x

Iklan

Wiwin Suwandi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Makassar (Juga) Menggugat Reklamasi

Hal mendasar yang membedakan negara hukum (rechstaat) dengan negara kekuasaan (machstaat) itu terletak pada "kiblat" yang dipakai. Jika praktik negara hukum berkiblat kepada hukum (positif), maka praktik negara kekuasaan semata-mata berkiblat pada kekuasa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hal mendasar yang membedakan negara hukum (rechstaat) dengan negara kekuasaan (machstaat) itu terletak pada "kiblat" yang dipakai. Jika praktik negara hukum berkiblat kepada hukum (positif), maka praktik negara kekuasaan semata-mata berkiblat pada kekuasaan semata. Penyalahgunaan kekuasaan dalam negara hukum dapat dicegah dan diminimalisir karena memiliki hukum sebagai piranti untuk mencegah dan menindak. Namun hal itu tidak berlaku di negara kekuasaan yang cenderung menggunakan kuasa politik dan monopoli kewenangan dalam menjalankan kekuasaan, tanpa ada instrumen hukum sebagai alat/piranti yang membatasi penyalahgunaan dan monopoli kekuasaan itu. Dalam negara kekuasaan, "Negara adalah manifestasi (wujud) dari penguasanya". Ungkapan  "L'État c'est moi" ("Negara adalah saya") yang dikatakan Raja Louis XIV dari perancis adalah simbol dari negara kekuasaan (absolut). Hal mana pernah kita alami saat Soeharto berkuasa pada rezim Orde Baru (Orba).

Dalam konsepsi negara hukum, penyelenggara negara; dari Pusat maupun Daerah itu patuh terhadap hukum. Hukum dalam hal ini adalah undang-undang, karena jabatannya melekat pada undang-undang dan diikat oleh undang-undang. Membuat kebijakan yang melenceng dari peraturan perundang-undangan berarti menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) dan termasuk perbuatan melawan hukum dalam teori pidana. Jabatan penyelenggara negara dalam negara hukum tidak bisa dipahami sebagai kekuasaan tunggal yang tidak terikat oleh hukum. Tidak boleh seorang penyelenggara negara dalam negara hukum menggunakan doktrin Raja Louis XIV dari Perancis tersebut, bahwa "jabatan ini adalah saya, dan saya adalah jabatan itu." Dalam pandangan Logeman (1948), jabatan dijalankan secara pribadi sebagai wakil dalam kedudukan demikian dan berbuat atas nama jabatan, yang disebut pemangku jabatan." (Makkatutu dan Pangkerego, 1975).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sehingga setiap kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara tidak boleh melanggar hukum, apalagi mengandung unsur konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Asbabun nuzul lahirnya UU AP karena maraknya praktik abuse of power yang dilakukan penyelenggara negara, salah satunya dalam wewenangnya menerbitkan izin. UU AP mewakili semangat restorasi praktik birokrasi yang berpegang pada asas umum pemerintahan yang baik (AUPB/Algemene Beginzedvan Behoulijk Bestures/General Prinsiple Of Good Administration) 

Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap anggota DPRD DKI Jakarta terkait suap Ranperda reklamasi pantai utara Jakarta menguak berbagai fakta penyimpangan hukum terkait reklamasi. Mulai dari berbagai izin yang tidak lengkap, hingga modus korupsi legislasi melalui Ranperda yang diungkap KPK dalam OTT. Meski kasus tersebut kemudian melahirkan moratorium penghentian sementara reklamasi di pantai Jakarta, namun hal tersebut hanya berlaku di Jakarta, tidak bagi daerah lain yang juga memperjuangkan penolakan reklamasi.

Makassar salah satunya. Reklamasi pantai di pesisir pantai Makassar yang dilakukan sejumlah perusahaan nyata melanggar berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum reklamasi. Diantaranya UU PPLH, UU PW3K, serta peraturan turunannya seperti Perpres No. 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, dan  Peraturan Menteri kelautan dan perikanan nomor 17 tahun 2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Sebutlah salah satunya dalam pembangunan megaproyek Center Point of Indonesia (CPI). Surat Izin Gubernur Sulsel No:644/6273/TARKIM tertanggal 1 November 2013 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi pada Kawasan Pusat Bisnis Terpadu Indonesia di Provinsi Sulsel sebagai kawasan Strategis Provinsi dipandang mengabaikan sejumlah peraturan perUUan sebagai payung hukumnya.

Berdasarkan UU Pemda No 23 Tahun 2014, kawasan reklamasi seluas 157,23 ha berada dalam 4 (empat) Mil wilayah Laut yang diukur dari garis pantai losari. Dengan demikian, secara ruang lingkup kompotensi relatif kewenangan jabatan, pemberian izin pelaksanaan reklamasi diluar wilayah lingkup kewenangan hak Gub Sulsel, melainkan wilayah lingkup kewenangan Walikota Makassar (lihat Pasal 6 dan Pasal 7). Sehingga dengan demikian Surat Izin Gubernur tersebut mengandung cacat formil dan materil.  Hal ini dikuatkan dengan SK Walikota Makassar tanggal 27 februari 2009, jika penetapan lokasi CPI masuk lingkup wilayah kewenangan Pemkot Makassar.

Kedua, Izin Lokasi Reklamasi yang seharusnya menjadi dasar penerbitan Surat Izin Gubernur tersebut tidak pernah mendapatkan Rekomendasi Menteri Kelautan dan Perikanan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) Peraturan Menteri kelautan dan perikanan nomor 17 tahun 2013 “Izin Lokasi Reklamasi dengan luasan diatas 25 (dua puluh lima) hektar harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri”, sementara luas wilayah reklamasi sebagaimana disebutkan dalam KTUN Objek sengketa adalah seluas 157,23 Ha.

Dari segi dokumen AMDAL juga bermasalah. Seyogianya penerbitan Surat Izin Gubernur tersebut wajib terlebih dahulu memiliki AMDAL sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang LH No. 32/2009. Namun faktanya AMDAL yang dijadikan dasar penerbitan Surat Izin Gubernur tersebut tidak memenuhi prosedur penyusunan Amdal sebagaimana disyaratkan dalam UU, termasuk PP No 27/2012 tentang Izin Lingkungan (lihat pasal 9).

Ketiga, Izin Kelayakan Lingkungan Hidup yang menjadi dasar terbitnya Surat Izin Gubernur dianggap telah kadaluarsa. Izin Kelayakan Lingkungan Hidup tersebut terbit pada tanggal 24 Mei 2010 dengan Nomor Keputusan 660.2/546/Kep/BLHD/V/2010 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana pembangunan kawasan CPI. Sementara pelaksanaan kegiatan sebagaimana tanggal terbitnya Surat Izin tersebut adalah tanggal 1 November 2013. Dengan demikian, penerbitan Surat Izin telah lewat waktu dikarenakan Izin kelayakan Lingkungan hidup telah daluarsa dan untuk itu harus memerlukan perubahan terlebih dahulu. Hal ini telah tegas diatur dalam Pasal 50 Ayat (2)  huruf e PP No:27 tahun 2012 tentang izin lingkungan.

Sehingga tindakan Pemprov Sulsel dalam penerbitan Surat Izin Gubernur tersebut dianggap bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat 2 poin b UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN. serta UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Kondisi demikian menyiratkan proyek CPI sarat korupsi jika menilik pada Pasal 3 UU Tipikor terkait frasa “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Data ACC, sejak 2009, anggaran yang telah dikeluarkan dari APBD Sulsel untuk membiayai Proyek CPI sudah berkisar ratusan miliar. Padahal awalnya proyek ini diklaim menggunakan cost sharing APBN-APBD dengan skema multiyears melalui APBN. Akan tetapi, Pemprov Sulsel kemudian menggandeng investor dengan pembagian hasil yang sangat tidak menguntungkan.  Dalam perjanjian kerjasama antara Pemprov Sulsel dengan investor, investor mereklamasi lahan seluas 157 Ha. Investor mengelola lahan seluas 102 hektare untuk keperluan komersial dan pembangunan kawasan bisnis terpadu. Sisa lahan 52 ha akan dikelola Pemprov Sulsel.

Dalam tafsir Tipikor, memberikan lahan negara kepada investor dengan pembagian yang sangat tidak menguntungkan adalah Korupsi karena merugikan negara. Pasal 33 UUD 1945 memberikan hak “menguasai SDA” kepada negara. Akan tetapi, pola kerjasama Pemprov dengan investor cenderung lebih menguntungkan investor ketimbang negara. Hitung-hitungan kerugian negara ini merujuk pada frasa “dapat” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor itu bisa dimaknai “berpotensi” merugikan negara. Jika melihat skema kerjasamanya, hal ini jelas telah merugikan negara.

Wiwin Suwandi, pegiat antikorupsi di ACC Sulawesi (http://www.acc-sulawesi.or.id/)

*) Artikel ini diramu dari hasil kajian Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar dimana ACC Sulawesi tergabung di dalamnya.

Ikuti tulisan menarik Wiwin Suwandi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB