x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baiknya, Pejabat Tidak Merangkap Jabatan

Organisasi cenderung tidak berdikari bila mengandalkan pejabat negara sebagai pucuk pimpinan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Baru-baru ini, dua pejabat tinggi negara terpilih menjadi ketua umum dua cabang olahraga yang berbeda. Para pemilik suara di kedua organisasi olahraga ini niscaya menaruh harapan besar bahwa kedua figur tersebut akan mampu menarik gerbong organisasi sehingga prestasi Indonesia di kedua cabang olahraga akan cemerlang.

Secara legal, tidak ada yang keliru dengan perangkapan jabatan seperti itu. Secara praktik, hal serupa memang sudah sering terjadi dalam organisasi keolahragaan maupun organisasi kemasyarakatan lainnya. Niatnya niscaya baik, ingin memajukan cabang olahraga yang mereka pimpin. Pandangan optimistisnya, dengan kepemimpinan puncak berada di tangan pejabat tinggi negara, organisasi akan berjalan lebih terarah, disiplin organisasi lebih terjaga, dan dari segi pendanaan akan lebih tersokong. Namun apakah kepemimpinan ini akan optimal? Ada sudut pandang lain yang patut dipertimbangkan ihwal rangkap jabatan oleh pejabat negara.

Pertama, untuk menjalankan tugas dalam lingkup negara (bukan provinsi, apa lagi kabupaten/kota) dengan jabatan yang sangat tinggi diperlukan fokus perhatian yang tidak terpecah. Pada jabatan negara sudah melekat tanggung jawab nasional yang sangat besar dan penting, yang niscaya sangat memerlukan waktu, pikiran, tenaga, maupun perhatian pemegangnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejauh mana mereka mampu mencurahkan tenaga, pikiran, dan waktu untuk organisasi lain? Praktik kepemimpinan yang mungkin terjadi kemudian ialah pendelegasian wewenang kepada, misalnya, ketua harian atau sekjen yang sehari-hari bertugas menjalankan roda organisasi. Ketua umum akan mengontrol jalannya organisasi dan program dari jarak jauh. Ketua umum berperan sebagai payung pelindung yang diharapkan dapat merekatkan organisasi, menghindari kemungkinan perpecahan, mengayomi ogranisasi dalam menghadapi tantangan dari luar.

Kedua, rangkap jabatan bukanlah jalan yang terbaik untuk memperkuat dan mengembangkan organisasi. Dipilihnya seorang pejabat negara untuk menempati posisi tertentu dalam organisasi olah raga atau kemasyarakat lainnya cenderung membuat organisasi ini kurang mandiri. Hal ini berpotensi menimbulkan ketergantungan dan membuat organisasi tidak tumbuh dewasa. Organisasi yang kuat mesti bertumpu pada kakinya sendiri, tumbuh kuat berkat tradisi-tradisi dan nilai-nilai yang dibangunnya sendiri, bukan menggantung ke atas. Alasan-alasan pragmatis, seperti memudahkan organisasi dalam memeroleh dukungan tertentu, misalnya finansial, cenderung menjadikan organisasi tidak berdikari.

Ketiga, rangkap jabatan mengurangi peluang bagi tumbuhnya kepemimpinan organisasi yang tumbuh dari bawah. Aktivis organisasi yang berbakat dan peduli kepada kemajuan organisasi akan sukar mencapai jenjang kepemimpinan tertinggi karena para pemilik suara lebih suka meminta pejabat negara untuk menempati posisi tersebut. Kesempatan bagi lahirnya kepemimpinan dari dalam menjadi lebih terbatas.

Berbagi peran kepemimpinan dengan sebanyak mungkin orang sesungguhnya merupakan langkah yang lebih baik, sebab menciptakan peluang bagi lahirnya pemimpin-pemimpin baru yang digembleng dari bawah. Penting bagi organisasi modern untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan tampilnya pemimpin baru di semua jenjang dan di semua bagian organisasi. Dalam jangka panjang, lingkungan seperti ini akan sangat baik bagi kemajuan organisasi dan cabang olahraganya. (sumber ilustrasi: lam-inc.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu