x

Petugas mengoperasikan mesin traktor untuk menarik lori tebu di Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar, 27 Juni 2016. Pabrik ini ditargetkan mampu memproses 3,5 juta kuintal tebu pada tahun ini. TEMPO/Ahmad Rafiq

Iklan

prima dwianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gula dan Derita

Industri gula yang menyisakan derita bagi pribumi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Industri gula nasional merupakan kisah manis masa lalu, ketika nusantara menjadi eksportir terbesar kedua setelah Kuba, 1870an. Penerapan cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) pasca berkecamuknya Perang Jawa (1825-1830) membuka jalan bagi gula nusantara untuk menjejakkan kakinya di mata dunia. Namun, di balik kesuksesannya, gula menyisakan derita bahkan hingga Indonesia merdeka.

Cultuurstelsel diaplikasikan, pada Agustus 1830, dengan mewajibkan seluruh karesidenan di Jawa untuk menanam tebu. Pribumi dipaksa untuk menyerahkan pajak in natura berupa hasil-hasil bumi yang nantinya akan diekspor, mirip dengan preangerstelsel yang diterapkan di Parahiyangn, dua dekade sebelumnya. Aktor utamanya, van den Bosch, membebani pribumi dengan kewajiban menyerahkan seperlima tanah untuk ditanami tanaman ekspor. Bagi yang tak bertanah, mereka diharuskan untuk bekerja di tanah milik pemerintah kolonial selama 66 hari.

Tebu paling banyak menyita lahan pribumi. Terctatat, 32.722 bahu lahan tanam paksa digunakan untuk penanaman tebu, 1833. Menyempitnya lahan bagi tanaman padi, karena penetrasi tebu, menyebabkan bencana kelaparan seperti terjadi di Demak dan Grobogan yang penduduknya mati masing-masing 80.000 dan 216.000 orang, periode 1849-1850. Penderitaan semakin memuncak tatkala, disamping menanam tebu, penduduk diwajibkan mengangkut tebu ke pabrik menggunakan ternak peliharaan melewati jalan yang tak layak. Tanam paksa mampu menyumbang f 967 juta bagi kas pemerintah kolonial selama hampir empat dekade, beriringan dengan derita pribumi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memasuki era liberalisme ekonomi, ketika dibukanya Terusan Suez 1869, implikasi yang nyata ialah masuknya modal-modal asing di nusantara. Pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-Undang Agraria (Agrarian Law) yang membebaskan swasta menyewa lahan penduduk selama 75 tahun. Penduduk memang tak dipaksa lagi untuk menanam tebu, namun diwajibkan menyewakan lahannya dan melaksanakan kerja wajib dua minggu sekali serta berjaga selama empat malam di sekitar pabrik gula. Menyusul, pada 1878, pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-undang Budidaya Tebu (Wet van de suikercultuur) yang mengubah sistem tanam paksa menjadi tanaman bebas.

Meski sempat terdampak krisis global, 1884, yang mengakibatkan collapse-nya pasaran gula global, disamping membeludaknya gula beet Eropa, periode 1870an-1930 menjadi masa kejayaan ekspor gula Jawa. NIVAS (Nederlandsch-Indisch Vereeniging voor de Afzet van Suiker), organisasi penyalur tunggal gula, mampu menyatukan para bankir, birokrat, maupun politikus untuk sama-sama mengembangkan industri gula nusantara. Ekspor gula Jawa menjejakkan kakinya hingga Cina, Jepang, bahkan Amerika. Keberhasilan industri gula nusantara, membingkai semakin masifnya eksploitasi kolonialisme terhadap pribumi.

Kelesuan industri gula nasional mulai nampak ketika terjadinya depresi ekonomi, 1930, yang melumpuhkan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi secara global. Produksi gula menurun hingga tiga juta ton, 1931-1935, serta jumlah pabrik yang beroperasi hanyalah 35 buah pada 1936. Apalagi, selama pendudukan Jepang (1942-1945), penanaman gula dibatasi, alat penggilingan dihancurkan, pabrik gula digunakan untuk kepentingan militer Jepang, dan tanaman padi lebih diutamakan ketimbang tebu. Industri gula nusantara seakan segera menjemput ajalnya.

Setelah menggapai kemerdekaannya, memang, beberapa usaha perbaikan dilakukan, seperti pembentukan lembaga-lembaga yang mengurusi gula. Akan tetapi, memanasnya ketegangan Belanda dan Indonesia, dalam kasus Irian Barat, dikulminasikan dengan aksi sepihak pengambilalihan pabrik-pabrik gula milik Belanda dalam kerangka nasionalisasi, 1957. Bukan malah memperbaiki keadaan, aksi ini justru mengakibatkan salah urus karena ketidakcakapan pegawai Indonesia dalam mengurus pabrik gula. Akibatnya, produktivitas gula menurun 8,96 ton hablur/ha, 1960. Situasi diperparah oleh kondisi sosial-politik 1965, ketika terjadi kampanye anti-PKI (Partai Komunis Inodonesia) yang ditandai dengan pembunuhan anggota serikat buruh maupun aktivis (petani) yang berasosiasi dengan pabrik gula. Ironis, Indonesia harus mengimpor gula sejak 1967.

Menuju era keemasan pembangunan Orde Baru, industri gula mengadopsi konsep Green Revolution (Revolusi Hijau) yang telah berhasil diterapkan pada tanaman padi dengan panca usaha tani. Masuknya bantuan modal asing, ditambah berkah oil boom (naiknya harga minyak) 1973, membuat pemerintah semakin leluasa menjalankan programnya. Secara radikal, pemerintah mengubah ketergantungan industri gula terhadap pabrik (mill-controlled) menjadi ketergantungan terhadap petani (smallholder). Dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun  1975, tentang pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), mencoba menempatkan petani sebagai tuan rumah di atas tanahnya sendiri yang menjalankan seluruh rangkaian usaha gula, mulai penanaman hingga panen tebu.

Kenyataan, lagi-lagi, seakan tak berpihak kepada petani. Kewajiban mengganti tanaman padi dengan tebu, malah merugikan. Keuntungan dari penanaman tebu tak sebanding dengan padi. Bahkan, hal ini mengakibatkan protes sosial yang diaktualisasikan petani lewat pembakaran lahan tebu. Keengganan petani menanam tebu juga akan berujung intervensi pihak keamanan maupun intimidasi perangkat desa. Program TRI hanya menguntungkan pihak pabrik gula karena hanya mengolah tebu, tanpa harus menanamnya. Produktivitas hablur (kristal gual) hanya mencapai 7,74 ton/ha akibat alih teknologi yang tak maksimal kepada petani. Keberhasilan pemerinah bukan intensifikasi, melainkan ekstensifikasi lahan tebu.

Tak salah nampaknya ungkapan dalam bahasa Belanda, “de  suiker  industrie  is  de  kurk  waarop  Nederlansch  Indie  drift” (Industri gula adalah gabus tempat Hindia Belanda mengapung). Keuntungan industri gula bagi pemerintah kolonial memang luar biasa. Tapi kini, industri gula menyisakan ironi, ketika nusantara yang kaya tak mampu menghadirkan manisnya gula bagi rakyatnya, pahitnya impor gula masih merjalela.

PRIMA DWIANTO

Alumni Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UGM

Ikuti tulisan menarik prima dwianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler