x

Iklan

prima dwianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Waris, Waras, dan Wasis

Edukasi mampu menumbuhkan kesadaran untuk setara dan lepas dari belenggu kolonialisasi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda, awal abad XX, berbelok dari eksploitatif ke arah konstruktif. Tuntutan kaum etisi untuk memperadabkan pribumi (civilizing mission), dengan slogan the white man’s burden, melewati jalur modernisasi. Edukasi, sepertiga kebijakan yang termaktub dalam “Trias van Deventer” menjadi warisan kolonialisme yang mampu mewaraskan pribumi dari keterpurukan. Pribumi pun wasis melantangkan tuntutan kemerdekaan.

Kemunculan oposisi di parlemen Belanda pertengahan abad ke-19, baik berhaluan liberal maupun humanis, tak ubahnya musuh dalam selimut yang menuntut reinterpretasi kebijakan di wilayah koloni. Kaum liberal menentang praktik cultuurstelsel yang begitu eksploitatif hingga tak memberikan ruang bagi pribumi untuk menikmati kondisi sosial ekonomi yang mumpuni. Samentara, penganut humanisme begitu satire menyetir kebijakan pemerintah kolonial lewat tulisan.

Goresan Eduard Douwes Dekker, alias Multatuli, berjudul Max Havelar,menimbulkan kontroversi di negeri Belanda karena sentilannya terhadap praktik-praktik eksploitasi jajaran birokrasi, baik Eropa maupun pribumi, kolonialisme beriring feodalisme. Sejalur dengannya, C. Th. van deventer, lewat Een eeresschuld (suatu hutang kehormatan) yang terbit pada jurnal Belanda, de Gids, 1899, memandang perlunya membalas budi kepada pribumi sebagai kewajiban moral, mengingat betapa besarnya keuntungan yang berhasil diperas dari wilayah koloni. Tuntutan mereka terealisasi, meski penuh kontroversi, saat Ratu Wilhelmina berpidato di hadapan parlemen Belanda, 17 September 1901, yang menjadikan pandangan etis sebagai haluan baru (nieuw keurs) kebijakan pemerintah kolonial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Implementasi usul kaum etisi paling mengena bagi nusantara, edukasi, diputar melalui asosiasi serta asimilasi dalam tataran kultural. Demi mengekalkan ikatan kolonial perlu adanya papan yang mampu menjembatani dan mengintegrasi dunia Timur dengan Barat, baik kebudayaan maupun alam pemikiran. Meskipun hanya menjangkau segelintir elit pribumi, tercatat, pada 1903, terdapat 43 sekolah kelas I yang mengajarkan membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, dan menggambar, berpusat di ibu kota karesidenan dan ibu kota afdeling. Sementara sekolah kelas II, di Jawa dan Madura, pada tahun yang sama terhitung berjumlah 245 sekolah negeri serta 326 sekolah swasta yang 63 diantaranya dari zending.

Konsekuensi dari edukasi di kalangan pribumi ialah terjadinya polarisasi yang meruncing antara priyayi profesional dengan priyayi birokrat. Golongan pertama, seperti para lulusan sekolah dokter Jawa (STOVIA), merupakan kelas menengah baru yang tak terikat otoritas resmi. Berlawanan arah dengan priyayi birokrat yang mempertahankan status quo dengan kenikmatan peran tradisionalnya. Namun, keduanya lantang mengkritisi kebijakan politik asosiasi yang menjadi senjata pemerintah kolonial untuk tetap memelihara perpecahan di kalangan pribumi demi kemudahan kontrol kekuasaan. Bak bom waktu yang siap meledak kapan saja, edukasi, menumbuhkembangkan jiwa nasionalistis di kalangan pribumi.

Cikal bakal sikap nasionalistis dapat dirunut pertama kali lewat tulisan R.M. Suwardi Soerjaningrat, Als ik eens Nederlander was, yang terbit dalam surat kabar de Express, 1913. Ia memprotes perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari jajahan Perancis di tengah keterpurukan sosial-ekonomi pribumi. Kesadaran nasional mulai tumbuh dan semakin nyata pada dekade 1920-an lewat organisasi-organisasi yang bercorak nasional, meninggalkan konsep lama yang berorientasi etnis (kesukuan), agama, dan bersifat lokal kedaerahan yang muncul sedekade sebelumnya.

PNI (Partai Nasional Indonesia), PI (Perhimpunan Indonesia), serta PKI (Partai Komunis Indonesia) menjadi pionir dalam menyuarakan agitasi terhadap pemerintah kolonial secara radikal revolusional. Aktivitas PNI dicap sebagai demagogi berwujud hasutan rakyat untuk menentang pemerintah kolonial. PI berisi pribumi-pribumi paling terpelajar yang berani menentang romantisme kolonial serta imperialisme. Sementara PKI memberontak pemerintah kolonial, 1926-1927, meski mengalami kebuntuan. Ide nasional mengkristal ketika berkumandangnya Sumpah Pemuda, akhir tiga dekade awal abad XX, serta lantunan proklamasi yang menyatakan kemerdekaan Indonesia setelah lepas dari pendudukan saudara tua Asia, Jepang, 1945.

Edukasi mampu membuka mata nusantara untuk lepas dari penjara dan belenggu kolonialisme. Kesadaran untuk setara menentang imperialisme, berujung manis dengan kemerdekaan yang dirasa. Sudah saatnya kini, edukasi menjadi prioritas dan kunci menggapai mimpi di hari nanti. Karena, warisan edukasi yang mumpuni akan mewaraskan generasi penerus bangsa untuk wasis menggemakan keadilan.

PRIMA DWIANTO

Alumni Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UGM

Ikuti tulisan menarik prima dwianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler