x

Iklan

julkhaidar romadhon

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mewaspadai Titik Lemah BPNT

Secara mengejutkan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengakui bantuan pangan nontunai (BPNT) dalam implementasinya belumlah tepat sasaran

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

  

Secara mengejutkan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengakui bantuan pangan nontunai (BPNT) dalam implementasinya belumlah tepat sasaran. Hal ini terungkap dalam rapat koordinasi tingkat menteri di kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Jakarta, Rabu (7/2/2018).  

Berikut kutipannya "tadi evaluasi dari beberapa perjalanan selama ini, diharapkan segera ada perbaikan. Khususnya data, karena itu sangat signifikan. Kalau masalah data, ada yang harusnya dapat tetapi tidak dapat. Dan kebalikannya, ini (harus) disinkronkan dalam satu pintu" kata Moeldoko (http://nasional.kompas.com/read/2018/02/07/20574311/kata-moeldoko-bantuan-pangan-non-tunai-belum-tepat-sasaran).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebenarnya pernyataan Moeldoko tidak mengejutkan, karena sebulan sebelumnya Presiden Jokowi melakukan penundaan BPNT. Usai membuka acara persiapan pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2017, Presiden Jokowi langsung memimpin rapat terbatas (ratas) bersama beberapa menteri kabinet kerja. Ratas tersebut mengenai evaluasi pelaksanaan program beras sejahtera (rastra) dan program bantuan pangan non tunai, istana bogor selasa (5/12/2017) (m.kontan.co.id).

Dari uji coba tersebut, Presiden meminta untuk tidak ditambah dahulu, melainkan dicek dan dievaluasi dengan betul. Beliau juga mengingatkan bahwa di bulan Maret 2018 akan ada Susenas yang jadi perhitungan angka kemiskinan, BPS juga akan bertanya apakah dalam 4 bulan terakhir menerima rastra. "jangan sampai saya minta ada keterlambatan, saya minta BULOG mengikuti, Mentan, BUMN, Menko PMK bisa ikuti supaya beras ini sampai ke penerima manfaat tanpa terlambat satu hari pun".

Dilema Bantuan Pangan Non Tunai

Menko Pembangunan Manusia Kebudayaan (PMK) menyatakan seyogyanya perluasan penyaluran BPNT Tahun 2018, akan dilaksanakan dalam 4 tahap; yakni tahap I pada Februari, tahap II pada Maret, tahap III pada Juli, dan tahap IV pada Agustus. Total KPM program Bansos pangan adalah sebesar 15,498,936 KPM yang tersebar di 514 Kab/Kota. Namun karena Presiden Jokowi meminta pelaksanaan BPNT dilakukan evaluasi dahulu, maka pada tahun 2018 pelaksanaannya ditunda.

Tetapi ada beberapa hal yang patut kita beri perhatian lebih dibandingkan dengan persoalan data penerima. Tulisan ini akan membahas sisi lain yang patut diwaspadai dari penerapan BPNT.

BPNT atau istilah awalnya voucher pangan sangat kental nuansa “free market” yang populer dikenal dengan sebutan “mekanisme pasar”. Dua poin yang patut kita perhitungkan adalah harga yang bisa berubah-ubah dan kebebasan memilih jenis beras. Harga keseimbangan atau harga tebus komoditas oleh masyarakat penerima manfaat sangat ditentukan oleh kekuatan penjual dan pembeli sehingga tidak bisa dikontrol. Selain itu, masyarakat miskin/rentan yang selama puluhan tahun menerima raskin, tiba-tiba juga dapat memilih jenis beras sendiri sesuai selera.

Kedua poin diatas inilah yang selalu dibangga-banggakan oleh pemerintah sebagai keunggulan BPNT dibandingkan rastra. Padahal menurut saya justru dua poin inilah merupakan titik kelemahan BPNT dibandingkan rastra dan ini seharusnya diwaspadai oleh Negara.

Titik lemah ini akan saya kupas dengan argumentasi berdasarkan referensi ilmiah. Siapa yang tidak kenal dengan hukum permintaan dan penawaran dalam ilmu ekonomi? Pelajaran yang sudah diperkenalkan sedari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam aktifitas ekonomi, permintaan dan penawaran merupakan refleksi dari aktivitas di pasar, antara para calon pembeli dan penjual. Sehingga pertemuannya akan membentuk keseimbangan harga akibat polarisasi yang disebabkan oleh mekanisme pasar. Dengan kata lain, harga keseimbangan dibentuk oleh aktifitas permintaan dan penawaran.

Dalam konteks diatas, ketika rastra beralih ke BPNT maka akan ada permintaan baru sekitar 17,8 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang akan masuk ke pasaran. Sedangkan kuantum beras yang akan diminta sebanyak 2,78 juta ton. Disini artinya, jika jatah mereka Rp 110 ribu/bulan kita kalikan 12 (satu tahun) akan didapat uang Rp. 1.320.000/RTS. Namun, jika kita kalikan dengan 17,8 juta RTS maka angkanya akan menjadi sangat fenomenal Rp 3,7 Triliun. Sebuah angka fantastis dan sangat menggiurkan. Secara sadar atau tidak perputaran uang yang sangat besar ini tentu sudah menjadi incaran para mafia pangan diluar sana.

Secara teori ekonomi, permintaan yang tinggi dari eks penerima rastra akan mereka manifestasikan sebagai daya beli yang meningkat. Secara praktik, permintaan yang tinggi sudah pasti akan mereka barengi dengan harga yang tinggi pula. Bukan tidak mungkin, akan terjadi kenaikan harga beras dari hari ke hari. Bahkan yang lebih bahaya lagi adalah harga yang tidak terkendali yang dapat memicu tingginya inflasi. Inilah yang justru lebih berbahaya lagi dan paling ditakuti oleh Presiden Jokowi.

Kenaikan harga beras bisa disebabkan; Pertama,terjadi pergeseran selera penerima BPNT dimana selama ini mengkonsumsi beras medium ke beras premium. Semua bisa saja terjadi, karena RTS akan menganggap uang yang mereka terima cukup memadai untuk membeli beras premium.  Selain itu, bisa saja dalam pikiran mereka terbersit "kalau nasinya enak, maka tidak ada lauk juga tidak apa-apa". Kedua; adanya mafia pangan yang sengaja bermain untuk mengatur pasokan beras sehingga harga terus naik sesuai dengan yang mereka inginkan.

Alasan pertama akan saya jawab dengan hasil penelitian Dr. Bayu Khrisnamurti (2016) yang juga merupakan Ketua Perhepi. Menurutnya tidak banyak disadari, kini naik turun harga beras lebih banyak ditentukan oleh beras kualitas premium, bukan kualitas medium. Pertumbuhan permintaan beras premium mencapai 11%/tahun, mengambil pangsa 38% dari total beras yang beredar. Kelompok, konsumen ini kurang peduli dengan harga beras asalkan kualitasnya bagus.

Selain itu, pangsa konsumen kota ini juga mencapai 56% dari total konsumen beras. Mereka ini pun kurang peduli dengan harga beras. Sebaliknya, permintaan beras medium tumbuh hanya 9%/tahun, mengambil pangsa hanya 21%. Beras jenis ini, diminati warga berpendapatan rendah, sebagian di antaranya warga miskin.

Dengan fakta diatas, maka sangat berbahaya jika apa yang saya asumsikan akan benar-benar terjadi.  Apa itu? ya, terjadi peralihan selera konsumsi masyarakat miskin dari beras medium ke beras premium. Jika mereka ikut-ikutan mengkonsumsi beras premium, konsekuensinya juga harus mereka terima yaitu dimana pada tingkat ini, konsumen tidak perduli dengan harga beras berapapun harganya. Ujung-ujungnya uang tersebut semakin tidak mencukupi dan sedikit sekali untuk ditukarkan dengan bahan kebutuhan pokok. Daya beli meningkat inilah yang disebut oleh banyak ahli sebagai daya beli semu. Perpindahan selera pasti saja terjadi dan pemerintah pun sepertinya memang menginginkan seperti itu. Tidak ada satu pihak pun yang bisa memantau dan melarang penerima BPNT agar tetap mengkonsumsi beras medium.

Alasan kedua akan saya jawab dengan pernyataan Ketua KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha), Syarkawi Ma'ruf yang mengungkapkan fakta hasil penyelidikan di lapangan pada awal tahun 2016, dimana 7 Provinsi sentra beras dikuasai kartel beras. Disetiap Provinsi tersebut ditemukan lima hingga tujuh kartel beras yang memiliki penggilingan besar dan pedagang besar yang dapat mempermainkan pasokan beras sehingga mengakibatkan kelangkaan persediaan di sejumlah daerah. Provinsi-provinsi itu adalah Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa barat, Lampung, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara (waspada.co.id). Orang awam pun pasti tahu apa tujuan kartel mempermainkan pasokan, ya tidak lain dan tidak bukan naiknya harga bahan pangan untuk mengejar keuntungan semata.

Namun, banyak pihak menilai bahwa kartel beras sepertinya tidak masuk diakal jika berdasarkan data jumlah penggilingan padi oleh BPS. Sensus penggilingan padi BPS tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah penggilingan padi di Indonesia sebanyak 182.000 unit. Dari jumlah tersebut, penggilingan padi besar (PPB) hanya sekitar 8% atau 14.560 unit dan sisanya 92% atau 167.440 unit penggilingan padi kecil (PPK) dan penggilingan padi kecil keliling (PPKL). Jika kita melihat data diatas, rasanya tidak mungkin jika pengilingan padi besar modern dengan jumlah 14.560 unit dan tersebar di seluruh Indonesia untuk memainkan harga dan pasokan beras.

Jawabannya sangat sederhana, penggilingan padi besar tentu didukung dengan modal besar, peralatan modern, infrastruktur lengkap dan manajemen yang profesional. Teknologi canggih yang mereka punya dapat menciptakan beras dengan merk dan jenis apapun. Semuanya inilah yang memungkinkan mereka menghasilkan produk beras premium berkelas yang pemasarannya bisa antar pulau. Ini kita bisa buktikan dengan melihat hasil produk mereka yang hampir ada di setiap provinsi tanah air. Dengan jumlah yang sedikit dan manajemen yang profesional sangat dimungkinkan komunikasi antar pengusaha dan penguasaan pasar terjadi.

Lantas pertanyaannya, bagaimana dengan penggilingan padi kecil yang terkenal dengan istilah "one pass" dan manajemen rumahan.... ? apakah mereka dengan jumlah 92% atau 167.440 unit bisa menghasilkan beras premium yang perdagangannya antar pulau...? jawabannya bisa iya, bisa tidak. Kalau iya, pasti tidak terlalu banyak volumenya. Pasti kebanyakan tidak, mengapa.. ? karena penggilingan mereka hanya sederhana, sehingga beras yang dihasilkan tidak terlalu bagus dan bersih. Akhirnya, atau ujung-ujungnya hasil beras penggilingan mereka dijual juga kepada penggilingan besar. Argumentasi inilah yang bisa menjawab mengapa dengan jumlah sekitar 8 persen saja, penggilingan padi besar mampu menguasai pasar beras di Indonesia.

Jadi berdasarkan uraian panjang diatas beserta argumentasinya, ada sisi lain kelemahan BPNT yang belum terpikirkan. Mengapa belum terpikirkan? Tentu saja karena program BPNT memang baru ujicoba, sehingga sedikit sekali referensi penelitian terkait keunggulannya. Sehingga sangat tepat keputusan Presiden menunda pelaksanaan BPNT dan bahkan diperintahkan kepada jajaran terkait untuk melakukan evaluasi. Semua ini tidak lain dan tidak bukan, karena Negara selalu memegang prinsip untuk tidak berjudi terhadap sesuatu yang tidak pasti.

 *) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya

Ikuti tulisan menarik julkhaidar romadhon lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 jam lalu

Terpopuler