x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 20 Mei 2019 14:28 WIB

Memaknai Kekalahan dalam Demokrasi

Demokrasi memberi ruang besar bagi mereka yang kalah juga yang menang. Bagi yang kalah, mereka diberi tak sekadar ruang melainkan juga waktu untuk merebut kembali kemenangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hidup hanya menunda kekalahan, begitu sang penyair Chairil Anwar menulis sajaknya berjudul Derai-Derai Cemara pada 1949. Kalimat itu bernada pesimistis, tetapi juga penuh perenungan. Kalah adalah kosakata yang mengesankan subordinasi atau memposisikan diri di bawah. Karena itu, bagi homo sapiens yang ego sentris, kalah itu menyakitkan.

Tengoklah bagaimana kekalahan itu bersinonim degan rasa malu. Dalam beberapa kebudayaan, kekalahan juga berarti akhir dari kehidupan. Tradisi harakiri dalam budaya Jepang menegaskan itu.

Namun, kekalahan tak melulu akhir dari segalanya. Apa yang terjadi pada bala tentara Inggris di Dunkirk pada 1940 menegaskan bahwa kalah dan mundur pada medan laga bukanlah aib. Momen itu justru menjadi pelecut bagi perlawanan yang lebih kuat di kemudian hari. Alhasil, Inggris menjadi lawan tangguh fasisme Jerman hingga pengujung Perang Dunia II –sesuatu yang tidak disangka oleh Adolf Hitler.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bukankah serdadu Republik di Yogya melakukan hal yang sama ketika pesawat pengebom NICA melumat landasan udara Maguwo pada 1948? Tentara rakyat memilih menyingkir ke luar ibu kota Yogyakarta, bahkan Panglima Besar Sudirman memulai gerilya dan bergerak dari satu titik ke titik lain menghindari Belanda. Apa yang terjadi kemudian terjadi adalah serangan-serangan sporadis yang merepotkan militer Belanda hingga terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949.  Serangan yang menegaskan eksistensi republik sekaligus memaksa terjadinya perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949.

***

Tapi, benarkah kekalahan adalah kemenangan yang tertunda? Atau, kekalahan adalah takdir sang pecundang?

Dalam berdemokrasi, kalah atau menang itu biasa. Mekanisme meraih kekuasaan dalam demokrasi didasari pada kompetisi. Sederhananya, di Amerika Serikat, tak selamanya Partai Republik atau Partai Demokrat berkuasa. Kedua partai itu hanya bertukar peran dari tahun ke tahun, sebagai pemegang kekuasaan atau oposisi.

Pidato Obama pada November 2016 di Gedung Putih adalah inspirasi bagi demokrasi. Sang Presiden ke-44 Amerika Serikat itu “mendinginkan” suasana panas di tengah kemenangan Donald Trump. Obama berpesan bahwa, “Kadang kita kalah dalam Pemilu. Itulah jalan yang ditempuh oleh bangsa ini. Tidak lurus, tapi zig-zag.” Obama juga melarang pihak yang kalah mengejek atau mengolok-olok kemenangan Trump.  

Bahkan, hidup dalam pemerintahan yang fasis dan otoriter pun, kekalahan bagi gerakan prodemokrasi hari ini bisa jadi kegemilangan di kemudian hari. Pada suatu masa, bangsa ini telah membiarkan kekuatan politik bernama Golongan Karya berkuasa terlalu lama –tiga puluh tahun lebih. Nyaris mustahil menggoyang dominasi Golkar (yang dulu diklaim bukan partai) oleh partai pesaingnya, PPP dan PDI. Hantaman paling keras bagi Golkar terjadi pada 1977 saat kalah oleh PPP di ibu kota.  

Pemilu Orde Baru adalah kompetisi prosedural belaka. Sepak bola gajah istilahnya. Mesin-mesin kekuasaan, mulai dari militer hingga birokrasi bekerja efektif “memenangkan” Golkar. Hak pilih didesain agar tidak bocor ke partai kompetitior. Golkar tidak pernah memenangi Pemilu dengan persentase suara nasional di bawah 50 persen selama enam kali perhelatan di masa Orde Baru, mulai dari 1971-1997.

Saking kuatnya Orde Baru, Presiden Suharto sebagai ikonnya bahkan telah menjadi titik pengkultusan. Publik mulai berpikir bahwa tak ada yang pantas dan sejajar dengan Sang Jenderal. Namun, sekuat apa pun Orde Baru dengan ikon Presiden Suhartonya, apa yang terjadi kemudian adalah kekalahan jua.

Ketika Orde Baru tumbang pada Mei 1998, kutub politik pun berubah. Golkar bukan lagi kekuatan dominan. Kekuatan-kekuatan politik baru muncul dan Pemilu 1999 dimenangi oleh PDI Perjuangan yang menjadi antitesis Orde Baru selama ini. Meski Golkar kembali memenangi Pemilu pada 2004, partai ini bukanlah kekuatan dominan seperti dulu. Bahkan posisi presiden diduduki oleh Susilo Bambang Yudhoyono dengan kendaraannya Partai Demokrat, pendatang baru dalam perpolitikan tanah air kala itu.

***

Sayangnya, rasa terlalu sering menang membuat kekalahan terasa pedih sekaligus menyakitkan bagi mereka –hingga turun-menurun.  

Demokrasi adalah ruang bersama untuk menerima kekalahan sekaligus merayakan kemenangan. Jika ada yang tidak bisa berpesta bersama di dalam ruangan itu, bolehkah kita mencurigainya hanya sekadar menumpang demokrasi untuk kembali lagi menghidupkan kembali masa-masa saat kemenangan bisa diraih dengan teror? Ada baiknya, mendengar lagi pesan Obama yang bijak itu, “Jika kalah, kita belajar dari kesalahan dan melakukan refleksi.”

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler