x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agama, Sang Kisah Abadi

Masa puasa bisa menjadi saat kontemplasi yang optimal. Jika terjadi kontemplasi, puasa akan sampai kepada agama – sang pendasar puasa - pada intisarinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: elena-elvareza.blogspot.com)

 

Hari-hari ini puasa ramai dikupas. Pendasar puasa adalah agama. Maka masa puasa bisa menjadi saat-saat kontemplasi yang optimal. Jika sungguh terjadi kontemplasi, puasa akan sampai kepada agama – sang pendasar puasa - pada intisarinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Ketika puasa dalam rangka agama berlangsung di Indonesia, ritual itu di garis terdepan bertemu bhinneka tunggal ika, pedoman puncak hidup berbangsa bernegara. Jika pertemuan itu oke tanpa masalah, banyak agama dan banyak faham hidup di negara kita berhak hidup merdeka. Itu terjadi jika semua pemeluknya saling hormat membawa manfaat bagi semua pihak. Ini berlaku terus di mana saja di Indonesia, tiap saat, tak terikat kalender momentum apapun.

 

Itu idealnya. Tapi yang ideal itu tidak ada. Minimal, belum ada karena sukar ada.

 

Dalam hidup nyata, konflik karena agama dalam sejarah negara kita selalu ada. Konflik ini benar-benar karena soal dogma agama, bukan karena manipulasi politik, sosial, budaya, ekonomi, pribadi, dll sejenis itu. Konflik-konflik  itu datang dan pergi, sejak dulu sampai hari ini. Celakanya, semakin ke sini konflik-konflik tersebut muncul semakin jelas, semakin vulgar, dan semakin norak.

 

Dibandingkan zaman Pergerakan Nasional awal abad XX yang “praktis selesai” dalam pluriformitas, zaman kita sekarang ini primitif. Zaman primitif  dalam pluriformitas terjadi  karena "kemenangan" kaum nalar sempit yang melahirkan budaya mabuk dan sibuk agama berdasar fanatisme keras. Contohnya banyak sekali. Bisa ditelusuri di google dan semua mesin pencari info lainnya.

 

Artinya, di Indonesia masa kini, ihwal perkara agama menjadi pekerjaan rumah amat raksasa yang amat sukar. Pasalnya,  hal yang mulia dalam agama-agama (berkat, rahmat, kedamaian, kebahagiaan, cinta, surga, keselamatan) dan hal-hal yang mengerikan (setan, neraka, dosa, kafir, sesat, hukuman kekal) pada ujungnya hanyalah kata-kata, cerita, ide dan ide lagi: Sang Kisah Abadi.

 

Agama sebagai Kisah Abadi mengusung segala hal dalam agama-agama termasuk kitab-kitab sucinya. Di dalam kitab suci semua agama selalu termuat  pesan yang benar-baik-rasional dan salah-buruk-irasional. Manusia berakalbudi akan selalu hati-hati menyikapi semua pesan. Mereka hanya akan memilih pesan yang benar-baik-rasional untuk kepentingan kemanusiaan dalam hidup sehari-hari. Dengan dasar ini, manusia bijak akan sampai ke hakikat agamanya sendiri. Butir-butirnya banyak sekali. Terpenting, sepuluh pesan inti berikut.

 

Pertama, agama bukan hanya soal ritual-dogma-tradisi dengan segala ikutannya. Di tempat pertama agama adalah ruang di mana manusia mampu merenungkan apakah hidupnya  bermanfaat  bagi sesama. Agama adalah tentang berbagi nilai-nilai yang baik untuk tetangga kita dan khususnya untuk, berdasar dari, semua anggota keluarga kita sendiri ketika mencintai dan membantu satu sama lain selalu tersedia. Dengan demikian, agama adalah oase umat manusia ketika beban perasaannya menjadi tambah berat karena nyaris tiap hari menjumpai kedunguan dan kebuasan kaum yang justru amat sibuk dan amat heboh beragama.

 

Kedua, pesan keselamatan di banyak agama selalu berdasar cara sederhana dan rendah hati. Dengan ini, diharapkan penderitaan sebagai bagian keniscayaan tugas manusia bisa diterima dengan sukacita dan pasrah, sehingga tanda-tanda kebajikan manusia dapat mewujud nyata. Tanda terpenting wujud kebajikan adalah damai. Ini bukan sekedar absennya konflik. Damai adalah stabilitas. Pekerjaan,  kesehatan, perumahan, hubungan pribadi, lingkungan politik dan ekonomi yang stabil diinginkan semua orang di dunia. Demi inilah mengapa agama ada.

 

Ketiga, penderitaan manusia sebagai bagian kesederhanaan, kerendah-hatian, dan pengharapan dari agama adalah dasar kerohanian manusia. Namun korelasi antar unsur duniawi – termasuk antarmanusia - yang negatif membuat dasar kerohanian ini redup, gelap, dan mati. Yang mati ini harus dihidupkan lagi oleh para pemeluk agama sendiri, dengan iman.  Dari konteks ini, maka agama adalah himpunan manusia yang mengungkapkan spiritualitas (mindset, sikap pikir, iman, faham hidup, dll)  yang sama.

 

Keempat, dengan tiga wacana di atas, agama tercerahkan dan kembali ke fitrah kebenaran dan kebaikannya. Di sini secara ontologis tersedia dua pesan mulia. (a) Yang negatif-gelap-kacau di dunia nyata dipeluk sebagai subjek refleksi bagian kita sendiri,  bukan sebagai objek atau musuh. (b) Segala hal negatif sebagai konfrontasi diubah menjadi sarana, menuju ke arah peradaban yang santun. Ini sukar sekali.  Dunia nyata yang kita hidupi adalah deret panjang neraka dunia ketika perang, perkosaan, teror-meneror, kerakusan ekonomi, gangguan bunyi pengeras suara yang memuakkan, pemaksaan ketaatan anti nalar, dll sejenis itu bukan hanya menjadi hidup sehari-hari, melainkan merajalela dominan.

 

Kelima, agama yang tercerahkan sebagai Sang Kisah Abadi adalah korelasi dinamis dialektis antara rasio dengan emosi yang menginformasikan tentang ambuguitas nilai apapun di dunia (logika sebab akibat):  tidak ada jiwa tanpa raga, tidak ada wahyu tanpa iman, tidak ada agama tanpa penganut, tidak ada bahagia tanpa derita, tidak ada dampak tanpa penyebab, dll. Berdasar logika sebab akibat inilah agama akan mampu menunjukkan kesuciannya dengan hasil konkret ialah  semakin memanusiakan manusia menjadi manusia yang manusiawi.

 

Keenam, agama sebagai entitas suci di masa kini adalah bagian juang panjang agama-agama selama berabad-abad, dengan kekuatan watak eskatologis dan spiritualnya bersama seluruh kelemahan watak duniawinya. Di sini agama telah coba memberikan bentuk kehidupan baru lewat tokoh-tokoh sucinya, ajarannya, dan apa saja, sebagai tanda-tanda yang mewakili Tuhan peduli manusia dan dunia dan bahwa Solidaritas-Nya kepada kehidupan semesta adalah nyata. Melalui ini, diharapkan pengikut-Nya  dapat saling mencinta satu sama lain: kaya dan miskin saling cinta, bawah dan atas saling dukung, yang gembira menghibur yang sedih.

 

Ketujuh, bagian agama-agama sebagai Sang Kisah Abadi adalah umat kristiani. Salah satu alat telusur dunia kristen adalah sastra gereja. Jumlahnya  banyak. Salah satunya, narasi Sang Insan Eksistensial dari dan demi dunia. Di sini dikisahkan tentang eksistensi alpha-omega: Sabda menjadi Daging berkat Roh Kudus, untuk mendistribusikan harapan yang limpah ruah secara cuma-cuma. Itulah wujud nyata partisipasi paling intim dari Sabda menjadi Daging yang bersifat adikodati dan ilahi kepada umat manusia dan dunia. Dengan cara itu dan ditopang logika sebab akibat, terjadi tanggapan timbal balik, manusia dan dunia bisa ambil bagian dalam sifat adikodrati dan keilahian-Nya. Ini, dengan dasar akal budi masyarakat atau umat penerima, diterima sebagai iman = cinta = harapan.

 

Kedelapan, di era globalisasi komunikasi, agama adalah undangan untuk kembali ke dasar kemanusiaan ketika teknologi wahyu, elektronika iman, sibernetika  teologi bersama seluruh dampaknya yang profan dan virtual acapkali tunduk  di depan politik dan ekonomi (kekuasaan dan uang sebagai tuhan). Di sini hal salah dan buruk merajalela dengan hal-hal semu spektakuler, mengasingkan manusia dari kesejatian diri dan nilainya yang sakral, benar, baik, dan nyata. Jadi, agama sebagai Kisah Abadi di era informasi adalah undangan untuk kembali ke kesejatian kenyataan. Ia menunjukkan apa saja secara apa adanya dengan cahaya murni yang berasal dari kehidupan baru. Hidup dari, di dalam, dan demi Tuhan yang dengan serta merta  memberikan kepada manusia kemungkinan yang tak terbatas.

 

Kesembilan, agama sebagai Sang Kisah Abadi pada azasnya adalah  agama yang benar dan baik  untuk kehidupan manusia.  Ia mengilhami manusia apapun gender seksualitasnya untuk menjadi saudara dan teman, sebab semua manusia pada dasarnya sama. Hal ini terjadi jika iman tidak terpuruk menjadi  "iman" karena dipenjara oleh irasionalitas dalam doktrin, aturan, dan dogma-dogma  yang beku. “Iman” ini tidak mampu menghadapi tantangan dan perubahan zaman yang multi-kompleks, lalu main mekanisme defensif yang selalu kasar, norak, dan mengacau akal sehat. “Iman” jenis ini akan merusak nilai mulia agama itu sendiri.

 

Kesepuluh, berdasar  9 wacana di atas, dengan semangat kemanusiaan (agama ada untuk kepentingan manusia dan bukan sebaliknya), para pengikut agama-agama akan tercerahkan ketika sifat, sikap dan tindakan mereka dalam hidup sehari-hari menjadi lebih akomodatif dan membebaskan katimbang memaksa dan mengancam. Mereka tidak memecah-belah tetapi menampung kemajemukan manusia bersama seluruh ambiguitasnya:  otonomi-korelasi, raga-jiwa, pikiran-naluri, alami-supranatural, dan spiritual-materialnya. Mereka memerdekakan katimbang membatasi.  Dengan semua ini, kebenaran dan kebaikan akan kesucian agama menjadi nyata dalam hidup sehari-hari.

 

Gunung Merbabu, Juni 2016

 

*****

 

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler