x

Tradisi Barikan juga sebagai wujud toleransi antar warga dan suku yang mendiami pulau itu, seperti suku Madura, Bajo, dan Bugis. ANTARA/Yusuf Nugroho

Iklan

Anthomi Kusairi SH MH

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merajut Pluralisme, Merangkai Negara Bangsa

Apakah memang kita masih memiliki nilai luhur yang dahulu kita banggakan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Merangkai Negara Bangsa (Nation State) kata kuncinya adalah dari semangat awal berdirinya sebuah negara bahwa kita hadir sebagai satu kesatuan yang utuh diawali dari sejarah panjang terbentuknya suatu bangsa. Seiring berjalannya waktu kearifan lokal yang ada teridentifikasi menjadi nilai-nilai yang sama. Didalamnya akan ditemukan karakter yang terbangun, jiwa serta penafsiran yang hidup yang menjadi ciri khas dari tumbuh dan berkembangnya Negara Bangsa.

Kalaupun hari ini kita masih belum melihat secara utuh Indonesia sebagai Negara Bangsa. Hal itu tentu tidak terlepas masih terus berprosesnya bangsa mencari rumusan sejati tentang negeri. Akan dibawa kemanakah dan akan seperti apa karakter negeri, bahwa rumusan itu juga akan ditentukan melalui seberapa panjang sejarah yang telah warga negara buat dari hari ke hari. Tentu apa yang telah terjadi serta apa yang berkembang mengikutinya juga tidak terlepas dari nilai-nilai sejarah dimasa lalu.

Maka nilai-nilai sejarah awal, merupakan pondasi dasar untuk membangun diri menjadi sebuah negara, hari ini nilai itu telah mengalami pendangkalan akibat perilaku menyimpang dan pragmatisme. Tentu kemudian kita akan bertanya, bagaimana perilaku dan paham itu dapat dihilangkan jika telah melekat pada suatu bangsa dan ketika masyarakatnya telah menjadi pesimis ? Apakah dikemudian hari mampu menghimpun kembali nilai – nilai sejarah awal itu menjadi idealisme?

Berbagai persoalan yang kita hadapi hari ini pantas untuk dipertanyakan, apakah memang kita masih memiliki nilai luhur yang dahulu kita banggakan dan mampu menjadi pengikat bagi seluruh warga bangsa. Kriminalisasi, Diskriminasi, Rasialisme, dan seterusnya telah memberikan gambaran secara jelas, bahwa nilai yang berkembang telah jauh melenceng dari sebuah cita-cita awal berdirinya sebuah bangsa.       

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lebih luas lagi, berbagai manuver politik – khususnya menjelang pilkada – justru berkembang dukungan warga masyarakat yang cukup besar terhadap partai –partai politik yang sedang bertarung dan menyebabkan pengelompokan atas cara pandang yang berbeda. Padahal kekuatan partai politik diharapkan mampu menjadi kekuatan pemersatu atas realitas yang berbeda itu. Tuduh – menuduh antar kekuatan politik yang satu dengan yang lain, misalnya, berkembangnya istilah Kafir, Fundamentalis Islam, Komunis dan seterusnya, adalah perilaku politik yang menggambarkan ketidaksiapan untuk hidup bersama dalam sebuah sistem.      

Tentu kemudian mesti diakui secara jujur, yang hilang adalah kepedulian atau nilai kebersamaan dalam satu ikatan serta solidaritas dalam sebuah komunitas. Jelas untuk menumbuhkan sebuah negara yang kuat, haruslah dimulai dari nilai-nilai kesetaraan yang justru anti diskriminatif  (faktor perpecahan) dan menuntut asas-asas hukum ditegakkan. Maka betapa pentingnya melihat bahaya pluralisme kalau tidak ada upaya merajut kembali dalam bingkai sebuah bangsa, serta betapa pentingnya menegakkan hukum sebagai sebuah solusi dan jati diri sebuah negara.  

Merajut Pluralisme, Merangkai Negara Bangsa sebagai judul yang dipilih bukan semata-mata lantaran ramainya pemberitaan tentang penistaan agama oleh Ahok, atau adanya pengeboman gereja di Samarinda oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tetapi istilah merajut sendiri dipilih untuk menggambarkan bahwa pemimpin haruslah memiliki semangat untuk menjahit setiap perbedaan serta keberagaman yang ada menjadi sebuah kekuatan yang mesti dikelola sehingga kita sadar akan arti pentingnya nilai-nilai persatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Realitas politik yang berkembang justru mencerminkan politisasi terhadap dukungan rakyat yang dilakukan oleh pelaku politik untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja, bukan rakyat. Hal ini yang menimbulkan ketidakpercayaan rakyat atas sistem demokrasi yang ada. Disamping itu berkembang pula gejala hegemoni politik yang berbasis pada dukungan salah satu blok saat terjadinya perang dingin. Tentu hal ini mengisyaratkan masih kuatnya paham dan ideologi besar dunia dalam lingkungan politik nasional.        

Kekerasan visual yang mengindikasikan adanya saling serang antar elit politik dan pimpinan organisasi kemasyarakatan merupakan gejala yang patut mendapatkan prioritas untuk diperhatikan. Hal ini tidak hanya dilihat dari gejala saling lapor melaporkan atau banyaknya aksi protes yang muncul. Akan tetapi patut juga untuk diamati adalah mulai munculnya benturan antar peradaban dengan memanfaatkan dinamika politik sipil yang mengatasnamakan rakyat, yang lebih menakutkan adalah dinamika politik ini dimanfaatkan oleh elit politik kemudian menggunakan cara, tindakan dan infrastuktur kekerasan sebagai alasan melegitimasi hasrat politiknya.  

Dalam kondisi seperti ini, ironisnya sistem politik yang dibangun memungkinkan kelompok elit partai membagi kekuasaan semata-mata untuk mempertahankan dan merebutnya kembali dipemilihan umum yang akan datang. Hal ini jelas berbeda bila melihat tujuan awal mengapa partai politik didirikan, yakni untuk menjahit perbedaan yang ada ditengah masyarakat sehingga yang berbeda bisa menjadi satu kesatuan dan bersama mencapai cita-cita para pendiri bangsa.        

Hari ini gambaran tersebut amatlah menyedihkan, upaya mempertahankan eksistensi politik cenderung mengorbankan kebebasan yang ada, diletakkannya sel-sel intelijen untuk memata-matai rakyat. Sel dari kekuatan intelijen itulah muncul dalam kaitannya pengagungan nilai-nilai rezim. Nilai itu secara umum muncul dalam bentuk perilaku dan teror politik, seperti pembentukan satuan tugas (satgas) sterilisasi partai atau organisasi masyarakat, penggunaan oknum-oknum dengan kekuatan fisik atau dipersenjatai untuk mengancam lawan-lawan politik dan seterusnya. Teror politik secara verbal adalah bagian lain dari perilaku ini. Makin seringnya teror tersebut muncul merupakan penguatan gejala kekerasan politik akibat nilai-nilai yang dianut oleh suatu rezim.  

Disinilah seharusnya kita kembali bertanya apakah benar kesadaran dari semua proses politik itu telah diwarnai oleh nilai-nilai demokrasi atau justru sebaliknya. Sebab dengan berbagai perilaku, pandangan dan tindakan kekerasan politik yang demikian mengkhawatirkan itu, sulit kiranya dapat dicapai sebuah ruang yang sehat bagi tumbuhnya demokrasi dan sebuah nilai bersama dalam membangun Nation State.

 

Negara Bangsa  

Banyak pandangan yang menyatakan bahwa proses demokratisasi haruslah diikuti penataan kembali tujuan berbangsa dan bernegara, khususnya memperkuat sistem hukum yang berkeadilan serta membangun kekuatan politik sipil yang tangguh, yaitu dengan memberikan kebebasan dan ruang untuk dapat menyampaikan pendapat tanpa takut terhadap intervensi negara yang menjadikan polisi dan kekuatan militer semata-mata state aparatus dibawah rezim yang cenderung otoriter.

Di Indonesia, upaya dan tuntutan penegakan hukum dan keadilan (supremasi hukum) itu harus dilakukan tanpa membeda-bedakan orang, seperti penegakan hukum secara tuntas terhadap kasus mega korupsi yang mangkrak, pengusutan pelanggaran HAM dimasa lalu serta pejabat publik yang terlibat tindak pidana. Berbagai langkah perubahan tersebut penting untuk segera ditindaklanjuti. Akan tetapi perubahan itu tidak secara langsung merubah perilaku rezim yang hampir sama dengan perilaku rezim yang berkuasa dimasa lalu yang hanya dikendalikan oleh kepentingan sekelompok orang saja.

Dalam perdebatan tentang definisi Negara Bangsa, memang harus dijauhkan dari semata-mata terkooptasinya Negara Bangsa pada ideologi bangsa lain. Para pendiri negeri telah panjang lebar berdiskusi tentang arti, peran dan tujuan mengapa perlu adanya Indonesia merdeka, sebagai sebuah bangsa yang sejajar dengan bangsa lain didunia (sebagai arus utama) mampu berperan bebas aktif dan peran tersebut kemudian diperhitungkan dalam membangun peradaban dunia. Kalau hari ini penataan sistem politik menghendaki demokrasi sebagai metode atau cara dengan segala konsekuensi logisnya, tidaklah menjamin rezim yang dilahirkan demokratis untuk memimpin suatu negeri dan ini berpengaruh terhadap peran suatu negeri dalam blantika politik global.

Perlu dibedakan antara membangun sistem yang demokratis dengan semata-mata menghalalkan segala cara demi merebut singgasana. Disini harus dijelaskan pemahaman antara tatanan negara dan berdirinya sebuah bangsa, dengan mengelola perbedaan tanpa mengabaikan suara rakyat kebanyakan. Tatanan negara tidak hanya dibangun pada tingkat formal saja, dan ini dapat berbasis pula pada kekuatan politik yang mampu mendominasi perekonomian baik ditingkat nasional maupun internasional. Sehingga membangun demokrasi adalah menghormati pandangan dan perilaku serta prinsip-prinsip dalam sistem yang amat kuat menjunjung tinggi penghargaan terhadap universalisme.

Tindakan mendasar dalam upaya perubahan adalah justru terletak pada kesadaran akan nilai-nilai yang diyakini benar oleh sebagian besar penggiat politik bahwa demokrasi itu adalah ada dan tidak sama dengan cara – cara otoriter mempertahankan kekuasaan. Arti penting perubahan adalah membangun nilai dan budaya demokrasi serta merangkai negara bangsa diatas rajutan pluralisme. Sedangkan ditingkat formal adalah lebih merupakan kristalisasi dari berbagai keyakinan berbeda bagi upaya mewujudkan demokrasi yang sehat.

Sebuah perubahan baik yang berlangsung secara progresif ataupun masif, aspek perubahan nilai dan budaya adalah sesuatu yang bersifat mendasar. Betapa perubahan tanpa koreksi dan kritik yang membangun pada rezim yang berkuasa adalah tidak lebih menanamkan bom waktu kehancuran kepada bangsa ini yang akan melemahkan seluruh urat nadi kreatifitas anak negeri dalam menegakkan sistem yang adil. Lalu kepada siapa koreksi dan kritik ini akan diberi?

 

 

Oleh: Anthomi Kusairi, SH., MH.

Pendiri Roda Indonesia Institute. Panitera Pengganti Pada Pengadilan Negeri Bekasi.

Ikuti tulisan menarik Anthomi Kusairi SH MH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

13 jam lalu

Terpopuler