x

Massa membawa perbekalan logistik yang didapatkan dari sumbangan masyakarat sepanjang perjalanan menuju Jakarta untuk menghadiri Aksi Bela Islam III, saat melintas Jalan Raya Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 30 November 2016. TEMPO/Prima Mu

Iklan

fathurrahman ghufran

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Beragama Secara Humanis

Nabi memberikan pelajaran bahwa menghadapi manusia yang dalam kondisi apapun adalah dengan cara memanusiakan mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhir-akhir ini, ruang keberagamaan kita kian dilingkupi oleh gelegak egosentrisme yang saling membenturkan identitas ke-aku-an. Dengan cara saling menghujat, memposisikan diri paling benar sekaligus menyudutkan pihak lain sebagai muara kesalahan, masing-masing kita mulai menanggalkan ruang keberadaban. Dengan berbekal setumpuk data, informasi, bahkan serangkaian dalil agama, banyak di antara kita yang tak segan melemparkan tuduhan kesesatan kepada pihak yang dianggap tak sejalan dengan cara pandang keagamaan kita.

Padahal, kita semua menyadari bahwa perilaku demikian bertolak belakang dengan keteladanan Nabi Muhammad yang selalu memilih sikap arif, bijaksana, dan memaafkan serta tidak membalas dengan serangan secara emosional. Hal ini bisa kita cermati pada beberapa kisah Nabi Muhammad yang kerap kali memperoleh cercaan dan makian, namun beliau mengahadapinya dengan kebersahajaan.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meneladani Kisah Nabi

Di antara kisah perjalanan Nabi Muhammad yang perlu kita teladani adalah ketika menyampaikan ajaran Islam di Negeri Thaif namun dilempari batu oleh masyarakat

Quraisy. Dengan lirih beliau mengatakan kepada Malaikat Jibril yang menawarkan diri untuk membalik tanah Thaif yang telah memperlakukan dirinya secara tak manusiawi, bahwa "apa yang mereka lakukan bermula dari ketidaktahuan atas kebenaran yang saya sampaikan. Andai saja mereka tahu bahwa apa yang saya sampaikan adalah bagian dari kebenaran, niscaya mereka tidak berbuat seperti ini".

Dalam kisah lain, Nabi Muhammad memperlakukan seorang pengemis Yahudi yang buta yang secara nyata selalu mengumbar ujaran kebencian tentang Nabi Muhammad di muka umum. Namun, Nabi Muhammad tidak membalas sikapnya dengan cara emosional. Justru, setiap hari Nabi Muhammad mendatangi pengemis buta dengan cara memberinya makan sekaligus menyuapinya hingga menjelang wafat. Perlakuan Nabi Muhammad yang humanis menjadikan pengemis buta bersyahadat di hadapan Abu Bakar setelah mengetahui bahwa orang yang selalu memberinya makan adalah sosok Nabi yang selau dihina.

Bahkan, pada suatu hari ketika Nabi Muhammad berjalan bersama Siti Aisyah istrinya, dan di tengah perjalanan tiba-tiba orang yahudi memaki Nabi Muhammad dengan ungkapan "laknat bagimu wahai Muhammad". Beliau justru menegur siti Aisyah yang membalas makian orang Yahudi dengan nada serupa. Dengan santun Nabi Muhammad mengatakan kepada Siti Aisyah berkata "hendaklah kamu bersikap lemah lembut dengan segala perkara".

Ungkapan dan perilaku Nabi Muhammad tersebut memberikan pelajaran bahwa menghadapi manusia yang dalam kondisi apapun adalah dengan cara memanusiakan mereka. Sebab, manusia pada mulanya adalah himpunan jasad yang buta huruf (ummiyun). Lalu menjadi melek lantaran sebuah transformasi pengetahuan yang dikonstruksi berdasarkan mekanisme sosial yang disampaikan secara bertahap (tadarrujiyun) baik yang berkaitan dengan teks ajaran yang disebarkan maupun konteks keyakinan yang ditumbuhkan.

Dalam kaitan ini, pesan humanisasi dari pernyataan dan sikap Nabi Muhammad perlu direaktualisasi dalam sistem keberagamaan kita, agar kehidupan berbangsa dan bernegara kita tidak terjebak ke dalam sikap salah kaprah dalam mencermati dan memahami persoalan dan kasus-kasus yang terjadi. Semisal merespons kasus Ahok yang saat ini secara hukum telah ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama lalu direaksi secara berlebihan sebagaimana tampak dalam serial aksi bela

Islam jilid I, jilid II, jilid III, justru akan semakin menjauhkan spirit keadaban beragama dalam kehidupan kita. Sebab, merujuk pada syair KH. Mustafa Bisri bahwa

"penghina agama-mu tidak akan membuat agamamu hina. Tapi, reaksi dan tindakan anarkismu yang mengakibatkan agamamu menjadi terhina."

 

Sikap Humanis

Dalam menyikapi berbagai tantangan keberagamaan, yang perlu dilakukan adalah bagaimana menjalani keagamaan dengan cara humanis, agar setiap masalah yang membentang dalam kehidupan selalu dicermati dengan arif. Merujuk pada pandangan Mulyadhi Kertanegara dalam buku "Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia" secara ideal agama sejatinya menegakkan nilai-nilai kemanusiaan seperti kebajikan, cinta, kasih-sayang. Dalam wajahnya yang humanis, agama digerakkan sebagai jalan untuk menghargai setiap perbedaan, bersikap santun dalam menghadapi persoalan, dan tetap meyakini bahwa setiap orang sedang berproses menuju kebaikan.

Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dalam beberapa kisah di atas. Pengalaman Nabi Muhammad yang mengedepankan sikap humanis harus dijadikan role model dalam kehidupan kita agar tidak mudah dipengaruhi oleh perilaku kenaifan berupa sikap pembelaan terhadap agama namun dalam prakteknya tidak disertai dengan kesantunan dan kearifan.

Meskipun dalam beberapa riwayat terdapat keterangan yang mengabsahkan maupun melegitimasi sikap penegasan secara "keras" terhadap pihak pihak yang dianggap menyalahi aturan keagamaan, tidak semestinya sikap ini patut diberlakukan di negara kita. Sebab, Indonesia adalah negara Pancasila yang berdiri di atas kebhinekaan. Maka, bila ada tindakan keserampangan di antara kita harus diselesaikan dengan musyawarah agar tidak merusak sendi-sendi persatuan dan kemanusiaan. Apabila cara demikian tidak memperoleh jalan keluar yang adil, bisa dilakukan jalur hukum sebagaimana diatur dalam asas negara kita sebagai negara hukum. Dan, kalau pun cara ini tidak memperoleh jalan keluar yang diinginkan, pada titik ini lah kita hanya bisa bertawakkal kepada Allah sebagai refleksi diri bahwa masih ada Allah yang akan melindungi kita.

 

Oleh: Fathorrahman Ghufron 

Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. A'wan Syuriyah PWNU Yogyakarta.

Ikuti tulisan menarik fathurrahman ghufran lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler