x

Iklan

Sunarmo

Sekertaris Divisi IX Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) DKI Jakarta, Mahasiswa S2 Kajian Timur Tengah dan Islam UI & Awardee LPDP PK 102
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Pajak dari Abu Yusuf

Penerimaan pajak yang tidak sesuai oleh karenna itu Indonesia perlu belajar pajak dari Ekonom Muslim Abu Yusuf

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sumber penerimaan terbesar dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini hampir 80% berasal dari pajak. Oleh karena itu tidak salah jika pajak merupakan sumber utama keuangan negara. Akan tetapi Per September 2017 Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mencatat realisasi pertumbuhan penerimaan pajak justru minus 2,79% atau sekitar Rp770,7 triliun atau 60% dari target dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBNP) Perubahan 2017 senilai Rp1.283,6 triliun. Dengan rincian Pajak Penghasilan (PPh) senilai Rp418 triliun (-12,32%) atau masih 56,3% dan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) senilai Rp307,3 triliun.

Penerimaan pajak yang masih kurang menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat membayar pajak masih rendah. Selain itu, beberapa kasus di perpajakan pun turut memengaruhi persepsi masyarakat dalam membayar pajak, hal ini sesuai dengan data Kementerian Keuangan Republik Indonesia per Juli 2017 mencatat Indeks Kepatuhan membayar pajak atau tax ratio di Indonesia masih sangat rendah yaitu 10,3%, tertinggal dibawah Malaysia, Vietnam dan Singapura yang masing – masing 13% dan 16%. Sementara itu Survey lain yang dilakukan oleh Bank Dunia dan PricewaterhouseCooper (PwC) tahun 2017 menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat 104 dari 190 negara, dan di ASEAN posisinya di bawah Malaysia dan Singapura yang menempati peringkat 8 dan 61. Rendahnya tingkat kepatuhan ini akan menghambat laju pembanguan ekonomi. Oleh karena itu pemerintah harus bekerja keras dan memikirkan konsep yang ideal untuk membangun kepercayaan masyarakat dalam membayar pajak.

Salah satu cendikiawan Islam yang mendalami tentang penerimaan negara (Pajak) adalah Iman Abu seorang cendekiawan muslim yang lahir, menuntut ilmu, dan tinggal di Kufah yang merupakan salah satu kota di Irak yang terletak sekitar 170 km di selatan Bagdad. Ia lahir tahun 93 H dan  meninggal  tahun  182  H pada   usia  89  tahun.  Nama  asli  beliau yaitu Abu Yusuf Bin Ibraahim Bin Habeeb Bin Sa’d Bin Buhair Bin Mu?awiyah Bin Quhaafah Bin Nufail Ansaari Bajali. Abu Yusuf merupakan seorang fuqaha beraliran ar-ra?yu yang cenderung memaparkan pemikiran ekonominya  dengan  menggunakan  perangkat analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian mendalam terhadap Al-Qur?an, hadist, dan praktik para penguasa yang saleh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemikiran ekonom Islam Abu Yusuf dalam kitab Al Kharaj merupakan karya yang sangat fenomenal.  Kitab tersebut mengulas secara khusus tentang perpajakan yang dikhususkan pada permintaan khalifah Harun ar-Rasyid. Selain menulis dasar – dasar perpajakan, Abu Yusuf juga membahas tentang sumber – sumber pendapatan negara seperti ghanimah (harta rampasan perang yang diperoleh dari peperangan), fa(harta rampasan perang namun musuh menyerah tanpa perlawanan), zakat (khususnya zakat fitrah), wakaf,  ushr (bea cukai yang dikenakan kepada semua pedagang  yang  melintasi  perbatasan  negara,  yang  wajib  dibayar  hanya  sekali dalam  setahun  dan  hanya  berlaku  bagi  barang  yang  nilainya  lebih  dari  200 dirham), kharaj(pajak, lebih spesifik pada pajak tanah), dan jizyah (pajak yang  dikenakan  bagi  penduduk  non  muslim yang tinggal di negara muslim  sebagai  jaminan perlindungan oleh negara) yang disertai dengan cara – cara mengumpulkan dan mendistribusikan sesuai syariah. Metode dalam pengumpulan sumber – sumber dan penyalurannya lebih ke aqliah (secara rasional) artinya pendekatan lebih kepada kondisi perekonomian saat itu.

 

Konsep Pajak

Walaupun dalam kitabnya yang dibicarakan tentang aktivitas ekonomi suatu negara, teori perpajakan serta mekanisme harga. Akan tetapi ia lebih banyak  membahas tentang peran perpajakan khususnya kharaj (pajak tanah) sebagai sumber pendapatan negara. Konsep yang ditawarkan berlandaskan pada kesanggupan membayar, kelonggaran membayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak. Ketiga landasan tersebut mendasari terbentuknya teori mengenai sistem pembayaran pajak yaitu muqasamah (pajak proporsional) dan misahah (pajak tetap). Muqasamah yaitu pajak yang persentasenya tetap dan nilainya berubah yang diambil dari hasil pertanian. Sedangkan misahah adalah pajak yang besaran nilainya tetap tanpa membedakan ukuran dan kemampuan yang dihasilkan  dari dari lahan pertanian. Kedua prinsip ini kemudian oleh para ekonom disebut sebagai canons of  taxation.

Prinsip muqasamah adalah yang paling relevan diterapkan dieranya karena pajak ini berkeadilan sehingga dapat meningkatkan pendapatan negara dan mendorong petani untuk meningkatkan produksinya. Selain itu sistem ini juga terbebas dari perubahan harga. Adapun upaya yang dilakukan guna memaksimalkan pendapatan dari kharaj dan sumber lainnya pada masa itu yaitu 1) petugas pemungut pajak harus memiliki sifat jujur dan amanah. Ia mengecam keras perlakukan kasar terhadap pembayar pajak oleh petugas. Perlakuan jujur dan adil kepada para pembayar pajak akan meningkatkan kepercayaan wajib pajak terhadap pemerintah sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan bagi negara dan pertumbuhan ekonomi. 2).sumber pendapatan pajak dialokasikan secara adil dan merata tidak menumpuk pada segelintir orang saja. 3) tanah yang tidak produktif sebaiknya digarap ke orang lain agar lebih produktif. Ketika tanah tersebut menghasilkan sesuatu yang produktif maka akan dikenakan pajak. Artinya semakin produktif suatu lahan maka besaran mata uang yang dibayarkan semakin tinggi.

Selain ketiga upaya tersebut Abu Yususf juga menekankan perlunya komisi khusus yang bertugas melakukan penyelidikan terhadap para petugas pemungut pajak yang mana orang – orang di komisi tersebut dalam menjalankan tugasnya harus memiliki sifat amanah dan jujur. Selain itu agar memperoleh besaran pajak yang sebenarnya maka pemerintah perlu dan harus melakukan audit langsung ke lokasi.

Oleh karena itu belajar tentang konsep pajak Abu Yusuf sangatlah penting, karena beberapa konsepnya masih relevan diterapkan di Indonesia. Pungutan pajak yang adil dan manusiawi serta pelaku petugas pajak yang jujur menjadi tolak ukur keberhasilan di eranya. Maka dari itu Indonesia dapat mengadopsi keduanya untuk meningkatkan sumber pendapatan negara bukan dengan jalan menaikkan atau mencari objek – objek pajak baru guna mencapai target penerimaan pajak yang sebenarnya cara tersebut kurang sesuai.

Ikuti tulisan menarik Sunarmo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

13 jam lalu

Terpopuler