x

Pengunjuk rasa Demo 4 November berkumpul di Stasiun Kereta Bekasi sebelum berangkat ke Jakarta, Jumat pagi, 4 November 2016. Tempo/Nurhidayat

Iklan

Hasullah Masudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berawal dari Al Maidah Ayat 51

Tidak adanya fatwa MUI sebenarna menajadi pokok persoalan terhadap interpretasi pernyataan Ahok. Semua orang bisa menafsirkan ayat tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya memulai tulisan ini dengan pertanyaan wajibkah memilih pemimpin Islam? Berdosa dan Haram kah jika umat islam memilih pemimpin Islam? Pertanyaan terebut berangkat dari pemikiran subyektifi pribadi sebagai pribadi muslim, sebagai bagian dari individu yang terbingkai dalam balutan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai akibat dari pandangan akan paradoks kepemimpinan dalam Demokrasi dan Islam.
 
Dalam Demokrasi politik , “haram” hukumnya  menggunakan isu SARA sebagai aktifitas poilitik dalam suksesi kepemimpinan. Namun keharaman isu SARA hanya sebagai cetakan putih konstitusional, sebab pada prakteknya SARA telah menjadi strategi dan kalkulasi kekuatan politik. Pemilihan Kepala (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta misalnya menjadi nampak jelas bagaimana sosok Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) menjadi magnet isu SARA, entah karena “kebencian” terhadap pribadi atau agama Ahok, yang jelas PilGub bercita rasa Pilpres ini telah menjadi menu utama lawan politik mem”brain washing” pemilih Jakarta.
 
Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta yang diikuti tiga pasangan calon, salah satunya beragama non Muslim (Ahok). Kehadiran sosok Ahok akhirnya dikait-kaitkan dengan Q.S Almaidah ayat 51, inti dari ayat tersebut adalah perintah terhadap larangan bagi umat islam memilih Yahudi dan Nasharani menjadi pemimpin bagi kaum muslim. Almaidah ayat 51 ini akhirnya  menjadi belakangan menjadi perbincangan. Kalangan Ulama sendiri masih terdapat perbedaan penafsiran tentang boleh dan/atau tidaknya  memilih Non Muslim menjadi pemimpin bagi umat islam. Bahkan MUI sebagai kiblat Umat Islam bertanya atas perbedaan tersebut sampai detik ini belum mengeluarkan Fatwa apakah boleh atau tidak umat islam mengangkat non muslim menjadi pemimpin. Ketidakadaan fatwa MUI terhadap ayat tersebut seolah memperboleh setiap “kepala” manusia memberikan penafsiran. Padahal pada saat seperti ini Umat Islam membutuhkan kehadiran ulama untuk kmenyatukan pemahan dan hukum terhadap suatu masalah.
 
Almaidah ayat 51 merupakan seruan dengan menggunakan fi’l amr berupa larangan/nahi, kalimat perintah larangan “Janganlah”. Dalam prespektif hukum Islam, kalimat perintah adalah sebuah kewajiban sebagimana kaidah ushul “al ashl fil amr lil wujub illa dalila khilafihi” (asal sebuah perintah adalah wajib, kecuali ada dalil yang mencelanya. Contoh : Allah memerintahkan hambanya agar makan semua yang ada di bumi, namun pada sisi lain terdapat dalil yang mencelanya yakni “ Allah juga melarang ada beberapa yang tidak boleh di makan baik zat mauun cara memperolehnya. Dalil penyela atau penghalang dalam kaidah fiqh adalah al ‘am dan al khos (keumuman dan kekhususan), ayat umumnya  adalah “makan semua yang ada di bumi” pencelanya/pengkhususannya adalah haram mengkonsumsi babi, hasil curian. Pada Almaidah ayat 51 sendir tidak ada dali kain yang memberikan pencelaan atau pengkhususan. Ketidak ada pengkhususan maka yang menjadi sandarannya adalah keumumannya. Artinya umat Islam Jakarta berdosa memilih Ahok apalagi Ahok memenangkan pilkada tersebut. Jawaban ini jika di sandarkan pada pemahaman tekstual teosentris Islam.
 
Pertanyaan kemudian yang muncul adalah bagaimana umat Islam di wilayah timur khususnya di daerah asal penulis sendiri Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebab di NTT hampir seluruh calon kepala daerah semuanya non-Muslim. Apakah kami (Islam) NTT haram masuk TPS alias Golput karena menghindar dari “dosa” memilih Non muslim. Jika kami (islam) golput, kami juga terikat dengan fatwa MUI , golput itu haram. (umat islam NTT dilema).
 
Tragedi 4 – 11
 
Sebagaimana disebutkan sebelumnya almaidah ayat 51 terdapat perbedaan penafsiran, MUI yang memliki wewenang untuk menafsirkan ayat tersebut  agar dapat menyatukan pemahan umat Islam sampai saat ini tidak mengeluarkan fatwa. Tidak adanya fatwa MUI sebenarna menajadi pokok  persoalan terhadap interpretasi pernyataan Ahok. Semua orang bisa menafsirkan ayat tersebut.
 
Pernyataan Ahok secara psikologi sangat menyakiti hati umat islam dan membuat umat Islam terusik. Namun apakah secara hukum ahok bersalah? Bersalah atau tidaknya Ahok setidakny kita lihat dari berbagai aspek. Pertama, Coba kita bandingkan Frase asli “Dibohongin pakai Almaidah ayat 51 dengan farse edit Buna yani “di bohongin al maidah 51”. Pada aspek bahasa perbedaan ada pada pengunaan kata “PAKAI”. Jika menggunakan kata “pakai” sesuai aslinya, maka subyek yang berbohong adalah Orang Bukan Almaidah. Artinya, hal ini bisa terjadi yakni orang (ulama/ustadz, umat islam, non muslim) yang menjadi lawan politik Ahok menggunakan ayat tersebut untuk berpolitik, mempolitisasi Alquran untuk membangkitkan psikologi voter Islam. Kedua, Karena tidak adanya fatwa MUI sebagai penyatuan Pemaham, maka semua orang bisa memberikan tafsiran. Misalnya  si A yang bertafsiran tidak masalah memilih non muslim dapat mengatakan kepada masayarakat bahwa tidak masalah memilih non muslim jadi jangan percaya dengan si B yang menggunakan almaidah 51 untuk melarang anda memlih non muslim. Kalian itu di bohongin pakai surat almaidah 51. Perebdaan tafsir antara si A dan Si B bisa saja masuk ke telinga siapapun dan dapat di politisir. Sehingga sangat disayangkan mengapa MUI tidak terlebih dahulu memberikan fatwa terhadap ayat 51 agar terjadi penyatuan presepsi. Bukanyna menafsirkan almaidah 51 dalam sebuah fatwa, MUI justru menafsirkan pernyataan Ahok.
 
Dengan Demikian pernyataan “dibohongin pakai” menujukan kepada subyek yang tidak jelas, sebab frasa tersebut cenderung  bermakna politisasi Al Quran (al quran sebagai alat), yakni orang/oknum  yang menggunakan alquran untuk berbohong demi kepentingan politik pragmatis dengan menggunakan alquran sebagai senjata psikologi politik terhadap umat islam.
 
 
Hasullah Masudin
Mahasiswa Pasca Sarjaa Ilmu Hukum UNISMA Malang

Ikuti tulisan menarik Hasullah Masudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler