x

Iklan

Hendri Mohammad

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bertambahnya Kuota Haji, Sinyal Buruk bagi Pemerintah

Persoalan haji dan umroh di Indonesia masih menjadi polemik klasik yang tak kunjung selesai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Persoalan haji dan umroh di Indonesia masih menjadi polemik klasik yang tak kunjung selesai. Seperti labirin yang tak bisa diurai, menjadi “masalah tahunan”. Padahal kalau mau berusaha lebih keras, masalah-masalah krusial yang biasa kita lihat setiap tahun, setiap pelaksanaan ibadah haji, itu bisa diminimalisir dengan upaya mengetahui akar masalahnya. Masalahnya, banyak stakeholder dalam pelaksanaan ibadah haji itu mulai riweuh ketika momen ibadah haji sudah dekat, padahal itu bisa dilakukan kapan saja.

Meski harus diakui, ada beberapa perbaikan fundamental yang dilakukan oleh pemerintah, tapi tetap saja kita merasa was-was, terutama soal pelayanan, keamanan, dan perlindungan. Belum lagi dengan tidak jelasnya pengelolaan dana haji yang jumlahnya fantastis. Masyarakat yang menyetor dana haji atau dana-dana lain sebagai tambahan tidak mau ambil pusing karena itu urusan ibadah. Kalau hal ini disalahgunakan, seperti banyak kasus sebelumnya, tentu rakyat yang dirugikan terutama terkait pelayanan yang mestinya diberikan.

Setidaknya, ada 9 (sembilan) masalah krusial yang ditemukan dan menjadi sorotan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPIH). Pertama, pengawasan organisasi, tata kerja, dan petugas. Kedua, pengawasan aspek administrasi dan keuangan. Ketiga, pengawasan pelaksanaan bimbingan ibadah. Keempat, pelayanan akomodasi. Kelima, pelayanan transportasi. Keenam, pelayanan konsumsi. Ketujuh, pelayanan kesehatan. Kedelapan, pengawasan dari aspek perlindungan dan pengamanan jamaah. Kesembilan, pengawasan terhadap penyelenggaraan haji khusus dan umroh (Pikiran Rakyat, 14/6/16).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal ini diperparah dengan pelaksanaan umroh yang semakin mengkhawatirkan. Seiring dengan semakin lamanya waiting list untuk melaksanakan ibadah haji, banyak masyarakat yang kemudian memilih untuk melaksanakan umroh. Menurut catatan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU), sebelumnya jamaah umroh Indonesia rata-rata hanya 150-200 ribu pertahun. Tapi tahun 2014 jumlah itu meningkat hingga 700 ribu. Jumlah itu semakin meningkat dari tahun ketahun. Melihat potensi menguntungkan itu, ada banyak pihak yang kemudian mencari kesempatan di tengah kesempitan, terutama yang dilakukan oleh agen-agen umroh bodong. (mirajnews.com, 16/2/2016)

Momen tersebut, banyak dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan dengan mangabaikan kewajiban yang diharus dilakukan dan hak yang harus diberikan. Seperti yang terjadi pada para jamaah First Travel, yang telah melakukan pembohongan, bahkan penipuan. Dengan pembiayaan sebesar 26,5 juta, jamaah mendapatkan pelayanan dan fasilitas sekelas umroh promo yang hanya membayar 12,8 juta (Republika, Jurnal Haji dan Umrah, 14/3/2016). Hal semacam itu dilakukan oleh provider sekelas First Travel yang pernah mendapatkan Rekor Muri setelah melaksanakan Manasik Umrah Akbar yang diikuti 35 ribu jamaah. Lalu bagaimana dengan travel-travel lainnya?. Setidaknya, sepanjang tahun 2016 ini, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah mencatat bahwa sampai September 2016, sudah ada 18 kasus yang dilimpahkan ke Bareskrim Mabes Polri. Kasus-kasus tersebut umumnya terkait pelanggaraan penyelanggara umrah yang tidak bisa diselesaikan melalui mediasi (Republika, Jurnal Haji dan Umrah, 3/12/2016).

Permasalahan terbaru yang membuat semakin runyam adalah ketika umroh dijadikan “jalan tikus” untuk menjadi TKI di Arab Saudi. Moratorium yang diputuskan oleh pemerintah menjadi “ompong” karena ternyata ibadah umroh dijadikan cara untuk memasukkan TKI Ilegal ke Timur Tengah, baik itu langsung ke Arab Saudi maupun transit ke beberapa negara terlebih dahulu. Para oknum yang biasanya melakukan pengiriman TKI bermodus perjalanan umrah mulai dari peranan calo atau petugas rekrut di berbagai daerah hingga oknum perusahaan perjalanan wisata. Ini sudah berlangsung cukup lama dan belum ada indikasi yang jelas dalam penanganannya (bisnis.com, 19/3/2013).

Umrah, kini menjadi kedok untuk memberangkatkan TKI secara ilegal, khususnya ke Arab Saudi. Diyakini, modus ini telah melebar menjadi sindikat perdagangan manusia. Kedok umrah ini menjadi bisnis tersendiri bagi pihak yang bertugas mencari calon pekerja karena tawaran upah berlipat ganda. Biasanya agen menerima upah Rp 10 juta setiap mendapatkan TKI yang bersedia bekerja di luar negeri. Namun, untuk praktik ini, mereka bisa dibayar hingga Rp 20-40 juta per TKI. Sementara itu, dilain pihak, rata-rata yang diberangkatkan ke Arab tidak mengetahui adanya moratorium (Pikiran Rakyat, 19/8/2015).

Para calon pekerja ini hanya berpikir bagaimana caranya mengubah hidup mereka, bekerja dengan gaji besar. Sehingga wajar ketika mereka lebih memilih untuk tidak pulang, dan menjadi TKI ilegal di Arab Saudi karena himpitan hidup yang semakin kuat dan negara seperti abai memikirkan rakyatnya yang tidak punya pekerjaan. Seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan. BP2TKI Kalsel merilis data, bahwa sekitar 80 % jumlah tenaga kerja Indonesia asal Kalsel yang bekerja di Arab Saudi berangkat melalui biro perjalanan ibadah umroh. Kondisi tersebut mengkhawatirkan karena status ilegal, memungkinkan sewaktu-waktu untuk dideportasi (beritasatu.com, 3/5/2015)

Sayangnya, hingga kini pemerintah terkesan acuh untuk menyelidiki modus semacam ini. Memang betul, sulit untuk mendeteksi karena mereka memiliki surat-surat, visa, paspor semua lengkap kemudian berangkat. Namun pemerintah tidak boleh abai untuk lebih memperhatikan pelaksanaan ibadah umroh yang acak adut dan telah merugikan banyak masyarakat. Sebab kalau pelaksanaan ibadah umroh tetap dibiarkan menjadi jalan mulus bagi para calon TKI Ilegal, sama artinya pemerintah semakin menumpuk masalah, disaat masalah sebelumnya juga belum terselesaikan. Permasalahan klasik seperti TKI yang terjerat kasus hukum, mengalami penganiayaan, terjerumus dalam aktivitas perdagangan manusia (human trafficking), TKI yang akan dipancung, dan deportasi akan tetap terus terjadi jika pemerintah tidak concern untuk menyelesaikan masalah ini.

Ikuti tulisan menarik Hendri Mohammad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler