x

Pulau Reklamasi Menggiurkan Bisnis Properti

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK: Stop Reklamasi Itu Konstitusional - Riza Damanik

Reklamasi akan menimbulkan tiga dampak utama, yaitu sedimentasi, eutrofikasi, dan penumpukan logam berat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konstitusi Republik Indonesia mengisyaratkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tidak terkecuali bagi 17 ribu keluarga nelayan di Teluk Jakarta. Berangkat dari sejarah panjang proyek reklamasi di Teluk Jakarta, frasa "sebesar-besar kemakmuran rakyat" kerap disimplifikasi sebatas urusan kewenangan pemerintah pusat dan daerah mengeluarkan izin kepada pengembang, memungut pajak, dan menggunakan pajak swasta untuk pembangunan. Faktanya, asumsi ini berkali-kali gagal mengantarkan proyek reklamasi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

 

Mahkamah Konstitusi, pada 16 Juni 2011, membatalkan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Mahkamah menjelaskan empat tolok ukur "sebesar-besar kemakmuran rakyat", yakni kemanfaatan sumber daya alam (SDA) bagi rakyat, tingkat pemerataan manfaat SDA bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat SDA, serta penghormatan hak rakyat secara turun- temurun dalam memanfaatkan SDA.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Itulah sebabnya, penolakan nelayan terhadap proyek reklamasi Teluk Jakarta bukan sekadar urusan administratif-prosedural yang dapat diselesaikan dengan menambal-sulam dokumen perizinan reklamasi. Ini menyangkut hak konstitusional setiap warga untuk mendapat kehidupan dan penghidupan yang layak, lingkungan perairan yang bersih dan sehat, bahkan hak untuk turut serta memutuskan prioritas pembangunan kotanya.

 

Pada tingkat operasional, masalah konstitusionalitas proyek reklamasi berlabuh pada tiga soal. Pertama, menggusur dan memiskinkan nelayan. Bagi keluarga nelayan, perairan teluk dan laut ibarat "sawah" bagi petani. Memastikan luas daerah penangkapan ikan tidak berkurang sangatlah penting, sama pentingnya dengan menjaga kualitas perairan agar bersih dan sehat.

 

Reklamasi Teluk Jakarta, misalnya, menimbun ribuan hektare "sawah nelayan" di lokasi reklamasi dan ribuan hektare lainnya di lokasi tempat asal material urukan. Celakanya lagi, pemerintah justru tidak menyegerakan penegakan hukum untuk menghentikan pencemaran di sana, melainkan malah memperparah kerusakan lingkungan dengan melanjutkan proyek reklamasi 17 pulau baru.

 

Reklamasi akan menimbulkan tiga dampak utama, yaitu sedimentasi, eutrofikasi, dan penumpukan logam berat (Koropitan, 2015). Penelitian berbeda yang pernah saya lakukan di Demak, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa tingginya tingkat sedimentasi akan mengganggu sekurang-kurangnya lima indikator kunci kesuburan perairan untuk biota laut: kecerahan dan kekeruhan, padatan tersuspensi, warna, bau, dan suhu.

 

Kedua, proyek reklamasi tidak demokratis dan manipulatif. Masyarakat nelayan tidak pernah diajak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan proyek tersebut. Dalam persidangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara soal pembatalan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, terungkap bahwa tanda tangan warga telah disalahgunakan untuk seolah-olah menyetujui amdal proyek reklamasi di Pulau G.

 

Terakhir, ketidakpatuhan hukum. Tidaklah benar anggapan bahwa polemik reklamasi disebabkan oleh perbedaan tafsir hukum antara pemerintah pusat dan daerah. Justru ini lebih disebabkan oleh rendahnya kepatuhan penyelenggara negara mengikuti perkembangan peraturan perundangan. Meski izin pelaksanaan reklamasi Pulau G ditandatangani Gubernur DKI pada 23 Desember 2014, kenyataannya SK Gubernur tersebut tidak memasukkan peraturan perundangan yang telah disahkan, seperti UU Nomor 27 Tahun 2007 juncto Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang disahkan pada 17 Juli 2007.

 

Keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komisi IV DPR, serta Wakil Presiden untuk menghentikan sementara proyek reklamasi di Teluk Jakarta bersifat konstitusional dan dapat menjadi pintu masuk untuk mengakhiri polemik proyek reklamasi. Selanjutnya adalah melunasi tugas konstitusi. Pertama, penegakan hukum lingkungan untuk memulihkan hak-hak nelayan yang sejalan dengan upaya pencegahan serta penghentian pencemaran Teluk Jakarta. Kedua, memperkuat partisipasi masyarakat nelayan dalam agenda pembangunan Jakarta sebagai kota pantai yang adil, sehat, dan beradab. Prioritas ini dapat disinergikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, yakni mempercepat kepastian hak atas tanah serta perbaikan sanitasi lingkungan dan permukiman nelayan.

 

Kekuatan 17 ribu keluarga nelayan Teluk Jakarta harus dikembalikan sebagai solusi membangun Kota Jakarta. Dengan demikian, Ibu Kota akan menjadi teladan bagi pembangunan kota-kota pantai di Indonesia.

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Selasa, 19 April 2016 dengan judul "Konstitusionalitas Penghentian Reklamasi".

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu