x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sedikit tentang Anatomi Rasa Takut

Takut adalah reaksi paksa yang membantu kita merespon dengan cepat ancaman potensial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

"Keberanian hanyalah topeng bagi ketakutan, betapapun hebatnya."
--John Dryden (Penyair, 1631-1700)

 

Masyarakat Barat merayakan Halloween dengan merias diri dan mengenakan beragam busana dan aksesori yang menyeramkan: tengkorak dan tulang, ceceran merah darah, topeng vampir, hingga kostum zombi. Seru. Meriah. Tapi mungkin ada rasa takut yang menyelinap pada mereka yang memakai mapun melihat kostum dan aksesori seram itu—apakah Halloween sekedar ikhtiar manusia untuk meyakinkan diri bahwa mereka pemberani atau, dengan kata lain, untuk menutupi rasa takut?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin juga sekedar hiburan—bagi sebagian orang, menakut-nakuti jadi sejenis hiburan. Dalam relasi kekuasaan, bisa membuat orang lain ketakutan mendatangkan kesenangan tersendiri.

Ada bermacam sumber ketakutan, begitu kata pakar. Dalam masyarakat tertentu, ada ketakutan kepada kucing hitam atau badut—alih-alih lucu, di sebagian masyarakat (setidaknya bagi sebagian orang) badut itu malah menimbulkan ketakutan. Di balik wajah dan kostum badut yang terkesan lucu tersimpan ancaman yang tidak terduga. Ada pula yang ditakuti oleh kebanyakan orang di muka Bumi, seperti ketinggian, laba-laba, kegelapan, dan ruang sempit.

Ketakutan dapat pula tercipta dalam suatu momen, seperti terjadi di Iroquois Theatre di Chicago, AS, pada 30 Desember 1903—sehari menjelang pergantian tahun. Gedung teater yang dianggap monumen modernisme itu dicekam horor ketika abu enam ratus jasa manusia memenuhi ruangan. Sekitar seribu orang lainnya berhasil menyelamatkan diri dengan luka fisik dan luka batin yang sukar disembuhkan.

Api telah menimbulkan kepanikan ribuan orang yang menonton pertunjukan di gedung teater itu. Panik massa sukar dihindari. Kepanikan itu dilaporkan dalam nada apolaliptik: orang-orang melompat dari balkon berusaha menyelamatkan diri, namun malah menuju kematian; saat itu lampu-lampu dipadamkan lantaran pertunjukan segera dimulai, dan tak seorang pun menyalakannya kembali ketika kepanikan terjadi; sebagian pengunjung terjatuh dan terinjak-injak.

Tapi bagaimana anatomi rasa takut yang kita alami?

Takut, pertama dan terutama, adalah mekanisme bertahan hidup. Ketika indra mendeteksi sumber ketegangan yang mungkin mengirim sinyal ancaman, otak mengaktifkan serangkaian reaksi yang membuat kita bersiap-siap untuk bertarung demi mempertahankan hidup kita atau melarikan diri secepat mungkin. Rasa takut dikendalikan oleh bagian otak di dalam temporal lobes yang dikenal sebagai amygdala.

Ketika rasa takut menyergap, tubuh melepaskan zat kimia saraf dan hormon yang menyebabkan detak jantung meningkat, napas memburu, darah dipompa lebih kencang, dan otot-otot pun menegang: bertarung atau lari. Tubuh merespons teror sebagaimana moyang kita meresponnya. Rasa takut yang menyergap membuat kulit kita merinding dan rambut berdiri—semua itu tak membantu kita untuk bisa melawan ancaman atau kabur dari ancaman.

Apa yang terjadi ketika kita takut? Sinyal-sinyal yang dikirim otak memicu reaksi tubuh yang membantu kita menghadapi ancaman. Keringat mulai keluar. Keringat yang disebabkan oleh rasa takut menguarkan aroma yang berbeda dari keringat sebagai efek berolahraga dan memunculkan peringatan agar waspada.

Di dalam otak, amygdala secara temoporer ‘membajak’ fungsi otak, melepaskan zat kimia yang mendorong kita untuk menghadapi ancaman atau kabur. Laju pernapasan jadi cepat, meningkatkan pasokan oksigen ke tubuh. Detak janjung meningkat dan tekanan darah naik, lebih banyak darah disalurkan ke otot. Lutut lemas: membeku di tempat merupakan strategi yang lazim dipakai untuk menghindarkan diri dari deteksi predator. Di bawah kondisi ekstrem, stres dapat mengabaikan kendali frontal lobe terhadap kandung kemih dan mendorong pelepasan urin secara paksa.

Dunia modern membawa serta sejumlah stres yang belum pernah dihadapi oleh manusia masa sebelumnya dan belum pernah terbayangkan—beban finansial, kegelisahan, tekanan sosial, represi kekuasaan, kompetisi karir, yang semuanya bisa membangkitkan rasa takut dan cemas. “Musuh kita adalah ketakutan. Kita berpikir bahwa ini kebencian; bukan, ini ketakutan,” kata  Mahatma Gandhi. (Foto: Gedung Teater Iroquois setelah kebakaran) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB