Mungkin saya termasuk orang yang tidak terlalu risau dengan fenomena hoax di era media sosial sekarang ini. Dan ini beberapa alasannya:
Pertama, sebuah analisis yang ditulis seorang intelektual tenar dalam sebuah artikel populer yang dipublikasikan di media massa mainstream, tentang situasi politik tertentu, lalu terbukti analisisnya salah, maka analisisnya itu juga "mendekati kebohongan". Atau malah kebohongan itu sendiri.
Kedua, bahkan sebuah penemuan ilmiah yang baru mewakili sebagian fakta ilmiah - dan belum diposisikan sebagai teori yang berlaku umum - pada dasarnya adalah separuh kebohongan, sebab belum dapat mewakili kebenaran ilmiah secara penuh, atau sebagian besar kebenaran.
Ketiga, kalau hoax identik dengan kebohongan, maka salah satu ikon modernitas yang paling layak disebut hoax adalah iklan dengan segala jenisnya, di media cetak ataupun di media elektronik. Sebab semua iklan pada dasarnya mengandung kebohongan yang disengaja.
Coba sesekali mencermati iklan kecantikan, yang mempertontonkan sebuah produk kosmetik yang membuat aktor iklannya, awalnya kelihatan agak hitam dan kusam lalu menjadi putih mulus. Padahal aktor iklan itu sebenarnya memang sudah putih, lalu dibuat hitam, melalui teknik tertentu, dan begitu menggunakan kosmetiknya, aktor iklan itu langsung berkulit putih kinclong. Dibohongi kan? Itu hoax atau bukan?
Keempat, kehidupan adalah percampuran atau lebih tepatnya proses yang dinamis, yang berayun antara kebenaran dan kebohongan. Pengalamanlah yang kemudian membuat kita mampu membedakan mana kebenaran dan mana kebohongan.
Kelima, hoax menjadi persoalan lebih karena intensitasnya, dan tampaknya kita belum siap bagaimana mengelolanya. We don't know yet how to deal with it.
Syarifuddin Abdullah | 17 Januari 2017 / 19 Rabiul-tsani 1438H
Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.