x

Presiden Jokowi mengelilingi Ragunan bersama anaknya, Kaesang. TEMPO/Istman

Iklan

Agra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Optimism Jokowi Diganjal Sengkuni, Kurawa & 'Pemuja' Pasar

“Optimisme Presiden Jokowi Diganjal Para Sengkuni, Kurawa & ‘Pemuja’ Pasar Bebas”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pada suatu waktu, seorang sahabat mengatakan bahwa pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa atau kejadian dalam setiap  sejarah adalah; pertama, meletakkan peristiwa atau kejadian buruk dan atau salah menurut kemanusiaan yang berada sebagai sebuah peringatan agar tidak terulang lagi; dan kedua, meletakkan peristiwa atau kejadian baik dan atau bermanfaat sebagai pengetahuan yang harus diteruskan bagi kelangsungan hidup umat manusia beserta alam kehidupan dunia yang akan datang.

Seorang sahabat baik itu melanjutkan, ada sebuah kisah yang menurut sebagian besar masyarakat di seantero pulau Jawa hingga kepulauan Sunda Kecil cukup dikenang. Kisah itu, pada umum berangkat dari karya sastra Mahabarata yang kemudian banyak dikembangkan sesuai konteks daerah. Meski memiliki latar cerita sesuai dengan wilayah di sepanjang pulau Jawa dan kepulauan Sunda Kecil, tetapi ada kemiripan pesan yang disampaikan ketika muncul persoalan atau polemik dalam kisahnya. dalam konteks itulah kemudian pendekatan dalam menggali kelengkapan informasi melalui pendekatan 5 W + 1 H menjadi penting.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Misalnya, dalam kisah Mahabarata yang diungkap diatas, melalui pendekatan 5 W + 1 H kita dapat menemukan bagaimana karakter Patih Sengkuni dan bala Kurawa yang antagonis dan Pandhawa Lima yang protagonis. Sengkuni dan bala Kurawa adalah sosok yang selalu menggunakan siasat jahat untuk mewujudkan ambisinya. Sementara Pandhawa adalah sosok yang memiliki sifat ksatria, jujur, setia dan berwibawa.

Namun yang perlu menjadi catatan bersama, latar cerita dalam kisah mahabarata tersebut (meski banyak memberikan pelajaran buruk/peringatan dan pelajaran berharga bagi kehidupan modern) adalah kehidupan masyarakat era feodalisme yang belum menganut sistem demokrasi.

“Politik dan Ekonomi Liberal, Rakyat Belum Merdeka”

Sejak memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, negeri kepulauan yang dihubungkan oleh laut ini telah menyatakan diri menganut sistem demokrasi. Oleh karenanya, sejak berdirinya Republik Indonesia itu, pendirian partai politik dan organisasi masyarakat diberikan keleluasaan untuk berkembang. Bahkan dijamin oleh Konstitusi, UUD 1945.

Akan tetapi, demokrasi politik yang dijamin oleh UUD 1945 tersebut, dalam perjalanan sejarahnya memang membuka peluang munculnya kekuatan politik liberal yang tak jarang menyinggung atau mengusik atau menggunakan hal-hal sensitif yang mengandung SARA. Menurut pengamat politik militer, Salim Said, ketika hal-hal sensitif yang mengandung SARA dipakai sebagai strategi politik, itu sama saja dengan membuka ‘pandora box’ yang akhirnya menguras energi bangsa dalam kurun waktu panjang untuk memulihkannya kembali.

Kejadian serupa dengan situasi di Ibukota dalam kurun waktu sekitar 8 bulan Pilkada Jakarta kemarin, pernah muncul dan berkembang di era Soekarno giat melancarkan strategi non-kooperasi dengan negara-negara bekas penjajah. Provokasi-provokasi berbau SARA dan gerakan bersenjata yang melawan pemerintahan pusat terbukti banyak disokong oleh AS dan Inggris.

Perjuangan Pemerintahan RI untuk melakukan negoisasi utang-utang warisan Belanda dalam KMB, keberadaan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, dll; tak luput dari berbagai gangguan kekuatan politik luar negeri.

Pun demikian dengan ekonomi nasional kita hingga dewasa ini yang lebih banyak didominasi oleh modal-modal besar ‘serakah’ (juga banyak labrak amanat konstitusi), yang hanya ‘sedot & keruk’ sumber-sumber kehidupan rakyat, ketika ingin dikoreksi oleh Presiden Jokowi, mulai muncul berbagai gangguan dan provokasi berbau SARA di berbagai lini atau saluran komunikasi dan informasi yang berkembang.

Sementara itu, anggaran subsidi sosial sebagai bagian dari implementasi dari tanggungjawab negara sesuai amanat UUD 1945 pasal 28, 31, 33 dan 34, jika tak diawasi akan selalu menjadi alasan sebagai pemborosan/ tidak produktif sehingga harus dikurangi. Padahal, jika kita periksa secara seksama, pemotongan subsidi bagi barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan pemotongan subsidi sosial lainnya hanya dalih agar terjaganya pos pembayaran hutang.

Ambil contoh tentang pencabutan subsidi TDL 900 VA yang hanya hemat sekitar Rp 20 triliun; dilakukan dengan alasan menekan defisit APBN. Tetapi pada saat bersamaan, pos anggaran untuk cicil bayar hutang selama 5 bulan di 2017 ini sudah mencapai Rp 264 T. Nilai pembayaran cicilan utang di 5 bulan (2017) ini jauh lebih besar dibandingkan subsidi listrik di APBN-P 2017, yaitu Rp Rp52,13 triliun.

Kondisi ekonomi nasional seperti diatas itulah sesungguhnya yang disebut sebagai Neoliberalisme, yaitu sebuah paham yang perekonomian yang dibangun diatas kebebasan individu untuk bersaing melalui mekanisme pasar disaat penguasaan sumber-sumber ekonomi masih didominasi oleh segelintir orang. Neoliberalisme sesungguhnya adalah paham ekonomi yang tak ubahnya seperti ‘hukum rimba pasar’ yang tentu akan menghambat terwujudnya demokrasi ekonomi. Paham inilah sesungguhnya yang ditentang oleh Pasal 33 UUD 1945 sebelum diamandemen pada tahap 4 tahun 2002.

Meskipun kebebasan politik sudah dapat dinikmati oleh setiap warga negara (tentu saja sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945), terutama sejak paska reformasi 1998, akan tetapi tingkat kesejahteraan mayoritas warga negara RI dan kualitas IPM kita masih jauh tertinggal daripada negara-negara di Asia yang pada sekitar satu dasawarsa paska Perang Dunia II memiliki situasi sama dengan Indonesia.

Meminjam istilah Bung Hatta yang dikutip oleh Revrisond Baswir ini “Jika di sebelah demokrasi politik tidak terdapat demokrasi ekonomi, rakyat belum merdeka”, sangat tepat untuk menggambarkan kondisi demokrasi kita dewasa ini.

Keadaan diatas memang cukup pelik. Akan tetapi, zaman memang akan terus berganti. Dan setiap zaman memiliki cara untuk menghadapi dan mengaturnya untuk kemaslahatan bersama. Akan tetapi, bagi kita yang memiliki cara berpikir dan cara bertindak baru lah yang akan berhasil mewujudkannya. Jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian akan terbuka lebar ketika revolusi mental dan nawacita berjalan beriringan, sama seiring sama sejalan antara pejabat publik/ pejabat negara bersama-sama dengan rakyatnya.

Jika tidak, besar kemungkinan akhir dari suatu rezim bakal mirip dengan pandangan umum publik terhadap 10 tahun pemerintahan sebelumya yang tidak memberikan warisan positif signifikan terhadap masa depan bangsa ini. Apalagi keberadaan sisa-sisa kekuatan rezim sebelumnya masih banyak bercokol di pos-pos BUMN yang semestinya diisi oleh sosok-sosok yang tentu memiliki visi sama dengan Trisakti-Nawacita dan keberpihakan yang sama seperti Presiden Jokowi. Pun demikian dengan kemorosotan kepercayaan terhadap pemerintahan dan penurunan kebiwaan negara di hadapan rakyat bakal terus berkembang. Di tengah situasi ini, harapan hadirnya negara di tengah-tengah kehidupan rakyat bakal terus kabur ketika ternyata negara hanya hadir untuk menyediakan karpet merah bagi kepentingan pasar bebas atau persaingan besar.

 Oleh karenanya, mari kembali kita perkuat kembali seruan Revolusi Mental yang ditelah tetapkan oleh Presiden Jokowi sejak terpilih sebagai nahkoda negeri yang bangkit kembali sebagai negeri matirim ini. Ya Revolusi Mental, “... satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala”. Karena Revolusi Mental dengan program aksi Nawacita untuk capai Indonesia Trisakti membutuhkan manusia-manusia baru yang memiliki cara berpikir, cara kerja, dan cara hidup yang tumbuh rasa percaya diri pada diri sendiri dan kemampuan sendiri serta sanggup menanamkan optimisme dengan daya kreatif di kalangan rakyat dalam menghadapi rintangan dan kesulitan-kesulitan bermasyarakat dan bernegara.

 

Ikuti tulisan menarik Agra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

17 jam lalu

Terpopuler