Waktu menjelang senja, cahaya matahari mulai temaram di Jowahan, Borobudur. Dusun tua itu tampak sepi dari aktifitas penduduknya. Sesekali hanya terlihat seseorang berjalan di sepanjang jalan desa, seolah tengah menyusuri nasib yang tercecer diantara senja yang purba. Aroma ikan asin yang matang, datang tiba-tiba bersama desis angin. Sekejap, bau itu mengoda rasa lapar yang sembunyi.
Di ujung dusun, terlihat suasana beda dari rumah lain di Jowahan. Sebuah rumah yang bediri rapuh menyangga ketuaanya tengah dipenuhi keramaian celoteh anak-anak berusia TK dan sekolah dasar. Mereka asik belajar dengan kertas dan pensil warna di sepanjang teras rumah yang dikenal sebagai ‘Keluarga Kloneng’. Diantara mereka ada yang menangis tiba-tiba. Seorang pria berambut ikal panjang berteriak menegur anak-anak yang dianggap tak bersikap adil terhadap salah satu teman mereka.
Ia berdiri diantara pintu yang terbuka. Tubuh dan tangannya dipenuhi tatto. Wajahnya tengadah menantang suara-suara kecil yang mengadu dan membantah.
“Mereka tengah belajar melukis sama Tito,” jelas perempuan muda berpakain ala Gipsy. “Biasa tuh anak-anak sukanya ribut. Panggil aku Yasmin, “ Pintanya kemudian.
Yasmin mempersilakan masuk. Senja merapat dan tingkap. Suara adzan maghrib terdengar kemudian. Di luar, anak-anak mulai bubar. Mereka pamit satu persatu setelah memberi salam pada Tito Yoyo. Peralatan belajar melukis mereka ditumpuk rapi di sebuah rak tua di dalam rumah. Di sekitarnya , lukisan-lukisan yang bercorak surealis menempel rapi di tembok.
Aktifitas ini sudah lama berlangsung, cerita Yasmi. Tito Yoyo melakukannya sejak di Bali. Kebiasaan itu kemudian dilanjutkan ketika ia memutuskan hijrah ke Borobudur. Anak-anak menyukainya. Mereka memanggilnya sebagai ‘Bang Yoyo’.
“Bang Yoyo orangnya baik, aku suka belajar sama dia,” jawab salah seorang anak ketika ditanya.
Merawat Alam
Tinggal di sekitar kawasan Sungai Progo Borobudur, Magelang beberapa tahun lalu –ia memulai gerakkan kebudayaan dalam makna yang luas. Ia melihat ketidakadilan masyarakat terhadap lingkungan. Burung-burung ditembaki, ikan-ikan dipunahkan dengan racun, sengatan listrik atau bom karbit. Sungai-sungai dikeruhkan dengan segala kotoran serta tanah ditanduskan dengan sampah-sampah plastik. Gerakkan pembebasan alam dari penindasan manusia pun dimulai. Tradisi kehidupan yang baru dan adil terhadap alam harus dibenihkan dan segera ditanam.
Maka sejak itu ia bertekad. Semula ia punguti sendiri setiap sampah plastik di setiap jengkal langkah yang ia lihat. Orang-orang kampung menertawakannya. Teman-temanya hanya geram melihat kesibukkannya. Ada sesuatau yang asing dalam tradisi kegiatan Tito Yoyo selain melukis. Bagi mereka sampah adalah sampah yang tak bermasalah dengan tanah dan eksistensi hidup mereka. Pada titik tertentu, orang-orang lantas menganggapnya sebagai seniman yang gila.
Setiap pagi dan petang ia menyambangi Sungai Progo yang coklat. Menyapanya dan mencoba merawatnya dari ketidakadilan manusia. Kemudian ia mulai mencoba menegur para pemburu burung yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Terkadang ia pun bertemu dan menyindir halus para nelayan Sungai Progo yang membawa bom karbit atau penyengat listrik.
“Tak ada yang marah,” katanya. “ setidaknya di depanku mereka tidak menunjukkan kemarahan. aku hanya menyapa mereka saja. Dengan sedikit bercanda. Sekarang, mereka menjadi malu melakukan perusakkan alam itu.”
Apa yang diperjuangkannya tidak sia-sia. Saat ini, apa yang dilakukannya menunjukkan hasil. Ada banyak masyarakat yang mulai sadar untuk tidak berburu burung,membuang sampah plastik atau merusak sungai.
Hijrah
“Pergi dari Bali’, kenangnya pada malam itu, sesungguhnya adalah perlawanan spiritual. Bali tak lagi memberinya rasa nyaman. Keriuhannya yang artifisial membuatnya harus mencari tempat yang lebih sunyi. Dimana kelegaan hatinya mampu memberikan ruang bagi eksistensi rasa damainya. Dan Borobudur adalah tempat yang dipilih. Setidaknya ia mengikuti hati naluri. Maka, ia berniat merawat dan menjaga Borobudur.
“Aku bermimpi tentang sungai yang mengalir. Bermimpi tentang dua sungai yang bertemu. Dua kekuatan spritual alam yang menyatu. Dan aku menemukannya di Sungai Elo dan Progo.”
Setelah beberapa lama menjadi bagian Borobudur orang-orang semakin mengenal dan memahaminya. Beberapa orang mengikuti dan mendukungnya. Lantas ia mengajarkan pada anak-anak melukis. Dari melukis, ia mengenalkan dan menanamkan pada mereka untuk mencintai lingkungannya. Mengajarkan tentang kepekaan, rasa damai, toleransi dan persaudaraan.
Aktifitasnya ini kemudian didukung teman-temannya dari Eropa. Seorang Profesor Seni Rupa dari Swiss, Anna Vaugt, misalnya, menyebutnya sebagai seniman lukis yang memiliki integritas tinggi. Penuh kualitas tidak saja secara artistik, tetapi juga daya intelektual yang tajam dan peka terhadap lingkungan.
“Tito Yoyo itu seniman murni,dia melukis karena merasa memang harus melukis.” Kata Andri Topo, salah seorang anggota ‘Keluarga Kloneng’. Menambahkan .
“Dia tidak memamerkan karyanya seperti cita-cita pelukis lazimnya. Meskipun begitu, karyanya banyak dikoleksi teman di Eropa dan Amerika.”
Ikuti tulisan menarik Ranang Aji SP lainnya di sini.