x

Terdakwa kasus suap pengurusan penundaan panggilan pemeriksaan terhadap Dahlan Iskan, AKBP non aktif Brotoseno, mendengarkan pembacaan vonis atas dirinya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 14 Juni 2017. Majelis Hakim yang diketuai Baslin Sinaga menjatuh

Iklan

Anthomi Kusairi SH MH

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kritik, Integritas, dan Jawaban Hukum

Revolusi sistem lembaga peradilan tengah berjalan dengan apresiasi dari publik yang cukup tinggi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai tata hukum mempunyai pokok bahasan hubungan antara manusia dengan individu lainnya dan hukum merupakan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya. Adapun hukum sebagai dasar-dasar kewenangan dari putusan – putusan pengadilan dan tindakan administratif (law as tool of social engineering).

-Roscoe Pound-

  

Integritas hukum dan keadilan, dapatkah berjalan seiring. Pertanyaan itu menjadi amat penting ketika banyak persoalan hukum dan keadilan datang silih berganti diberbagai lembaga penegakan hukum dan sangat mengkhawatirkan akan terjadinya hilangnya kepercayaan publik. Disisi lain, reaksi negara mengatasnamakan stabilitas dan pemulihan ekonomi nasional telah berbuntut dengan semakin tumpang tindihnya persoalan penyelesaian hukum. Tetapi kemudian pertanyaan dan situasi dilematis akan selalu muncul mengiringinya. Selanjutnya, bahwa penyimpangan hukum akan terjadi demi keharusan mempertahankan stabilitas bangsa. Pertanyaan ini tidak seharusnya dijawab iya atau tidak, akan tetapi dicarikan jalan keluar penyelesaiannya yang amat dibutuhkan.                  

Pemahaman tentang integritas hukum seharusnya juga menjadi perdebatan penting untuk didefinisikan secara tepat dan jujur. Mengingat dalam konteks hubungan negara dan kepentingan publik khususnya masyarakat pencari keadilan, serta berbagai persoalan dengan kelompok-kelompok kepentingan, pemahaman integritas hukum akan mengalami banyak pergeseran dan manipulasi karena hukum hanya sekedar dijadikan alat oleh rezim yang berkuasa usianya sudah sama tuanya dengan usia perkembangan manusia dimuka bumi ini, bentuknya dapat berupa mengkontrol aktivitas para penegak hukum, serta melancarkan intimidasi dan serangan tanpa memperoleh kepastian siapa yang telah melakukannya. Bahkan faktor integritas telah menjadi momok yang menakutkan dan menjadi alat yang ampuh ketika melawan agenda ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini.   

Pelbagai permasalahan yang muncul setelah reformasi 1998 benar-benar telah menguras tenaga dan pemikiran serta menimbulkan ketidakpastian hukum yang meresahkan meledaknya kasus BLBI, terbunuhnya Munir, Penembakan Hakim Syafiuddin Kartasasmita, tertangkaptangannya para pejabat publik, kasus cicak buaya, serta berbagai pertikaian elit yang mengatasnamakan hukum dan keadilan yang kemudian memunculkan berbagai pertanyaan tentang rentannya sistem dan banyaknya tantangan dalam mempertahankan integritas hukum. Disisi lain ketegangan politik nasional juga menyelinap kedalam ruang privasi para penegak hukum, seperti telah terpolarisasinya masyarakat hukum dalam kotak-kotak kepentingan elit politik, perang wacana, bahkan infiltrasi terhadap hukum dan keadilan yang membuat sistem itu sendiri terancam kelumpuhan.     

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kompleksitas persoalan integritas ini telah jauh lebih luas dari berbagai dasar persoalan integritas yang banyak ditulis oleh berbagai kalangan. Problem yang muncul kemudian faktor-faktor integritas yang lahir justru terganggu dan terhambat karena kelemahan mendasar pada sistem hukum yang telah lama terbangun, aktivitas politik serta berbagai pragmatisme politik yang merasuki sistem didalamnya, bahkan langkah-langkah simplistis yang dilakukan steak holder dalam rangka dan atas nama memperkuat integritas kelembagaan. Sehingga, kompleksitas persoalan itu bukannya semakin menyempit justru semakin meluas jika dibandingkan dengan satu dasawarsa yang lalu.        

Karena jauh-jauh hari berbagai persoalan yang melemahkan integritas hukum ini telah lama diingatkan oleh Mochtar Kusuma Atmadja, bahwa “Hukum yang memadai itu bukan hanya memandang hukum sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula meliputi aspek kelembagaan (institusi) dan segala proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu menjadi kenyataan.” (Mochtar Kusuma Atmadja, Hal, 15, 1976)

Lebih jauh, berbagai permasalahan yang saat ini ada dan sedang dihadapi sebenarnya akan menjadi mudah jawabannya ketika aparat hukum menutup kedua matanya dalam mempertimbangkan dan memutuskan perkara-perkara yang ada. Karena hakekatnya hukum hadir tanpa membeda-bedakan orang merupakan cermin sebuah hukum yang berkeadilan dan berintegritas, akan menjadi lebih sulit ketika hukum hanya tegas diatas kertas tetapi lemah dalam penegakkannya. Maka sebenarnya hukum bukan hanya tajam kebawah namun tumpul keatas dan pedang keadilan dihunuskan bukan hanya kepada rakyat jelata namun juga rezim yang berkuasa. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastro Pranoto, SH. Hukum sebagai “Peraturan yang bersifat memaksa”.

Gambaran hukum itu, masih teramat sempit jika kita melihat apa yang dikatakan oleh Soerjono Soekamto tentang beberapa definisi hukum sebagai sifat-sifat dasar dari hukum itu sendiri, yaitu : (1) hukum dalam arti ilmu pengetahuan; (2) hukum dalam arti disiplin atau sistem ajaran tentang kenyataan; (3) hukum dalam arti kaidah atau norma; (4) hukum dalam arti tata hukum positif tertulis; (5) hukum dalam ati keputusan pejabat; (6) hukum dalam arti petugas; (7) hukum dalam arti proses pemerintah; (8) hukum dalam arti perilaku yang teratur atau ajeg; (9) hukum dalam arti jalinan nilai-nilai; serta (10) hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan (dalam”De Legibus”, Tullius Cicerco).               

Pandangan Soerjono diatas tampaknya masih mengandung kelemahan, dimana hukum dalam arti perilaku yang teratur dan ajeg tidaklah demikian, seolah datar (flat) merupakan definisi yang kurang dapat diterima untuk mempertahankan integritas hukum. Tampaknya dalam cara pandang yang sama rezim – rezim otoriter telah membangun hukum dengan berbagai paksaan fisik, kekerasan, sebagai alat penjaga kekuasaan. Sebagaimana upaya Pemerintah dan POLRI yang terus menerus memproduksi gagasan yang menyudutkan dan membangun paradigma untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam konsep ini mungkin perlu dilihat pada apa yang sedang POLRI lakukan dengan berbagai penangkapan Pelaku Makar diberbagai daerah, seperti di Jakarta, Surabaya, Jawa Barat.   

Konsep lama keadilan dan integritas hukum hanya sebagai simbol belaka justru tumbuh dan memperoleh pembenaran dari rezim sentralistik, yang melihat keadilan dan integritas dibawah kendali dan pada kehendak negara (Cermati Undang-Undang Dasar 1945).  Pandangan ini merujuk pada pemikiran Hegel mengenai negara, yang kemudian dilanjutkan Mr. Soepomo, bahwa negara dan segala lingkupnya merupakan totalitas. Hal ini tentunya mengandung konsekuensi negatif terhadap asas kedaulatan rakyat. Keadilan sosial selalu dipertunjukkan bagi persepsi kuasa, stabilitas dan keseragaman. Tidak ada tempat bagi kritik dan independensi, karena independensi ditempatkan sebagai bahaya itu sendiri. Hal ini tampak jelas dalam pemikiran melihat bahaya independensi yang dimaksudkan oleh revisi undang-undang pemberantasan terorisme dan berlakunya undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).      

Realitas permasalahan dan pola rezim yang berkuasa hari ini memberikan jawaban atas problem integritas hukum melalui upaya paksa dan cara-cara kekerasan jelas menimbulkan persoalan tersendiri dan sangat mengherankan. Berbagai permasalahan dan perbedaan semakin meluas, serta telah mendorong pada berbagai masalah ikutan yang semakin memperumit masalah dan mengancam daya tahan integritas hukum itu sendiri. Karena faktor pendorong ambruknya bangunan hukum dan keadilan yang terbesar lahir dari praktek otoriterianisme, memaksakan kehendak, tindakan diluar hukum yang dilakukan oleh negara. Lalu apakah ada jawaban yang tepat untuk segala persoalan tersebut ?

Hukum, Masa Transisi dan Integritas        

Integritas adalah faktor paling penting dimana marwah kelembagaan dapat terjaga seperti mencegah munculnya potensi korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam konteks ini manusia merupakan sesuatu yang melekat pada lembaga atau satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam hal kegagalan membangun integritas manusia juga merupakan kegagalan membangun sistem kelembagaan secara keseluruhan. Oleh karenanya hukum bukan hanya produk konstitusi yang tertulis saja, manusia, sarana dan prasarana serta sistem kelembagaan juga termasuk didalamnya.      

Boleh saja kesemua definisi tersebut telah berubah karena kompleksitas dari permasalahan yang ada. Definisi penguasa yang salah tentang hukum bisa juga membuat hukum disuatu negara tidak berjalan sebagaimana semestinya, serta dipengaruhi pula berbagai masalah teknis berupa lemahnya sumber daya manusia yang ada, serta kurangnya penghargaan atas peran masing-masing. Dinamisnya definisi hukum dapat juga dipengaruhi oleh masyarakat yang majemuk sehingga muncul berbagai definisi-definisi yang telah disebutkan diatas.     

Akan tetapi dalam proses perubahan yang terjadi, menurut hemat penulis, berbagai kritik banyak dialamatkan kepada lembaga penegakan hukum karena dipicu oleh berbagai faktor : (1) Faktor dominasi politik rezim, serta mengedepankan kepentingan sesaat (pragmatisme) dan campur tangan (intervensi) terhadap hampir semua persoalan “Hukum”; (2) Pemusatan tersebut mengabaikan peran serta masyarakat, serta eksistensi lembaga penegak hukum; (3) Faktor ketidakadilan struktural, pembodohan dan buta terhadap hukum; (4) Faktor runtuhnya kewibawaan institusi hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan; (5) Faktor dominasi dan persaingan antar partai politik yang tumbuh paska reformasi sebagai dampak tidak lagi terpusatnya kekuasaan dalam satu tangan; (6) Faktor gagalnya sistem hukum, sosial dan politik dalam memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Memang terhadap semua kritik ini kemudian ada lembaga penegak hukum yang menyerap aspirasi tersebut, namun ada pula lembaga yang tidak mampu menyerap aspirasi tersebut dikarenakan tumpangtindihnya kewenangan merupakan faktor dominan penghambat dan penambah persoalan.

Kasus          

Kritik

Faktor

1. Kasus Nenek Minah

 1. Ketidakadilan

 2. Diskriminasi

 3. Institusionalisasi yang lemah

2, 3, 4 dan 6

2. Kasus Akil Mochtar

 1. Politisasi Lembaga Hukum

 2. Idealisme

1, 2, 3, 4, 5 dan 6

3. Kasus Munir

 1. Keadilan Struktural

 2. Kekerasan oleh Negara

 3. Perampasan Hak untuk     Hidup

 4. Anti Kritik, Otoriterianisme

1, 2, 3, 4, 5 dan 6

4. Berbagai kasus tangkap  tangan bernuansa politis Patrialis Akbar, Suryadharma Ali, Anas Urbaningrum

 1. Intervensi Hukum

 2. Praduga tidak bersalah

1, 2, 3, 4, 5 dan 6

5. Berbagai kasus yang melanggar asas keterbukaan, dibaliknya ada kepentingan politik dan ekonomi yang dominan

 1. Kepentingan pemodal versus publik

 2. Pro Kontra Putusan Hukum

 3. Berbagai persoalan keadilan

1, 2, 3, 4, 5 dan 6

    

Data tersebut mungkin belum cukup untuk memberikan gambaran beberapa proses perubahan dan faktor-faktor penghambatnya secara lengkap.

Berbagai kritik bermunculan, bahkan sampai melahirkan ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum seperti maraknya aksi main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, adalah lahir dari reaksi atas upaya hukum yang tebang pilih oleh negara dalam mempertahankan eksistensi kekuasaan hingga eksploitasi hukum. Bahkan dalam kasus Nenek Minah, banyak pihak yang miris dan mengecam tindakan negara yang keras menegakkan keadilan hanya kepada rakyat jelata semata. Berbagai kontroversi lainnya, baik itu kasus hukum yang menyebabkan perlawanan masyarakat terhadap pusat ataupun perlawanan terhadap aparat, selalu mempertunjukkan reaksi ketidakpuasan rakyat dan bagaimana negara menundukkan mereka lewat upaya paksa dan kekerasan.

Reaksi atas tindakan itu telah menunjukkan adanya kebutuhan dan perlakuan yang lebih adil dan realistis atas adanya perlakuan yang berbeda-beda. Dalam contoh kasus kematian Munir dan Prita Muliasari, justru adanya respon dan tanggapan dari negara setelah banyaknya sorotan atas kedua kasus tersebut. Dan hampir dapat dipastikan kriminalisasi yang terjadi terhadap penegak hukum yang memiliki integritas dapat melahirkan dukungan dari seluruh rakyat dan kriminalisasi serupa juga pernah terjadi di masa-masa yang lalu. Contoh kasus, penyiraman air keras ke wajah penyidik KPK saat ini yang tengah ramai diperbincangkan dan bagaimana respon mayoritas rakyat Indonesia yang memberi dukungan dan mengutuk keras terhadap aksi kriminal tersebut, merupakan rangkaian panjang mata rantai dari kegagalan pemerintah membangun sistim hukum yang berkeadilan setelah reformasi disekitaran tahun 2000-an. Sehingga kriminalisasi terhadap penegak hukum yang ada bukannya semakin surut malah memproduksi kriminalisasi-kriminalisasi baru hingga tercatat dalam sejarah sebagai sebuah kristalisasi kelalaian.

Siapapun juga, entah individual atau kolektif, hanya dapat dibenarkan mengintervensi kebebasan bertindak pihak lain, sejauh itu demi perlindungan diri (self-protection) dan satu-satunya tujuan yang membenarkan siapapun juga untuk menggunakan kekuasaan terhadap orang lain adalah demi mencegah ancaman bagi orang lain. Jadi, menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, entah dalam arti fisik atau moral, bukanlah alasan yang tepat.  Dengan demikian, intervensi terhadap tindakan seseorang hanya dibenarkan sejauh tindakannya berkaitan dengan orang lain. Akan tetapi, sejauh berkaitan dengan dirinya sendiri, individu dalam hal itu memiliki kebebasan absolute. Terhadap dirinya sendiri, terhadap badan dan akal budinya sendiri, individu sepenuhnya berdaulat. Hal inilah yang telah jauh-jauh hari diingatkan oleh J.S Mill, dalam Ebenstein (1992).

Untuk itu ide untuk memperkuat fundamental adalah ide yang menjadikan seluruh elemen peradilan sebagai kekuatan yang “utama”. Sistem yang terbangun tumbuh bersama sumber daya manusia yang memiliki karakter yang mumpuni serta cakap dalam melakukan tugas pokoknya masing-masing serta memperhatikan realitas pegawai yang berbeda-beda statusnya. Dalam hal ini, penting sekali adanya keterkaitan lembaga dengan para penegak hukum itu sendiri dan juga lingkungan di sekitar sehingga menumbuhkan rasa kepemilikan dan semangat untuk semakin memperkuat fundamental kelembagaan. Perlu dicatat pula bahwa lembaga kemasyarakatan (social institution) tidak dapat dipisahkan dari kelompok manusia dan kebudayaan. Tidak mungkin hidup terpisah dari masyarakat, atau jiwa dari raga manusia. (Lihat, John Lewis Gillin, 1954).

Tentunya jawaban atas problem keadilan, salah satunya adalah pentingnya menjaga marwah institusi. Ancaman dan gangguan terhadap penguatan kelembagaan yang ada harus disikapi dengan konsolidasi ditingkatan internal yang menjadikannya semakin solid.  Kritik sepedas apapun bentuknya, yang dapat mengganggu proses maju dan berkembangnya sebuah lembaga adalah bagian dari dinamisnya masyarakat demokratis, haruslah dilihat sebagai faktor penting penguatan integritas.

Revolusi sistem lembaga peradilan tengah berjalan dengan apresiasi dari publik yang cukup tinggi, serta penggunaan teknologi informasi bahkan percepatan pelayanan terhadap pencari keadilan mesti dibarengi dengan respon cepat dari pemangku kebijakan perihal kesejahteraan pegawai.

Tentunya tumbuhnya integritas dan marwah institusi dan lahirnya militansi tidak akan pernah terpenuhi, tanpa kesejahteraan yang layak. Untuk itu seharusnya tidak hanya sekedar menangkapi pegawai yang korupsi ketika mempertahankan integritas diri dengan cara membohongi periuk nasi itu sendiri.

Sebab secara normatif, ketika dipenuhinya hak-hak ekonomi dan hak-hak kesejahteraan khususnya sandang, pangan dan papan bagi seluruh pegawai merupakan landasan bagi kerangka kerja maksimal sistem peradilan yang agung. Pengingkaran terhadap hak tersebut membuat sulit berjalannya sebuah proses yang diklaim dalam kerangka pelayanan prima. Termasuk didalamnya, upaya akreditasi dan penjaminan mutu, yang banyak menimbulkan ketidaksinkronan dalam anggaran, memenuhi hak-hak ekonomi dan kesejahteraan pegawai mutlak dipenuhi dan tidak dapat lagi ditunda adalah alasan fundamental untuk mempertahankan integritas lembaga.                   

Dalam konteks inilah dasar-dasar keadilan seharusnya diletakkan dari hulu ke hilir seperti kesejahteraan para pegawai, pelayanan prima, mutu, militansi, integritas, marwah institusi, bebas dari intervensi, bebas dari kooptasi kekuasaan, adanya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga (trust-credibility institution) merupakan modal yang sangat penting bagi tumbuhnya militansi kerja yang kuat, integritas yang mantap menjadi fundamen bagi tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  

Oleh: Anthomi Kusairi, SH., MH

Roda Indonesia Institute. Panitera Pengganti Pada Pengadilan Negeri Bekasi

 

Ikuti tulisan menarik Anthomi Kusairi SH MH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

17 jam lalu

Terpopuler