Buku yang diterbitkan secara mandiri adalah sebuah buku yang tidak menggunakan fasilitasi penerbit major dalam proses penerbitannya. Keberanian kami menulis, menyusun, sampai dengan menerbitan sendiri, di latar belakangi oleh sebuah nilai yang sama-sama kami percaya: menulis adalah upaya kita untuk sama-sama mampu berdialog dan belajar mengenal diri secara lebih jujur. Akhirnya, dengan keberanian dan kenekatan, ditengah keterbatasan dan banyaknya kekurangan, “Parasamastra” lahir dari rahim kerja kreatif kami membingkai sebuah hubungan perasaan, menjadi produk yang mampu kami kenang kelak nantinya.

 

Paramasastra

Paramasastra adalah judul yang kami berikan pada buku kami. Secara bahasa, Paramasastra dapat di terjemahkan menjadi “tata bahasa”. Paramasastra diambil dari Bahasa Jawa yang kami anggap sebagai bagian dari budaya Indonesia, yang cukup memberikan warna dan perspekif kepada banyak sisi kehidupan Indonesia modern hari ini. Kebudayaan Jawa merupakan sebuah kebudayaan luhur yang sudah melembaga dan menjadi “budaya mayoritas”, ditengah terpusatnya segala macam aktifitas manusia Indonesia di pulau Jawa. Dengan keluhuran dan kedalaman arti yang di milikinya, Paramasastra berupaya menjiwai semangat yang sama dalam urusan menata rasa.

Sebagai sebuah produk kolektif, Paramasastra yang notabene adalah sebuah buku sederhana, digarap dengan rentang waktu yang agak cukup lama. Lebih dari setahun kami menunda menyelesaikan buku ini karena alasan kesibukan dan banyak pertimbangan lainnya. Selain itu, karena tulisan di dalamnya merupakan pengalaman pribadi yang sama kami rasakan, ada sebuah keraguan dan ketakutan akan mengurangi otentisitas makna dalam proses perbaikan naskah (editing) yang coba kami dan seorang kawan lakukan. Oleh karena itu, calon penikmat Paramasastra yang sudah membeli dengan cara memesan terlebih dahulu (pre order), harus rela sedikit menunggu lebih lama, guna bisa membaca Paramasatra dalam genggamannya.

Ide menerbitkan Paramasastra sebenarnya berawal dari ketidaksengajaan. Kami yang kala itu baru berkomitmen menjalin hubungan, berpikir tentang sebuah produk kreatifitas yang bisa kami buat guna menjadi tanda produktifitas kami sebagai pasangan. Terbersit tentang kebiasaan kami menuangkan perasaan dalam lembaran kisah di blog pribadi kami masing-masing, akhirnya keinginan untuk sama-sama membukukannya mendapat respon yang sama-sama mengiyakan. Dengan niat awal di cetak untuk kami berikan pada beberapa sahabat terdekat, tak dinyana ternyata Paramasastra mendapat perhatian sahabat kami yang lain secara lebih luas. Akhirnya, guna memenuhi segala pertanyaan dan rasa penasaran sahabat-sahabat kami, Paramasastra lahir sebagai jawaban dan butir kerinduan pada apa yang disebut sebagai jejak kenangan.

Diatas segala perhatian dan dukungan sahabat-sahabat kami pada Paramasastra, melalui Paramasastra kami belajar banyak tentang betapa penting dan mahalnya sebuah apresiasi. Kami yakin, tak sedikit dari mereka yang memesan dan membaca buku kami, bukan semata tertarik pada cerita di dalamnya. Namun, ada sebuah niat tulus untuk mengapresiasi kerja sahabatnya, yang sudah memberanikan diri menjadi bagian dari kerja meneruskan tradisi literasi, sebagai bagian dari warisan peradaban negeri. Untuk yang satu itu, kami haturkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya pada kalian.

Melalui Paramasatra kami sadar sesadar-sadarnya, Paramasastra belum layak disebut karya bermutu tinggi yang pantas untuk diulas dan menjadi rujukan genre penulisan yang sama. Namun, dengan Paramasastra kami merasa jauh lebih “ada”, bersama kalian sebagai bagian di dalamnya.  Dukungan dan apresiasi sahabat sekalian, adalah nyala terang ditengah gelapnya jalan kami menerobos misteri di setiap sisi kehidupan. Terimakasih sudah sedia membaca, aku tunggu tulisanmu untuk aku baca dan kita khidmati bersama.

Dari dinginnya malam Kota Bandung, aku berdoa agar Tuhan membalas kebaikan kalian dengan segera. Semoga.[]  

Ikuti tulisan menarik Nanang Suryana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler