x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apakah Saya Selalu Benar?

Keangkuhan membuat kita enggan mengakui bahwa kita mungkin salah dan orang lain benar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Bila engkau mengatakan kebenaran, engkau tak harus mengingat apapun.”

--Mark Twain

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam setiap perselisihan, kita punya kecenderungan yang kurang baik: memandang orang lain salah dan melihat diri sendiri benar. Perselisihan semakin sukar menemukan jalan keluar yang mudah ketika masing-masing berkukuh dirinya benar. Perlahan namun pasti, emosi mulai menanjak ke jenjang yang semakin intens. Tatkala kemarahan semakin menguasai diri, semakin sulit pula kemarahan dikendalikan.

Bukan hanya amarah, keangkuhan, kecongkakan, gengsi, dan sikap meremehkan menjadikan pandangan semakin kabur. Semakin sukar bagi kita untuk mampu melihat secara jernih persoalan yang jadi biang perselisihan. Semakin keruh pikiran karena dipenuhi hasrat untuk menaklukkan dan menang. Penemuan kebenaran tidak lagi penting.

Tatkala figur-figur yang berselisih membawa massa, maka kedua massa pun bekerja mengikuti aturan umum bahwa ‘massa sukar berpikir’. Ketika kekeliruan, kebohongan, kepalsuan disampaikan berulang-ulang dan disebarkan di tengah massa, dalam waktu tidak lama akan dianggap sebagai kebenaran. Persepsi kolektif ini sulit sekali untuk tidak mudah tercemar oleh manipulasi yang dilakukan melalui rekayasa yang cerdik.

Rekayasa yang bersifat manipulatif itu meningkatkan kesimpangsiuran dan kian menyulitkan siapapun untuk menemukan kebenaran. Ketika perselisihan melibatkan ‘massa virtual’ yang bekerja melaui media sosial maupun media online yang dikelola profesional, kekaburan makin menjadi-jadi. Masing-masing pihak merasa dirinya benar dan enggan melihat sisi-sisi kebenaran pada pihak lain.

Klaim kebenaran inilah yang selanjutnya menyulitkan diri kita untuk bersikap adil—dalam pengertian bahwa saya atau kita mungkin keliru dan dia atau mereka mungkin benar. Kita lantas menutup diri dari kemungkinan bahwa kebenaran ada di pihak lain, ada di tempat yang tidak kita sukai. Terlebih lagi di hadapan publik, semakin tidak mudah kita mengakui bahwa kita keliru. Ini tak ubahnya membenturkan kepala sendiri ke dinding batu.

Hanya kerendah-hatian yang mampu membuat diri kita bersedia melihat ke dalam: mungkin ada yang salah dalam diri saya (kita), bila bukan pada substansi, mungkin pada cara. Ya, banyak orang mengabaikan cara atau proses karena beranggapan bahwa yang ia katakan itu benar. Cara atau proses tak kalah penting dari tujuan menyampaikan kebenaran.

Hanya kerendah-hatian yang mampu membuat kita bersedia menimbang materi pertikaian dari sudut pandang orang lain dan membuat kita bertanya: mengapa mereka bersikap seperti itu. Berempati kepada pihak lain—yang saat kemarahan menguasai diri kita anggap sebagai lawan atau musuh—bukanlah kelemahan. Namun kecongkakan kita untuk menganggap diri sendiri benar dan tidak (pernah) salah mengaburkan mata kita dari mempertimbangkan pandangan orang lain. Kita bahkan mengabaikan suara hati. Rasio pun tunduk kepada hasrat merasa benar.

Pada akhirnya, bila kita mau bersikap rendah hati, kita akan sampai pada pengakuan bahwa kita belum tentu benar dan tidak selalu benar. Bahkan, apa yang semula kita anggap benar suatu saat kita mungkin akan melihatnya mengandung kelemahan dan kesalahan. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 jam lalu

Terpopuler