Yang sedang menjadi perdebatan panjang publik sekarang ini adalah tentang Reklamasi Pantai di Teluk Jakarta. Baru-baru ini Mentri Susi Pujiastuti selaku pemerintah pusat memberhentikan sementara proyek reklamasi pantai. Ada pro kontra tentang proyek tersebut yang membuat publik terbelah. Pada satu sisi banyak warga di sekitar pantai keberatan dengan proyek reklamasi yang hanya menguntungkan pengembang besar, masyarakat nelayan, pedagang kecil, warga yang sudah lama tinggal di situ merasa ada ketidakadilan menyangkut proyek yang diklaim sudah terlindungi oleh perpres Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Jakarta. Sisi Lainnya menganggap pro kontra reklamasi hanya permainan politik di mana banyak tokoh politik sedang berusaha mencari titik lemah Ahok(terkait PIlkada DKI Jakarta 2017).
Klaim Basuki Tjahaya Purnama Alias Ahok untuk tetap meneruskan proyek diperkuat lagi setelah ada Pembaharuan peraturan tahun 2008 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 26 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Sementara mengapa Mentri Kelautan dan perikanan menghentikan sementara Proyek Reklamasi karena menurutnya Pemerintah DKI masih serampangan dalam menanggapi pertimbangan dari pihak Amdal(Analisis terhadap dampak Lingkungan) yang mengatur 40 persen dari reklamasi diperuntukkan untuk fasilitas umum.
Menurut opini penulis, pro kontra reklamasi karena banyaknya para pihak yang campur tangan seakan-akan mereka berkepentingan dan bertanggungjawab terhadap mata pencaharian. Padahal menurut diskusi intensif tanpa melibatkan kepentingan politik dalam hal ini keberadaan pantai Jakarta sebetulnya tidak menguntungkan nelayan lagi. Analisis dampak lingkunganpun sebetulnya sudah merekomendasikan bahwa Reklamasi pantai dan pembentukan pulau D bisa dilakukan karena lingkungan pantai sudah tercemar. Masyarakat nelayan mencari ikan di luar pulau dan pantai yang disengketakan. Pantai dan laut yang tercemar tentu saja tidak akan memberi dampak keuntungan terhadap nelayan dan reklamasi pantai sah adanya. Tapi banyak LSM, atau orang-orang politik berkepentingan untuk meramaikan isu-isu seputar reklamasi sehingga dampaknya kepada publik akhirnya membuat warga dan masyarakat terbelah dalam beberapa kepentingan.
Kekuasaan tentang reklamasi sejak dulu sudah dilimpahkan kepada pemerintah DKI, tapi dengan banyaknya media sosial, portal-portal berita yang memberitakan dengan tidak berimbang maka reklamasi pantai itu akhirnya bergulir menjadi bola panas dan menjadi isu nasional.
Reklamasi pantai teluk Jakarta menjadi perbincangan ramai sejak ditangkapnya M Sanusi (Anggota DPRD Jakarta dari Gerindra) yang tertangkap tangan oleh KPK telah menerima suap dari Presiden Direktur Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja selaku pengembang pulau D di sekitar Pantai Indah Kapuk. Besarannya sekitar 1,14 Milliar dari akumulasi 2 Milliar yang sudah diterima sebelumnya untuk menggulirkan Perda tentang reklamasi. Ini menyangkut keamanan bisnis dari pengembang yang sering menabrak undang-undang tentang perizinan mendirikan bangunan terutama kawasan bisnis.
Isu Reklamasi pantai hendaknya tidak digiring dalam zona politik. Sebab semua orang tahu bahwa jika politik telah berbicara tidak ada lagi informasi yang berimbang. Dengan melibatkan politisi tentu akan ada kepentingan terselubung yang membuat masalah menjadi lebih rumit. Sudah diketahui secara umum dalam Perpu No 52 tahun 1995 bahwa wewenang reklamasi diserahkan ke pemerintah DKI. Biarlah Pemerintah DKI yang memutuskan keberadaan Teluk Jakarta. Jangan ditunggangi oleh penggiringan opini publik yang membuat kontestasi Pilkada Jakarta tambah memanas. Semua pihak harus bisa menahan diri. Berpikir lebih jernih agar persoalan tidak melebar terlalu jauh.
Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.