x

Iklan

Fatwa Azmi Asy-syahriza

Anak ingusan yang mengetik dengan jari kecilnya, memandang dengan dua bola mata indahnya, dan mempunyai hati sebagaimana hati manusia.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kyai Kampung, Masih Worth It?

Semakin berkembangnya dunia kajian islam membuat semakin banyak label kyai yang melekat, bagaimana dengan kyai kampung?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kyai Kampung, Masih Worth It?

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menjadi seorang kyai adalah suatu pengabdian besar seorang insan terhadap Tuhan. Sebagai pewaris nabi, kyai mempunyai tanggung jawab besar untuk mengangkat moral dan masa depan umat. Dengan berbagai label kyai, aku masih terlalu erat dengan kyai kampung. Entah apa alasanku untuk lebih mengeratkan diriku dengan label kyai tersebut.

Memang tak banyak perbedaan antara kyai kampung dengan label kyai modern, keduanya sama-sama mengabdikan diri untuk agamanya. Tetapi, aku melihat kadar kesederhanaan dan keikhlasan yang lebih membuatku tertarik kepada hal tsb.

Pengajian yang ‘ala kadarnya’ di atas karpet majelis yang cukup usang, dengan meja kayu yang sudah reyot karena dimakan rayap, dan juga pengeras suara yang terkadang storing (nguing). Sederhana bukan?

Kalau engkau melihat dari sudut pandang ini, tentu kau akan melihat perbedaan yang cukup berbeda dengan kajian-kajian yang akhir-akhir ini mulai tenar.

Jamaah kyai kampung tak tentu jumlahnya, kyai kampung hanya mengajar dan terus mengajar dengan ikhlas. Kondisi pekerjaan jamaah kyai kampung yang rata-rata hanya menjadi petani, pedagang, dan usaha kecil-kecilan tak menyurutkan semangatnya untuk terus mengaji. Bahkan niat jamaah kyai kampung untuk mengaji aku rasa lebih tinggi dibanding yang lainnya.

Kyai kampung tetap memegang kesederhanaan dan keikhlasannya. Kyai kampung tak pernah meminta materi atau balasan apapun dari jamaahnya, meski terkadang para jamaah mengakalinya dengan memberikan sejumlah sembako ataupun jasa yang bisa menyenangkan hati kyainya. Kyai kampung hanya menginginkan semangat para jamaahnya untuk tetap istiqamah mengaji dan memperdalam ilmu agama islam.

Suara yang terdengar serak, batuk, dan renta sudah tak asing lagi. Untuk mencegahnya, jamaah harus menyiapkan segelas air putih dihadapan kyainya.

Dipenghujung pengajian, para jamaah biasa berbaris untuk menyalami kyai secara bergantian. Ada yang dengan satu kali salaman, ada yang dengan bolak-balik, ada yang sambil menyelipkan amplop.

Pernah ada cerita unik ketika salah satu kyai kampungku, yakni Muallim Syafii Hadzami menerima amplop dari jamaahnya, beliau menerima amplop itu satu persatu, kemudian ketika beliau hendak keluar dari masjid tersebut masih ada jamaah yang menyalaminya. Seketika itu tangan muallim merogoh kantongnya dan memberikan amplop itu kepada jamaahnya dengan acak satu persatu hingga habis semua amplop yang tadi diberikan oleh jamaahnya.

Semakin banyak label kyai yang hadir hingga saat ini, dari yang pakai peci hitam, peci putih, hingga tak berpeci. Tak perlu mencari kesalahan antara semuanya. Kajian yang bermanfaat, tanpa menyalah-nyalahkan kelompok kajian lain tentu akan membangkitkan semangat syiar islam. Namun, aku berpesan kepada saudara-saudaraku yang ingin mencari ilmu keagamaan yang bersanding dengan ilmu kehidupan, carilah kyai kampung.

Engkau timba ilmunya, engkau hormati dirinya, engkau contoh sikap dan perilaku teladannya. 

Ikuti tulisan menarik Fatwa Azmi Asy-syahriza lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu