x

Iklan

Ayu Lestari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Garam Impor dan Tangisan Para Pejabat

Jangan jadikan isu impor hanya untuk mendulang simpati masyarakat, tetapi tidak memiliki aksi konkrit untuk memecahkan masalah yang dihadapi petani garam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Isu garam impor kembali ramai diperbincangkan. Ditemukannya 30 ribu ton garam impor di Pelabuhan Cirebon beberapa waktu lalu, mendapat komentar beragam dari para pejabat Negeri ini. Mulai anggota legislatif, wakil gubernur, bupati hingga kepala dinas. Sebagian merasa sedih, dan lainnya menilai petani dirugikan.

Persoalannya bukan nasionalisme. Sebagai orang Indonesia, tentu saya ingin masyarakat dapat keadilan pembangunan—tidak terlepas rakyat kita di pesisir. Jika mumpuni Indonesia harus lepas dari ketergantuangan impor garam. Pertanyakan saya, seberapa besar kemauanpejabat-pejabat itu membenahi sektor penggaraman? Jangan jadikan isu impor hanya untuk mendulang simpati masyarakat, tetapi tidak memiliki aksi konkrit untuk memecahkan masalah yang dihadapi petani garam.

Perlu diketahui, masuknya garam impor di Cirebon sebenarnya tak akan mengganggu garam lokal yang banyak diproduksi di wilayah tersebut. Pasalnya, yang dimpor bukan garam kosumsi, akan tetapi garam industri. Kedua jenis garam tersbut sangat berbeda dalam kandungan Naclnya. Untuk garam industri Naclnya harus  97 persen, sedangkan garam lokal baru berada di angka 90 persen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kebutuhan dan Masalah Produksi

Kebutuhan kita akan garam industri dan kosumsi dalam satu tahun sangat besar sekitar 3juta ton. Kebutuhan garam industri belum terpenuhi, sedangkan garam kosumsi masih cukup dari garam lokal. Garam lokal sampai dengan saat ini belum bisa digunakan untuk kebutuhan industri, karena memang Naclnya masih dibawah 97 persen. Tingginya kebutuhan garam industri berdampak kepada adanya impor garam.

Kondisi saat ini bahwa garam lokal ditingkat petani tidak ada yang memproduksi. Karena memang produksi garam lokal dipengaruhi oleh cuaca. Yang ada saat ini garam lokal berada ditingkat pedagang atau stok tahun lalu. Harga garam impor pun cenderung lebih mahal dibanding dengan harga garam lokal.

Berdasarkan pengamatan saya, masalah-masalah seperti harga garam, impor, dan minimnya stok garam disebabkan karena sektor hulu garam belum dapat terselesaikan. Petambak dihadapkan dengan permasalahan (1) minimnya sarana dan prasarana di tambak garam; (2) buruknya akses air bersih dan sanitasi di tambak garam; (3) minimnya intervensi teknologi berbiaya murah untuk produksi dan pengolahan garam; dan (4) besarnya peran tengkulak di dalam rantai distribusi dan pemasaran garam.

Tidak Butuh Pejabat Menangis

Terlepas dari kebijakan pergaraman nasional yang masih amburadul, tampaknya pemerintah sejauh ini memang tidak memiliki keinginan untuk menjadikan negeri ini mandiri dalam memenuhi kebutuhan garam nasional. Parahnya lagi isu garam hanya dijadikan materi populis oleh pejabat agar dipandang peduli persoalan rakyat.

Cara yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah yang menyelimuti industri garam adalah pembinaan petani di tingkat hulu. Sudah saatnya petani garam di tingkat hulu menerapkan teknologi tepat guna. Selain itu, sudah saatnya pendekatan pengelolaan produksi garam bersifat industri. Harus ada pembinaan supaya petani garam jangan asal cepat memanen garam tanpa memperhatikan mutunya. Selama ini, petani harus menunggu waktu yang lama untuk memanen sedangkan selisih harganya tidak terlalu tinggi. Bersambung…

Ikuti tulisan menarik Ayu Lestari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler