x

Iklan

Gusrowi AHN

Coach & Capacity Building Specialist
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Totalitas Itu Tak Bersyarat!

Jika totalitas dimaknai sepenuh hati dalam menjalankan sesuatu, apapun situasinya, ideal atau tidak. Ia tetap harus eksis dan tak tergoyahkan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Wah, kalau pesertanya cuma segini, mending kita ngobrol dan diskusi aja di taman depan kampus.” Itu pernyataan salah satu narasumber, seorang tokoh nasional, setelah mengetahui sedikitnya peserta seminar. Kejadian sekitar 20-an tahun lalu itu, saya alami ketika menjadi panitia seminar di kampus. Nampaknya, jumlah peserta mempengaruhi semangat si narasumber memberikan materinya.

Hal yang mirip barusan saya alami. Biasa dengan 20-30 an orang partisipan di setiap pelatihan. Saya menemukan situasi yang tidak biasa. Dari 30-an partisipan yang direncanakan, hanya ada 6 orang saja. Manusiawi, jika awalnya saya merasa “kurang bersemangat.” Sebuah kondisi mental yang bisa berpengaruh terhadap kualitas pelatihan yang akan saya jalankan.

Saya penasaran. Bagaimana tetap bersemangat, total memberikan kemampuan terbaik, tanpa mengurangi sedikitpun takaran ‘fokus’ dan ‘kehadiran’ (perhatian dan konsentrasi) kita, meskipun situasi dan kondisinya tidak se-ideal yang kita harapkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika totalitas dimaknai sepenuh hati menjalankan sesuatu, semaksimal mungkin dan mempersembahkan yang terbaik. Maka, apapun situasinya, ideal ataupun tidak, ia harus eksis dan tak tergoyahkan.

Namun, jika semangat dan komitmen kita memiliki ketergantungan hebat pada kondisi yang kita idealkan. Kerentanan akan menjadi momok bagi level totalitas yang kita miliki. Kita pun menjadi sangat transaksional.  Totalitas menjadi bersyarat. Hanya akan dilakukan jika situasi dan kondisinya sesuai harapan atau keinginan kita.

“Gak semangat ah. Pesertanya sedikit. Aku percepat deh waktunya. Materi yang akan kuberikan, seperlunya aja. Coba kalau pesertanya banyak, aku akan lebih semangat. Akan kuberikan segenap kemampuanku.”

Kegagalan menanamkan “totalitas tanpa syarat” di dalam pikiran, berbuah mental block bagi diri kita sendiri. Ketika menemukan keadaan yang tidak ideal, perasaan pesimis mudah menghampiri, dan semangat menurun dengan drastis.

Alih-alih berusaha optimis dan membangkitkan semangat. Kita lebih sibuk mengawal rasa kecewa karena kondisi tidak ideal yang kita alami. Dan yang biasa terjadi, kita larut dalam kekecawaan. Disinilah, seringkali kita tergoda luar biasa untuk menurunkan level totalitas kita. Rasa kecewa kita jadikan justifikasi pembenaran, menurunkan kualitas terbaik yang bisa kita lakukan dan berikan.

Kita perlu merawat mental ‘totalitas’ di dalam diri kita. Salah satu yang bisa kita lakukan, dengan membiasakan diri menjadi pribadi yang adaptif dalam segala situasi dan kondisi. Kemampuan adaptif akan membuat kita tidak mudah panik merespon perubahan dan keadaan yang terjadi secara mendadak dan di luar prediksi.

Selain itu, kita juga perlu meyakini bawa totalitas hanya akan berjalan mulus ketika kita tidak menyematkan “syarat apapun” terhadapnya. Apapun situasinya, ia menjadi nilai yang melandasi jalan yang kita lalui. Disinilah, kita berkesempatan menunjukkan kemampuan merespon situasi, dengan tetap teguh bersemangat merawat niat totalitas di dalam diri kita.   

Sama sekali tidak ada keraguan akan manfaat menjadi pribadi yang total dalam melakukan segala sesuatu. Karena, segala proses yang kita jalani akan terasa nikmat, penuh tantangan, semangat dan tetap menyenangkan. #gusrowi.

Ikuti tulisan menarik Gusrowi AHN lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler